Perspektif

Pembelaan Ibnu Rusyd untuk Filsafat

4 Mins read

Antara Ibnu Rusyd dan Imam al-Ghazali

Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, yang akrab di telinga kita dengan nama Ibnu Rusyd, pakar filsafat multidisipliner asal Andalusia (Spanyol), pernah terlibat perdebatan sengit dengan Imam al-Ghazali berkenaan prinsip-prinsip filsafat dalam Islam.

Sebagaimana yang diketahui, Imam al-Ghazali, sang hujjatul Islam (argumentasi Islam), menulis kitab khusus untuk menolak beberapa pandangan filosof muslim yang dianggapnya telah menyalahi prinsip-prinsip aqidah. Kitab itu diberi judul yang “angker”, yaitu Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosof).

Tidak tinggal diam, Ibnu Rusyd sang filosof muslim sekaligus pakar yurisprudensi itu membantah secara runut hujjah-hujjah Imam al-Ghazali. Ibnu Rusyd menulis kitab bantahan berjudul Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dalam Kerancuan).

Penting sekiranya untuk menggali pemikiran Ibnu Rusyd mengenai pentingnya filsafat dalam pandangan Islam. Pada masa modern saat ini, banyak bermunculan kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak paham dengan gagasan inti Imam al-Ghazali mengenai filsafat.

Akhirnya, Imam al-Ghazali dijadikan legitimasi untuk mengharamkan filsafat. Padahal, Imam-al-Ghazali sendiri sangat menguasai bidang ilmu yang dikritiknya itu. Bukanlah sebuah kebijaksanaan, apabila kita mengkritik sesuatu yang tidak kita pahami.

Memang benar, perkara juziyyah seringkali menjadi tema-tema penting yang sering diperdebatkan dalam filsafat. Mungkin beberapa ulama, seperti Ibnu Taymiyyah mengharamkan atau menyingkirkan filsafat dalam banyak fatwanya karena tidak ingin terjebak dalam perdebatan semacam itu.

Pun Nurcholis Madjid dalam disertasinya mengenai Ibnu Taymiyyah telah menjelaskan panjang lebar bahwa argumentasi Ibnu Taymiyyah tentang falsafah dan kalam sangat erat kaitannya dengan metodologi berpikir kritis ala kaum filosof. Artinya, argumentasi pengharaman filsafat pun menggunakan penalaran dan metodologi filsafat. Ajib.

Pemahaman inilah yang sering disalahpahami. Terima saja bahwa jangan sampai ketidakmampuan kita mempelajari dan memperdalam filsafat lantas serta-merta membawa kita pada sikap tidak bijaksana. Semata-mata menuduh filsafat sebagai biang keladi penyesatan.

Baca Juga  Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

Role Model Kebangkitan Islam

Tradisi perdebatan filsafat dalam Islam telah tumbuh subur pada masa kebangkitan intelektualisme. Misalnya pada era Abbasiyah. Namun, saat ini semuanya harus berakhir ketika filsafat dianggap barang “langka” yang harus dijauhi, kalau bisa diharamkan.

Padahal, sebagaimana literatur sejarah peradaban Islam menjelaskan bahwa periode kejayaan yang seringkali diromantisasi oleh beberapa kelompok untuk melegitimasi pandangan mereka tentang khilafah, membuktikan bahwa peradaban tersebut bermula dari tumbuhnya gerakan penerjemahan teks-teks filsafat Yunani kuno ke dunia Islam.  

Walaupun periode kejayaan tersebut terwujud berkat kesadaran intelektual yang besar di kalangan ulama dan saintis, peran filsafat cukup besar dalam membawa gerbong kejayaan tersebut. Oleh karenanya, cukup banyak nama-nama ulama besar yang kita kenal memiliki kemampuan dan ketajaman yang luar biasa di berbagai bidang bahkan lintas keilmuan.

Gagal paham sejarah adalah ketika sejarah peradaban Islam hanya dibaca dengan kacamata politik yang kosong, semata melihat sistem khilafah yang diterapkan saat itu. Sedangkan tradisi intelektualisme Islam tidak digali lebih jauh. Role model kebangkitan Islam hanya dilihat dari sudut pandang politik, bukan dari sudut pandang intelektualisme.

Cara berpikir parsial ini kemudian diwariskan. Akhirnya, beberapa dari kalangan umat Islam masih mempertahankan paradigma haramnya filsafat, padahal semua ilmu pada mulanya berasal dari filsafat. Wajar kalau filsafat dijuluki sebagai Mother of Science.

Hikmah Mempelajari Filsafat

Ibnu Rusyd menguji bagaimana hukum mempelajari filsafat? Apakah ia haram ataukah justru sunnah bahkan wajib?

Apabila filsafat diartikan sebagai kegiatan atau tindakan mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti akan adanya pencipta, sedangkan syara’ telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada untuk memperkuat bukti-bukti adanya pencipta, maka hukum mempelajari filsafat menurut Ibnu Rusyd adalah sunnah bahkan wajib.

Jadi, oleh Ibnu Rusyd, syara’ mewajibkan seseorang untuk mengenal Allah Ta’ala dan sekalian ciptaan-Nya melalui burhan (demonstrasi). Burhan sendiri merupakan salah satu jenis dari kias dalam ilmu mantiq.

Menurut Ibnu Rusyd, untuk sampai pada penalaran Burhan, terdapat prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Pertama, mengetahui dan memahami muqaddimah atau definisi. Kedua, mengetahui dan memahami qiyas itu sendiri. Ketiga, mengetahui jenis-jenis burhan dan syarat-syaratnya sehingga mampu membedakan kias burhani dengan kias jadali (dialektik), khattabi (retorik), dan mughalithi (sofistik).

Baca Juga  Ibnu Rusyd, Memadukan Ilmu Agama dan Metode Filosofis

Ibnu Rusyd berangkat dari argumen bahwa ahli fiqih mewajibkan mengetahui al-maqayis al-fiqhiyah (silogisme fikih) untuk menggali hukum-hukum yang ada. Maka sama halnya jika seseorang ingin mengetahui Tuhan, sedangkan Tuhan dapat dikenali melalui ciptaan-Nya, maka wajib bagi seorang muslim untuk mengetahui kias-kias intelektual, di mana sesuatu itu darinya Tuhan dapat dikenali.

Terdapat tuduhan mempelajari kias-kias intelektual adalah bid’ah. Padahal, bantah Ibnu Rusyd, kias fiqh pun dirumuskan oleh ulama-ulama setelah Rasulullah Saw wafat. Apabila unsur kebaruan dijadikan dasar untuk membid’ahkan sesuatu, maka banyak sekali cabang-cabang keilmuan yang bermanfaat bagi umat manusia perlu diharamkan. Argumentasi tersebut gugur dengan sendirinya.

Yang menarik dari argumentasi Ibnu Rusyd, untuk mengembangkan keilmuan, kita berkewajiban untuk tetap mengacu pada ulama atau sarjana yang telah terlebih dahulu mengembangkannya. Artinya, sanad keilmuan sangat penting dalam menjaga autentisitas suatu ilmu.

***

Ibnu Rusyd menggambarkan, betapa sulitnya seseorang atau mustahil bagi seseorang untuk mempelajari suatu ilmu dari nol. Padahal, ulama maupun sarjana terdahulu, khususnya di bidang filsafat telah mengembangkan sedemikian rupa untuk dilanjutkan kepada generasi selanjutnya. Yang perlu dipahami adalah alur argumentasi bagaimana ulama dan sarjana bisa sampai pada sebuah kesimpulan. Proses inilah yang sangat penting.

Bagaimana jika filsafat berarti merujuk pada filsuf-filsuf kuno seperti Aristoteles dan Plato, yang notabene bukan beragama Islam? Menurut Ibnu Rusyd, kita harus tetap mempelajari ilmu tersebut dan merujuk pada karya-karya mereka, tentunya dengan penalaran yang kritis dan tidak serta merta mengamini pendapat-pendapat mereka.

Apabila terdapat suatu kebenaran pada pendapat-pendapat mereka, tentu harus kita terima. Sedangkan apbila terdapat kesalahan dan kekhilafan, kita abaikan sambil memahami dan memberi maaf kepada mereka.

Baca Juga  Pengaruh Lockdown Corona Virus Terhadap Harga Saham

Seringkali argumentasi pengharaman filsafat yang timbul salah satunya ialah banyaknya filsuf-filsuf yang tidak percaya pada agama atau bahkan mengejek orang-orang beragama. Akhirnya, filsafat itu diharamkan karena orang-orang yang mempelajarinya ternyata kebanyakan tersesat.  

Ibnu Rusyd menyatakan, terdapat sebab-sebab mengapa para filsuf tersebut sampai pada kekeliruan-kekeliruan tertentu. Pertama, kurangnya kemampuan ilmiah dalam mempelajari sumber-sumber filsafat. Kedua, buruknya organisasi atau manajemen dalam mempelajari sumber-sumber filsafat sehingga ia tidak mengetahui dan memahami konteks pembahasan. Ketiga, ia kalah dengan hawa nafsunya.

Oleh Ibnu Rusyd, lantas apabila seseorang sampai pada kesesatan karena mempelajari filsafat, lalu mengharamkan filsafat, argumentasi tersebut tidak dapat diterima. Sebab, kekeliruan tersebut berlaku secara aksidental, bukan esensial. Sederhananya, yang salah adalah orang yang mempelajarinya, bukan pada ilmu yang dipelajarinya.

Ibnu Rusyd memberikan contoh. Mengharamkan filsafat karena banyak filsuf yang tersesat seperti halnya melarang seorang yang kehausan dari minum air tawar yang dingin, sebab ada orang lain yang terceguk sampai mati karena meminum air itu. Mati oleh air dingin adalah aksidental, sedangkan mati oleh kehausan adalah perkara esensial.

Kesesatan tersebut bisa terjadi karena sebab-sebab tertentu. Lalu bagaimana halnya dengan ilmu fisika nuklir, apakah diharamkan? Karena bisa membunuh manusia sekaligus di Hiroshima dan Nagasaki? Apakah ilmu otomotif haram karena kecelakan bisa mengakibatkan kematian? Di sinilah perlunya membedakan antara mana perkara aksidental dan mana perkara esensial.

Singkatnya, begitulah pemaparan Ibnu Rusyd terkait argumentasi betapa pentingnya berfilsafat dalam Islam.

Editor: Yahya

7 posts

About author
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UAD. Alumni PP Shohwatul Is'ad Padanglampe' dan MBS Muhiba Bantul. Aktif juga di PK IMM FAI UAD.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds