Akhir-akhir ini populer di Youtube dengan konten bertema “Pemuda Tersesat”. Ya, siapa yang tidak familiar dengan tema konten ini? Saya rasa hampir semua penikmat Youtube mengetahuinya. Konten yang disajikan oleh Tretan Muslim dan Coki Pardede, yang berkolaborasi dengan Habib Husein Jafar al-Haddar (selanjutnya disebut Habib), telah menarik kalangan muda yang konon disebut pemuda tersesat.
Tentu tujuannya bukan untuk sesat menyesatkan, melainkan untuk mengembalikan kita ke jalan yang lurus. Konten yang berisikan tanya jawab antara nitizen dengan Habib ini telah mengundang simpatisan bagi mereka yang membutuhkan pencerahan. Dan rupanya, Habib pun memberikan pencerahan itu meski pertanyaan yang diajukan nitizen aneh-aneh.
Menarik untuk dipahami, meski terkesan penuh dengan jokes tetapi isiannya sarat dengan makna. Misalnya, pertanyaan yang dilontarkan nitizen untuk dijawab Habib Husein, “bib, apa hukumnya buka puasa dengan nonton porno?”, atau “bib, kan ada rukun islam, kalau rukun ateis ada gak?”, dan pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya. Bagi saya pertayaan aneh yang demikian sangat penting untuk dicerahkan, sebab tidak mungkin pertanyaan yang demikian ditampung oleh dakwah mainstream.
Sepanjang yang saya ketahui, para pendakwah pada umumnya memberikan pencerahannya dengan cara yang kurang populer (kurang disukai masa), satu arah, dan terbatas. Khususnya untuk kaum pemuda, kekurangan ini tentu menjadikan mereka bukannya lebih dekat dengan dakwah Islam justru lebih jauh.
Betapa banyak pemuda yang kini terjebak dalam arus kemaksiatan yang disebabkan dakwah yang kurang tepat. Implikasi lebih jauhnya bahkan banyak dari kaum muda yang menjadi pencaci dan pembenci dakwah, ini bahaya. Dan terkait pertanyaan nitizen, bisa jadi ini lah yang terjadi dikalangan masyarakat yang tidak pernah dipuaskan oleh dakwah kita selama ini.
Metode Dakwah Pemuda Tersesat, Salahkah?
Lalu, apakah dakwah kita salah? Saya tidak menyudutkan siapa yang salah dan siapa yang benar, namun dakwah konten “pemuda tersesat” ada benarnya. Sebab, meminjam istilah Pierre Bourdieu (filsuf posmodernis), untuk mengubah suatu arena (objek) maka perlu punya habitus (sikap) dan kapital (modal) yang pas.
Saya katakan bahwa konten “pemuda tersesat” telah mengantongi dua prasyarat tersebut untuk menyasar arena kaum muda. Pertama terkait habitus, dakwah yang dibawakan oleh Habib dan kawanannya, yang mengemas dakwah dengan ringan, penuh humor, dan simpatis kepada masa, telah mengundang feedback positif. Hal ini ditunjukan dengan pengamatan saya yang belum melihat satupun dari nitizen yang menolak dakwah ini. Mereka respect dengan ikut berkomentar dan memberikan jempol yang memberi sinyal bahwa mereka suka.
Berbeda cerita jika sebaliknya, dakwah yang keras, menjelaskan halal haram secara harfiah, dan tidak kenal kompromi, justru telah mendapat tentangan dari berbagai masyarakat. Dan sebenarnya, membangun habitus ini sejalan dengan apa yang dilakukan para Walisongo, berdakwah sesuai kultur masyarakatnya.
Kedua terkait kapital, pengemasan melalui media sosial adalah wahana yang sangat tepat. Saya rasa semua anak muda sudah terakses dengan media sosial. Mulai dari Facebook, Twitter, Tiktok, Youtube, dan lain sebagainya. Tentu banyak pilihan media sosial yang dapat digunakan untuk jadi modal dakwah kepada anak muda jaman sekarang. Rupanya, Youtube adalah sarana yang dipilih oleh kreator konten “pemuda tersesat”.
Ada beberapa hal yang perlu saya soroti. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Habib, Tretan, dan Coki adalah hal yang perlu kita ambil, tiru, dan modifikasi dalam konteks dakwah. Alasannya jelas, untuk mendukung sarana optimalisasi serta pelengkap dalam usaha dakwah. Ibarat kesatuan kepingan puzzle, dan pemuda tersesat adalah kepingan pelengkap itu. Langkah ini pun dapat dinilai sebagai wacana tanding bagi arus yang tidak jelas. Di dunia internet, ketidakjelasan ini tentu mengarah ke hal-hal yang bertentangan dengan syariat, seperti kemaksiatan, ketidakproduktivan, dan tidak punya nilai dalam kehidupan.
***
Tentu kita tahu semua ketidakjelasan arus ini terdapat dan tersedia dalam konten-konten media sosial, misalnya jogad-joged, haha-hihi, bahkan sampai ke hal pornografi. Maka dari itu wacana tanding dengan dakwah populer, seperti yang telah saya jelaskan, penting untuk dimasifkan. Terlepas kekurangan konten “pemuda tersesat” yang baru berfokus di Youtube, perlu kiranya kita pikirkan bersama guna mengembangkan dakwah semacam ini dan dapat dilakukan di media sosial yang lain.
Jika ditanya apakah dengan ini akan berhasil, maka saya akan jawab dengan mengutip perkataan Habib Zein bin Sumaith dalam kitab Manhajussawi “Berdakwah mengajak kepada Allah seperti sebutir biji yang diletakkan di tanah. Engkau tidak akan menyadari, tiba-tiba dia telah berbuah dan menjadi kebun.”
Editor: Dhima Wahyu Sejati