Belakangan ini, jagat maya dihebohkan oleh aksi Gus Miftah, seorang tokoh yang dikenal sebagai pendakwah flamboyan sekaligus utusan khusus presiden. Dalam sebuah acara, ia menggunakan kata kasar kepada seorang penjual es teh, menyebutnya “goblok”. Awalnya terlihat seperti candaan, tetapi justru berbuntut panjang, terutama di kalangan umat yang mulai mempertanyakan apakah pemuka agama seperti ini layak diberi panggung. Mari kita telaah lebih dalam, bukan hanya kasus Gus Miftah, tapi juga fenomena yang lebih luas tentang bagaimana pemuka agama masa kini memegang peran di tengah masyarakat modern.
Kapasitas Pemuka Agama: Apakah Semua Layak Berbicara di Panggung?
Dakwah adalah pekerjaan mulia yang membutuhkan kepekaan tinggi, bukan sekadar kemampuan berbicara. Sayangnya, ada kecenderungan bahwa siapa pun yang populer dianggap otomatis punya kapasitas untuk berdakwah. Padahal, berbicara di hadapan umat bukan hanya soal menyampaikan ayat atau hadis, tetapi juga soal bagaimana menjaga akhlak dan menghormati audiens.
Dalam insiden Gus Miftah, banyak yang merasa bahwa cara penyampaian tersebut jauh dari nilai-nilai Islam. Di zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, setiap ucapan dipilih dengan hati-hati agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Tidak ada tempat untuk ucapan yang merendahkan orang kecil. Ketika hal seperti ini terjadi, umat tidak hanya kecewa pada individu, tetapi juga mulai mempertanyakan otoritas moral pemuka agama secara umum.
Bagaimana bisa seorang pendakwah yang tugasnya menyebarkan kedamaian malah membuat orang merasa direndahkan? Perlu ada standar yang jelas tentang siapa yang layak berbicara atas nama agama di hadapan publik.
Agama yang Dikomersialisasi: Mencari Berkah atau Keuntungan?
Fenomena “jualan agama” bukan hal baru, tapi belakangan makin kentara. Ceramah berbayar, merchandise dakwah, hingga donasi untuk proyek besar seperti pembangunan pesantren sering kali dikritik karena terkesan lebih berorientasi pada keuntungan finansial ketimbang manfaat sosial. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan, apakah dakwah benar-benar demi kemaslahatan umat atau sekadar cara memperkaya diri?
Masyarakat mulai resah ketika melihat pemuka agama sibuk meminta sumbangan besar untuk proyek megah, sementara masyarakat miskin di sekitar mereka justru terabaikan. Mereka yang dulunya percaya, kini mulai mempertanyakan niat di balik setiap proyek. Bayangkan, uang yang dikumpulkan dari jamaah kecil justru digunakan untuk proyek yang keuntungannya tidak terasa langsung oleh mereka yang menyumbang.
Mungkin, ini saatnya para pemuka agama meninjau kembali prioritas mereka. Bukan salah meminta sumbangan, tapi bagaimana dengan transparansi dan keberpihakan kepada kaum miskin? Agama yang seharusnya menjadi jawaban atas keresahan hidup, malah terlihat seperti komoditas yang diperjualbelikan.
Peran Sosial Pemuka Agama: Dari Kata ke Tindakan Nyata
Saat ini, banyak pemuka agama yang dinilai lebih sibuk dengan pencitraan daripada tindakan nyata. Mereka hadir di media sosial, di layar kaca, tapi di mana mereka saat masyarakat membutuhkan bantuan langsung? Sering kali, retorika mereka penuh dengan janji surga, namun minim aksi di dunia nyata.
Mengapa demikian? Karena di era digital, popularitas bisa menjadi jebakan. Pemuka agama yang ingin tetap relevan di mata publik merasa perlu untuk selalu tampil. Tapi sayangnya, penampilan ini sering kali mengabaikan substansi. Misalnya, seharusnya mereka berada di garda depan membantu masyarakat miskin, tapi malah sibuk dengan proyek yang lebih bersifat simbolis daripada solutif.
Cobalah pikirkan, berapa banyak masyarakat kecil yang datang ke pengajian berharap mendapatkan solusi hidup, tetapi pulang dengan tangan kosong? Mereka ingin lebih dari sekadar motivasi. Mereka butuh kehadiran nyata yang menyelesaikan masalah konkret.
Krisis Keimanan: Ketika Orang Miskin Mulai Meragukan Agama
Ini adalah masalah yang sangat serius. Banyak orang miskin yang sudah berusaha keras, mengandalkan doa, ikhtiar, dan tawakkal, tapi hidup mereka tetap penuh kesulitan. Lalu apa yang terjadi? Mereka mulai meragukan relevansi agama dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal kepercayaan. Ketika doa-doa mereka tidak terjawab sesuai harapan, mereka merasa ditinggalkan oleh Tuhan dan agama. Inilah yang menyebabkan beberapa dari mereka mulai berpaling, bahkan ada yang menjadi atheis. Bagi mereka, agama seharusnya menjadi jalan keluar, bukan sekadar ritual tanpa hasil nyata.
Pemuka agama seharusnya menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya berbicara, tetapi juga memberikan solusi nyata. Memberikan harapan tanpa tindakan sama saja mempermainkan kepercayaan umat. Jangan sampai mereka yang paling membutuhkan malah merasa bahwa agama adalah beban, bukan berkah.
Akhir Kata: Mengembalikan Esensi Dakwah
Kasus Gus Miftah hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar. Pemuka agama harus kembali pada esensi dakwah: menyebarkan kasih sayang, membawa harapan, dan memberikan solusi nyata. Jika tidak, kepercayaan umat akan terus terkikis. Agama akan semakin kehilangan relevansi di mata mereka yang seharusnya dilindungi dan dibimbing.
Saatnya kembali berpikir, apakah kita ingin agama menjadi mercusuar kebaikan, atau sekadar panggung untuk popularitas belaka?
Editor: Assalimi