Oleh: David Krisna Alka*
Hidup berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau, telah membentuk karakter toleran dalam diri Rudi Fofid. Ia terbiasa bertetangga dengan orang yang memiliki agama berbeda dan menganggap perbedaan merupakan sesuatu yang perlu disyukuri. Saat bertemu dengan Pastor Jan van de made MSC dari keuskupan Ambon, Maluku, jiwa toleran itu makin menguat, karena sang pastor kerap mengajaknya menghadiri kegiatan dialog antar pemeluk agama berlainan.
Tahun 1985, karena kekurangan pastor untuk melayani ibadah di Paroki, Rudi dan kawan-kawannya dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) cabang Ambon dilatih untuk memimpin ibadah dan membantu pastor melayani paroki yang ada di wilayah kecamatan Teluk Ambon. Inilah pertama kali ia terjun bebas dalam masyarakat. Ia melayani wilayah kecil di dusun Telaga Kodok Desa Hitu, di utara Pulau Ambon yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dari proses itu ia banyak belajar bahwa masalah agama memang perlu disikapi dengan bijak, kalau tidak ingin memicu konflik dan kekerasan yang merugikan semua pihak.
Ia sendiri adalah salah satu dari korban kekerasan SARA yang melanda Maluku beberapa tahun silam. Ayah dan kakak perempuannya terbunuh akibat rangkaian kekerasan yang ketika itu menjalar ke Pulau Bacan, tempat keluarganya berada. Tentu pahit kalau dibawa ke perasaan, namun Rudi toh tidak meluka dan tidak mendendam. Ia menganggap, semua pihak yang melakukan kekerasan pada dasarnya adalah korban dalam permainan yang menimbulkan kekerasan SARA itu.
Pena Perdamaian
Debut pria kelahiran Kei, Maluku Tenggara ini dimulai saat masih menjadi mahasiswa. Ia menjadi redaktur koran kampusnya. Setelah tamat, ia bekerja pada sebuah harian (Harian Suara Maluku) yang terbit di Maluku. Mulanya ia memegang desk olahraga, karena itu ia banyak teman dengan warga desa Tulehu, kala itu banyak melahirkan pemain sepakbola nasional.
Ketika konflik Ambon terjadi pada 1999, hanya satu surat kabar yang beredar di Maluku, yakni Suara Maluku. Ini adalah koran harian yang redaksinya mayoritas beragama Kristen, sementara bagian distribusi dan percetakan didominasi oleh pegawai yang beragama Islam. Saat itu semua wartawan kebingungan karena konflik memecah wilayah pemukiman berdasarkan agama. Wartawan Kristen tidak meliput di kawasan Islam dan begitupun sebaliknya.
Bias informasi ini menjadikan berita yang tidak berimbang, karena nyaris tanpa klarifikasi. Teman-teman wartawan yang sadar akan kekacauan informasi saat itu kemudian berinisiatif melahirkan sebuah media alternatif untuk mengklarifikasi isu-isu media mainstream.
Selain itu, saat konflik terjadi, banyak sekali posko-posko kemanusiaan yang hadir dari komunitas agama yang bertikai. Posko-posko ini turut membantu mengacaukan situasi karena hadir sebagai posko kemanusiaan yang melayani umat agama tertentu saja. Rudi dan kawan-kawan wartawannya kemudian berinisiatif untuk mendirikan posko Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Setahun setelah itu, Rudi dan kawan-kawan mendirikan Maluku Media Center (MMC). Sebuah organisasi yang menjadi rumah bersama para wartawan beda agama. MMC menerbitkan media alternatif untuk membantu memberi sudut pandang baru dari informasi media mainstream seperti Kompas, Republika atau Suara Pembaharuan.
Tahun 2003 setelah Suara Maluku keluar dari Jawa Pos Group, Rudi kembali bergabung. Ambon Ekspress, koran baru yang lahir pasca konflik sebagai bagian dari Jawa Pos Group. Ambon Ekspress dan juga Suara Maluku berusaha keluar dari stigma yang mereka buat sendiri saat konflik.
Menurut Rudi, jika hari ini ada media yang tidak menulis berdasarkan prinsip jurnalisme damai, maka media tersebut akan diolok-olok. Media di Maluku tidak lagi tersegregasi berdasarkan agama. Unsur keberimbangan dicoba ditegakkan.
Sangat menyentuh apa yang ia lakukan bersama teman-temannya pekerja media melalui tim relawan kemanusiaan itu. Dengan berani, Rudi dan istrinya menerobos barikade batas komunitas Muslim dan Kristen untuk memberikan bantuan. Sementara, melalui media-media umum, ia mencoba menebarkan prinsip-prinsip jurnalisme damai. Banyak anak muda yang terinspirasi oleh aktivitas Rudi ini. Salah satunya Aziz, wartawan muda yang aktif pula dalam aktifitas Rudi di MMC.
Pasca konflik, Rudi mulai aktif di dunia seni dan sastra. Ia mendirikan sebuah wadah bagi anak-anak muda untuk berkreasi dan berkesenian, dan mendidik anak-anak muda itu untuk mencintai dunia sastra. Salah satu kegiatan yang ia rintis, workshop coffe, sempat trend di kalangan anak muda kota Ambon.
Bersama sastrawan Maluku M. Irfan Ramli dan Morika Tetelepta, ia mendirikan Bengkel Sastra Maluku yang mencoba mengumpulkan anak-anak muda dari latar belakang agama berbeda untuk sama-sama berkreasi dalam sastra. Komunitas ini juga terlibat langsung dalam upaya memfasilitasi konflik agar tidak menjadi kekerasan. Itu misalnya terjadi pada 2014, ketika Bengkel Sastra Maluku mendamaikan dua pemuda desa yang mau berperang melalui sebuah hajatan sastra yang prinsipnya mengajak masyarakat untuk memperkuat nilai-nilai toleransi, pluralisme dalam kehidupan sosial.
Barangkali, karena aktifitasnya yang penuh ketulusan itulah, orang-orang muda Ambon yang mengenalnya menyapanya dengan sebutan Opa. Atas semua itu, Opa menerima penghargaan MAARIF Award 2016 dari MAARIF Institute for Culture and Humanity.
Terima kasih kepada Rifky Husain atas pendampingannya dalam penelitian ini.
*Penulis adalah Wasekjen PP Pemuda Muhammadiyah 2018-2022; Peneliti Senior Ma’arif Institute.