Tidak perlu berprasangka buruk terlebih dahulu membaca judul di atas. Tidak ada maksud jelek. Memang secara sekilas tidak mungkin Ibnu Sina yang hidup 913 tahun lalu membicarakan mengenai pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang baru muncul akhir tahun lalu di sekitar pasar ikan di Kota Wuhan, ibu kota provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Namun, kalau dibahas tentang pemikiran Ibnu Sina lalu dihubungkan dengan kondisi terkini, khususnya mengenai Covid-19, maka akan sedikit ada relasinya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tokoh yang merupakan dokter, apoteker, sekaligus filosof ini selalu dijadikan rujukan para pakar di masa kini. Tidak ada salahnya jika umat Islam menengok kembali pemikiran-pemikiran Ibnu Sina yang tidak lapuk dimakan zaman.
Pendapat Ibnu Sina
Dalam kitab al-Qaanun fii ath-Thib jilid pertama halaman 14, tokoh yang wafat tahun 428 H tersebut menyebutkan bahwa keadaan tubuh manusia ada tiga, yaitu: ash-shihah (sehat), al-maridh (sakit), dan ketiga adalah laa shihah wa laa maridh (tidak sehat dan tidak sakit). Klasifikasi ketiga memang terlihat agak aneh, namun akan cukup masuk akal jika melihat penjelasan di bawah ini.
Logikanya sama persis dengan kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang. Ada tiga keadaan fisik manusia pada saat ini. Pertama, sehat. Ini jelas merujuk kepada masyarakat yang tidak terpapar virus Corona. Semoga kita termasuk yang sehat ini.
Kedua, sakit. Mudah-mudahan mereka yang terkonfirmasi terkena Covid-19 lekas sembuh. Perlu diingat bahwa sekarang pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Gugus Tugas yang dibentuk di bawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mengganti istilah positif menjadi terkonfirmasi. Hal ini dikarenakan perlu uji laboratorium untuk validasi. Mengapa tidak ada lagi istilah positif? Karena Ibnu Sina menyatakan ada golongan selanjutnya.
Ketiga, tidak sehat dan tidak sakit. Kelompok ini sekarang lazim dikenal dengan istilah Orang Tanpa Gejala (OTG). Dia tidak ada gejala tapi terkontaminasi virus atau virus carrier. Mereka terpapar Covid-19, namun badannya sehat karena daya tahan tubuhnya baik. Generasi milenial rentan masuk golongan ini. Kelompok ketiga ini juga positif sebetulnya, tapi harus diuji terlebih dahulu.
Pendapat tokoh bernama lengkap Abi ‘Ali al-Husain ibn ‘Ali ibn Sina ini memang terlihat anti mainstream. Kebanyakan pakar memang mengklasifikasikan keadaan tubuh manusia terbagi menjadi dua saja. Sehat dan sakit. Namun, untuk konteks kekinian, pendapat Ibnu Sina lebih masuk akal dan kontekstual.
Pembuktian Terbalik
Dalam keadaan normal, kaidah yang berlaku adalah semua orang sehat sampai ada bukti bahwa dia sakit. Namun, dalam situasi darurat seperti sekarang, kaidahnya adalah semua orang sakit sampai ada bukti bahwa dia sehat. Cara membuktikan bahwa kita sehat tidak terlalu rumit. Tidak perlu tes swab atau rapid test.
Kita masih ingat sekitar satu bulan lalu bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berencana melakukan tes massal beserta seluruh anggota keluarga. Lalu para netizen ramai-ramai merundung rencana yang tidak begitu mendesak tersebut. Tes swab tenggorokan hanya diperkenankan bagi mereka yang masuk kategori Pasien dalam Pengawasan (PDP). Hasilnya pun keluar tidak cepat.
Begitu pula dengan rapid test yang sebaiknya diterapkan pada orang-orang yang terkena tracking pasien terkonfirmasi Covid-19. Maksudnya adalah dia sempat berkomunikasi dengan jarak dekat dalam tempo 14 hari terakhir. Tes cepat tersebut juga digunakan bagi mereka yang baru saja bepergian dari kota yang masuk kategori episentrum. Biaya rapid test juga tidak murah.
#diRumahAja
Cara paling rasional untuk membuktikan kita sehat adalah #diRumahAja. Istilah Stay at Home ataupun Work from Home (WFH) sudah viral. Bekerja, belajar, kuliah, beribadah di rumah saja. Tidak perlu berdebat masalah shalat jama’ah, tarawih, dan jumatan di masa pandemi ini. Ada juga yang memperkenalkan istilah baru, yaitu Kerja dari Rumah (KdR). Saat KdR, mari imbangi dengan makan makanan yang halal dan thayyib, istirahat cukup, rutin olahraga, serta rajin cuci tangan menggunakan sabun.
Dalam penjelasan selanjutnya, Ibnu Sina menyatakan bahwa orang yang sehat harus memberikan jaminan kepada mereka yang sakit. Jaminan di sini dapat dimaknai banyak hal. Sebagaimana kita tahu bahwa pemerintah RI bersedia menanggung semua pengobatan pasien Covid-19, terutama yang dirawat di Rumah Sakit. Selain itu, orang yang diberi kenikmatan oleh Allah SWT berupa kesehatan juga wajib hukumnya menjamin psikis si sakit. Tidak perlu memberi stigma buruk kepada kepada pasien terkonfirmasi penyakit yang disebabkan SARS COV jilid 2 ini. Apalagi sampai mempublikasikan keluarga dan tempat tinggal mereka layaknya maling ayam. Semua orang pasti tidak mau sakit.
Insyaallah, jika hal-hal tersebut diterapkan sembari melangitkan doa, virus bermahkota ini akan cepat hilang dari muka bumi ini dan kita semua terbukti senantiasa dalam keadaan sehat. Semoga keadaan lekas membaik supaya secepatnya dapat melakukan aktivitas normal. Allahumma jannibna al-munkaraat al-akhlaaq wa al-ahwaa’ wa al-a’maal wa al-adwaa’.
Editor: Arif