Oleh: Hamka Husein Hasibuan*
Adalah hal yang sangat mengejutkan ketika Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta di penghujung tahun 2018 merilis hasil survei nasional, bahwa sebanyak 63,07 persen guru memiliki opini intoleransi terhadap pemeluk agama lain.
Sementara guru yang memiliki opini toleran jauh di bawah, hanya memperoleh angka 39,92 persen. Artinya lebih dari separuh guru-guru di sekolah mempunyai opini intoleran.
Sangat ironis, guru yang seharusnya memiliki kapasitas, tanggungjawab sekaligus teladan untuk menyemaikan semangat perdamaian, kebersamaan, persaudaraan, toleransi, keberagaman, dan gotong-royong justru sebagian besar terperosok dan dibayang-bayangi opini yang kontras dengan semangat tersebut.
Tentu terlalu dini untuk menyimpulkan, bahwa pendidikan agama adalah biang kerok dan faktor utama dalam mengkonstruksi seseorang menjadi intoleran. Banyak hal dari pelbagai faktor, tetapi satu hal yang tidak bisa dimungkiri, pendidikan agama dalam konteks tertentu bisa menjadi penyumbang saham dalam membentuk mindset, bersikap, bertindak dari manusia. Dalam konteks inilah, pertanyaan dan kritikan para pakar mengenai: Apa yang salah dengan pendidikan agama di sekolah, dan mengapa pendidikan agama tidak membuat manusia lebih damai dan memahami yang lain, perlu direspons segera.
Minim Sisi Kemanusian dan Kebudayaan
Fazlur Rahman (Islam and Modernity, 1984) menyatakan, bahwa materi pendidikan agama di dunia muslim, masih berkutat di seputar dogma, doktrin, ritual-ibadah, dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Sementara sisi kemanusiaan, budaya, sosial, dan sesuatu yang sifatnya horizontal sebagai sesama manusia hanya mendapat porsi yang sangat sedikit.
Materi yang diajarkan di sekolah adalah di dominasi –kalau tidak mengatakan seluruhnya –materi yang sifatnya hablun minallah, bagaimana cara salat, puasa, zakat, percaya kepada hal gaib, malaikat, sampai kepada haji. Pendek kata, penekanan terhadap aspek rukun Islam dan rukun iman adalah ciri khas materi-materi agama di sekolah-sekolah. Materi yang dogmatis-doktriner, tanpa memberikan ruang berdialog, berdialektika, dan mengkritisi, akan membuat peserta didik kaku, eksklusif, sibuk dengan agama dan kelompoknya sendiri.
Absennya daya kritis sama dengan absennya semangat kemajuan. Implikasi terbesar dari corak materi seperti ini adalah adanya sikap daniel, penyangkalan. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya akan disangkal.
Realitas sebagian generasi manusia, terutama millennial, yang dengan mudah menghakimi dan memvonis pihak yang tidak sesuai dengannya adalah produk langsung dari materi pendidikan agama yang dogmatik-doktriner, tanpa melihat sisi kemanusiaan dan kebudayaan itu sendiri. Â Menutupi kesalahan dan kelemahan pendidikan agama dengan menekankan aspek kemanusiaan dan kebudayaan akan membuat peserta didik lebih toleran dan progresif.
Rahman (1984) menawarkan empat aspek perlu ditekankan: new kalam, etika-hukum, sosial-humanitas, dan filsafat sebagai alternatif-solusi. Ilmu kalam baru sangat perlu dirumuskan, mengingat realitas yang dihadapi seluruh umat Islam sudah berubah.
Perubahan ini membutuhkan ilmu kalam yang lebih kontekstual. Jika tidak, Â ilmu kalam yang tidak memenuhi perubahan dan dinamika kehidupan manusia dengan sendirinya akan terpelanting.
Ilmu kalam yang diproduksi para konseptor di abad pertengahan tentu sudah banyak yang tidak relevan lagi di abad kontemporer ini, karena perbedaan realitas yang dihadapi. Ilmu kalam klasik sibuk dengan dunia yang jauh di sana. Singkatnya “mempelajari Tuhan” untuk Tuhan. Akibatnya menafikan misi dan tujuan agama itu sendiri, yakni untuk manusia.
Tentu upaya memformulasikan teologi yang lebih menekankan aspek kemanusiaan sudah dirumuskan oleh beberapa pakar, tapi ini belum terealisasikan di dalam materi-materi pelajaran agama di sekolah.
Materi tentang hukum, juga sama nasibnya. Ia diberlakukan bak rumus-rumus matematika. Pola pikirnya hitam-putih, jika bukan halal, ya haram, jika bukan mukmin, ya kafir. Logika dikotomis menjadi tumbuh subur. Sikap ini tentu sangat berbahaya. Sejatinya hukum saja tidak cukup, harus ada sisi etika. Jika yang pertama berbicara tentang kepastian, maka yang kedua berbicara tentang keadilan dan kemanusian. Kepastian dan keadilan harus bergandengan tangan sekaligus.
Belum lagi sisi humanitas dan sosial, salah satu aspek yang paling minim. Siswa diajarkan untuk salat, tapi tidak terangkan tentang disiplin. Disuruh puasa, tapi kepekaan sosial absen. Zakat ditekankan, kesejahteraan sosial diabaikan. Haji dikampanyekan, keberagaman ditolak. Akibatnya kesalehan personal menjamur, kesalehan sosial masih terseok-seok.
Daya rasional dan kritis, juga tidak mendapat perhatian. Metode yang diajarkan sebagian besar yang dilaksanakan oleh guru-guru agama adalah metode hafalan. Seseorang dianggap pintar ketika banyak hafalannya. Belum lagi fenomena terakhir, adanya tingkat intensitas yang tinggi terhadap menghafal Al-Quran. Hafalan tentu tidak salah, tapi jika berhenti hanya di sini, siswa tak ada bedanya seperti robot dan mesin, yang banyak tahu, tapi tak ada daya kritis.
Keempat poin di atas, adalah kelemahan pendidikan agama kita selama ini, akibatnya agama yang seharusnya membawa dampak positif-kostruktif dalam membangun kedamaian di antara anak bangsa. Justru dalam beberap kasus tidak mengambil fungsinya.
Pendidikan agama seharusnya membuat manusia bisa saling memahami, saling asah dalam beragama, dan saling asuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif