Indonesia merupakan negara yang cukup luas dan kaya akan keberagaman. Dalam sejarahnya yang panjang Indonesia memiliki begitu banyak perbedaan budaya, agama, suku dan adat istiadat (Latif, 2015). Keberagaman bangsa ini harus diakui sebagai potensi untuk membangun kekuatan peradaban yang besar, maka untuk mewujudkan kekuatan itu berbagai upaya dalam merawat keberagaman itu harus dilakukan secara terus menerus, karena disisi lain jika keberagaman dan kemajemukan bangsa itu tidak dirawat dengan baik yang timbul bukanlah kekuatan, melainkan kekacauan dan kerusakan dari berbagai konflik yang terjadi.
Dunia pendidikan merupakan instrumen utama dalam merawat keberagaman, mengenal nilai keadilan, kemanusiaan dan belajar menumbuhkan sikap toleransi. Dalam dunia pendidikan juga terdapat perbedaan siswa dalam hal tampilan fisik, perilaku, kemampuan, komunikasi dan lain sebagainya, yang membuat mereka menjadi rentan terhadap diskriminasi. Mereka yang berkebutuhan khusus rentan mendapat ketidakadilan oleh sistem pendidikan, yang mengharuskan anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah luar biasa. Hal ini mencerminkan sistem pendidikan yang tidak mengedepankan nilai inklusifitas dan toleransi terhadap perbedaan yang ada pada siswa sebagai masyarakat. Maka dari itu, akan sangat menarik jika sistem pendidikan dalam hal ini merubah orientasinya dari pendidikan eksklusif menjadi pendidikan inklusif.
Pendidikan Inklusif
Isu mengenai pendidikan inklusif sudah sejak lama menjadi pembahasan Internasional. Pada tahun 1991 diadakan konferensi Internasional di Bangkok, tentang pendidikan yang menghasilkan deklarasi “education for all”. Hasil deklarasi ini mengimplikasikan bahwa layanan pendidikan yang baik merupakan hak semua anak tanpa ada pengecualian (termasuk anak berkebutuhan khusus). Pada tahun 1994 sebagai tindak lanjut hasil deklarasi Bangkok, diselenggarakan konvensi pendidikan di Spanyol dan mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang kemudian dikenal sebagai “the Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi: a) Semua anak sebaiknya belajar bersama, b) Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa, c) Anak berkebutuhan khusus diberi layanan khusus. Berdasarkan tuntutan dan kecenderungan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, pada tahun 2004 Indonesia menyelenggarakan konvensi nasional di Bandung yang menghasilkan deklarasi dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif (Saputra, 2016).
Merujuk pada dasar pendidikan untuk semua, pendidikan inklusif berupaya menjangkau semua orang tanpa kecuali. Perubahan pendidikan melalui pendidikan inklusif memiliki arti penting khususnya dalam kerangka pengembangan pendidikan bagi semua kalangan dan anak berkebutuhan khusus (Rahim, 2016). Landasan filosofis yang digunakan dalam membangun pendidikan inklusif di Indonesia adalah pancasila dengan lima nilai yang menjadi pijakan bersama, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai fondasi yang lebih mendasar (Bintaro, 2004). Secara teoritis pendidikan inklusif merupakan proses pendidikan yang memungkinkan semua anak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas reguler, tanpa memandang ras, kelainan, atau karakteristik lainnya (Muhibbin, 2021).
Dalam kerangka pendidikan inklusif, yang diketahui sebagai kelainan (cacat) dan kenormalan secara fisik merupakan satu bentuk kebhinekaan sebagaimana perbedaan ras, suku, agama, bahasa dan budaya. Berdasarkan kacamata pendidikan inklusif, seorang individu yang meskipun memiliki kelainan atau kecacatan secara fisik pasti dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu. Sebaliknya, seorang individu yang dianggap berbakat pasti juga memiliki kelemahan tertentu, karena fitrah manusia memang tidak ada yang sempurna. Kecacatan dan keunggulan secara fisik tidak seharusnya memisahkan siswa satu dengan yang lainnya. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga dapat memantik sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang tinggi.
Mewujudkan Pendidikan untuk Semua
Pendidikan inklusif di sekolah harus merespon dan mengenali setiap kebutuhan siswa yang berbeda-beda, mengakomodir berbagai gaya belajar dan menjamin pemberian pendidikan yang berkualitas terhadap semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang baik, pengorganisasian yang terukur, penggunaan strategi pembelajaran yang tepat, penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitar dan pemanfaatan sumber-sumber yang lain secara maksimal. Dalam sekolah yang ramah, semua komunitas sekolah memahami bahwa tujuan pendidikan adalah untuk semua, dimana segala upaya yang dilakukan bertujuan agar semua siswa merasa berdaya, mampu menghadapi banyak tradisi dan selalu memberi kontribusi yang bernilai (Alimin & Permanarian, 2005).
Terdapat beberapa syarat manakala ingin mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif, antara lain: Pertama, guru memiliki tanggung jawab untuk menciptakan suasana kelas yang menampung semua siswa dengan menekankan suasana sosial yang menghargai perbedaan dalam hal kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, agama dan sebagainya. Kedua, menuntut perubahan kurikulum yang multilevel sesuai kondisi semua siswa, karena pembelajaran dalam kelas inklusif tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada kondisi siswa. Ketiga, menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif, karena perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan metode pembelajarannya (Unesco, 2002).
Model pembelajaran kelas yang tradisional dimana seorang guru harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan siswa di kelas, kini harus diganti dengan model pembelajaran yang dimana semua siswa bekerja sama, saling memberi, dan secara aktif berpartisipasi dalam proses pendidikan teman-temannya dan pendidikannya sendiri. Dengan kata lain semua siswa yang berada di satu kelas bukan lagi untuk berkompetisi, akan tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain.
Editor: Soleh