Pendidikan Kritis – Brazil pada tahun-tahun 1940-1970 merupakan negara yang sedang tertatih untuk membangun diri. Sekalipun sudah satu abad sejak penjajahan dikalahkan, namun rupanya jiwa individu di sana belum betul-betul bebas. Malahan mereka sejatinya adalah budak tanpa kekangan, merdeka namun dalam tekanan kekuasaan.
Bukan lagi orang-orang Portugis, bukan pula Inggris, namun jiwa dan struktur sosial penindasan masih mengakar. Tuan-tuan tanah kaya yang pernah bersekongkol dengan koloni masih mewarisi lahan-lahan luas sementara rakyat mayoritas hidup miskin dan serba kekurangan.
Yang mengherankan bahwa mereka yang ditindas itu seolah tidak sadar sedang diperas dan justru tunduk patuh ke dalam sistem yang mempertahankan kondisi demikian.
Sebagian yang lain, sedikit banyak merasakan kejanggalan, akan tetapi memilih bungkam. Di sinilah nampak suatu budaya bisu.
Dalam analisa Freire, hal ini terjadi karena relasi sosial manusia berkarakter dominasi-subordinasi di mana perjumpaan antara manusia senantiasa menjadi arena pertarungan untuk menguasai atau dikuasai.
Hal ini menyebabkan pelanggaran pada sifat-sifat kemanusiaan; yaitu kesadaran, kebebasan dan kesetaraan.
Manusia yang ditindas dimatikan kesadarannya, dipasung kebebasannya, dan direndahkan kedudukannya. Begitu pula mereka yang disisi lain. Penindas itu memperdaya diri dengan mitos kebesaran, dalam kecemasan akan ancaman pembalasan dari yang ditindas, sembari lari ke puncak hierarki tuk bersembunyi.
Pendidikan Gaya Bank
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan di mana nilai-nilai ideal dan pengetahuan yang dianggap penting diajarkan dari satu generasi ke generasi.
Maka melalui pendidikan, dapat dirancang model manusia yang diharapkan, yang memegang teguh dan mempraktikkan nilai-nilai ideal dan pengetahuan penting masyarakat.
Masalahnya banyak yang lupa bahwa paradigma pendidikan saat ini merupakan peninggalan dari proyek penjajahan budaya. Baik oleh Portugis di Brazil, pula oleh Belanda di Indonesia.
Bahwa pendidikan sekedar dilaksanakan untuk mengajarkan kepatuhan kepada otoritas, dan transfer segala kebenaran dalam versi penguasa asing.
Untuk mencapai tujuan itu, dilangsungkan paradigma pendidikan gaya bank. Disebut demikian karena guru bertindak seperti penabung pengetahuan, sedangkan murid selayaknya rekening.
Guru aktif dalam mentransfer ilmu dan murid sekedar pasif menerima. Guru bertindak sebaga subjek belajar, murid itu hanya jadi objek belajar.
Bayangkan kemudian jika selama dua belas tahun, dari sekolah dasar hingga menengah, seseorang terbiasa berinteraksi dengan guru dalam paradigma gaya bank.
Sudah tentu relasi di kelas turut mewarnai relasi dalam kehidupannya. Lebih dari itu, bahkan relasi di keluarga, kerja, dan relasi antara gender juga ikut berwatak demikian.
Tengok saja kepada masyarakat kita. Anak tidak punya suara atas kehidupan, karena kebanyakan keputusan adalah milik orangtua.
Bawahan atau kolega kerja tidak memiliki hak atas hasil kerjanya selain dari gaji yang kecil. Pula pria seringkali seperti guru yang dominan, dan perempuan seperti murid yang disubordinasi.
Kesadaran Magis, Naif, dan Kritis
Kunci dari persoalan ini adalah kematian kesadaran di antara individu sehingga ketimbang terlibat secara kritis membangun dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi seluruh manusia, mereka diam dan sekedar menerima keadaan.
Freire membagi dan mendefinisikan lebih lanjut kesadaran itu ke dalam tiga tingkat. Pertama adalah kesadaran magis atau kesadaran bahwa dunia bekerja dalam prinsip supranatural, ketimbang rasional.
Kesadaran ini dibentuk utamanya oleh keyakinan bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan merupakan takdir dari Tuhan yang tidak dapat diubah.
Di tingkat kesadaran berikutnya, ada kesadaran naif. Pada kesadaran ini seseorang telah mengatasi pandangan supranatural dengan memahami bahwa kondisinya dapat diubah melalui usaha nyata.
Akan tetapi mereka disebut naif karena menipu diri bahwa seolah tidak ada struktur yang menindas yang menghalangi aktualisasi dan kebebasan sepenuhnya diri mereka.
Baik individu dengan kesadaran magis maupun naif sama-sama bermasalah bagi Freire. Pada yang pertama seseorang mustahil untuk menciptakan pembebasan karena tidak menyadarinya, sedangkan pada yang kedua justru diam sekalipun mengetahui penindasan. Padahal, diam bukanlah netral, melainkan mengizinkan penindasan juga!
Maka Freire menyimpulkan bahwa dibutuhkan kesadaran pada tingkat kritis. Kesadaran kritis ini hanya dicapai ketika seseorang dapat melihat dan menganalisa penindasan yang sedang terjadi, memiliki kegelisahan terhadapnya, dan kemudian turut terlibat dalam menciptakan perubahan.
Kritis tidak sekedar tahu, atau dapat mengungkap eksistensi ketidakadilan. Namun juga mengupayakan tindakan konkrit untuk melawan sistem ketimpangan sosial. Demikianlah, refleksi kritis dengan aksi kritis diatas secara bersama-sama mendefinisikan tingkat kesadaran kritis seseorang.
Konsientisasi dan Pendidikan Hadap Masalah
Dalam rangka mengatasi kesadaran magis dan naif maka perlu dilakukan konsistensi atau penyadaran. Namun konsientisasi itu tidak dapat dilakukan dengan sekedar menabungkan fakta bahwa mereka sedang ditindas, karena yang demikian tetap mempertahankan pola gaya bank dalam pendidikan.
Freire memperkenalkan pendidikan hadap masalah sebagai paradigma pendidikan pembebasan. Pada pendidikan ini, guru adalah murid yang turut belajar dengan murid yang guru yang membagikan pandangannya atas realitas sebagai masalah yang dihadapi bersama-sama oleh keduanya.
Tidak ada dikotomi antara subjek dan objek belajar. Baik guru dan murid adalah pelaku, pengajar, dan penindak dari realitas. Tidak ada lagi yang dilaku, yang diajar yang ditindak atas nama realitas.
Penting untuk dipahami bahwa melalui proses ini kedua akan mengasah kesadarannya, memulihkan kebebasannya, dan menerima bahwa sejatinya diri mereka dan setiap insan di muka bumi adalah setara.
Nah, relasi belajar yang emansipatoris itu akan mempertajam kapasitas refleksi dan keterlibatan kritis murid dan guru. Keduanya akan semakin mengerti bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengubah dunia, dan bahwa dunia senantiasa berubah atas tindakan konkrit manusia.
Pendidikan Kritis-Transitif
Merubah pendekatan belajar dalam kelas menjadi sepenuhnya pendidikan hadap masalah merupakan sesuatu yang radikal, yang tidak mudah diterima oleh semua orang.
Banyak yang segera curiga, pesimis atas manfaatnya dan bahkan merasa tidak belajar sama sekali dalam pendidikan hadap masalah.
Lagi-lagi kami memahami yang demikian merupakan fakta bahwa paradigma pendidikan yang ada betul-betul berwatak gaya bank. Individu telah begitu terbenam dalam pendidikan itu hingga tidak melihat alternatif selain pendidikan gaya bank. Pendidikan gaya bank adalah keniscayaan, sesuatu yang alamiah bagi dirinya.
Maka ditawarkan model pendidikan kritis-transitif sebagai jembatan kepada pendidikan kritis penuh. Pada model pendidikan kritis-transitif guru membuat struktur atau kerangka yang memungkinkan murid dan dirinya bersama-sama aktif dalam berbagi mengenai pandangannya.
Hal ini misalnya dapat dilakukan melalui diskusi tematik maupun forum baca dengan guru sebagai fasilitator. Guru harus senantiasa ingat, bahwa dirinya bukan si maha tahu dan maha benar, dan partisipasi murid adalah yang utama.
Lambat laun ketika siswa telah berani dan menghargai dirinya sebagai subjek berpikir maka pendidikan itu dapat melibatkan mereka sebagai perancang bersama pendidikannya. Saat itulah maka, pendidikan kritis telah tercapai dalam pengertian yang paling sederhana.
Editor: Yahya FR