Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia dengan berbagai cara; padahal yang terpenting ialah mengubahnya. Kutipan yang sering kita dengar dan baca ini, menurut saya, dapat ditarik lebih luas untuk menilai penelitian-penelitian, khususnya sosial, yang telah dilakukan para akademisi di Perguruan Tinggi (PT).
Dalam mitologi Yunani, akademisi dilambangkan dengan simbol burung hantu. Dilambangkan demikian karena akademisi dianggap memiliki penglihatan yang tajam, akses ke sumber daya yang baik guna mencapai pemahaman, serta kerap mengambil jarak. Sebab seperti itulah karakter dasar burung hantu; memiliki mata berukuran besar, sayapnya dapat terbentang tiga kali panjang tubuh, dan sering mengintai di malam hari.
Akademisi disebut memiliki pengetahuan sistematis dengan penguasaan pada aspek metodologis. Kemampuan tersebut membuatnya dapat menembus sekat-sekat sosial; dari politisi, penguasa, pemilik kapital, sesama kolega, hingga masyarakat biasa. Berdasarkan pandangan tersebut, maka tidak heran bila pembacaan ilmiah atas realitas (penelitian) sejauh ini dikuasai oleh akademisi.
Idealnya, hasil penelitian intelektual memiliki dampak bagi perubahan sosial. Dalam artian, bukan hanya sebatas mendeskripsikan, menganalisis, menyimpulkan, dan membuat prediksi. Sayangnya, model penelitian arus utama menganggap hal itu bukan bagian dari kewajibannya. Hingga saat ini, sangat sedikit, untuk tidak menyebut seluruhnya, penelitian yang dilakukan untuk transformasi sosial dan meningkatkan kesadaran kritis serta repolitisasi masyarakat.
Objektivitas Penelitian
Objektivitas penelitian biasanya menjadi elemen kunci yang secara ketat menuntun setiap proses riset di PT. Pembacaan yang objektif, lumrah diterapkan dalam penelitian ilmu alam, mensyaratkan netralitas peneliti, dalam artian bebas nilai, basis ideologi dan etika. Ketiadaan intervensi subjek peneliti ditempuh dengan anggapan agar dapat menggapai hukum universal dari tindakan atau gejala sosial.
Dalam setting penelitian semacam itu, peneliti terkesan mengabdi hanya pada komitmen metodologi (ilmu untuk ilmu, bila bukan untuk penguasa). Sisi kritis dan humanis pada diri peneliti seolah terkikis. Artinya, tidak ada empati, simpati, dan keberpihakan pada subjek penelitian. Sebab adalah dosa ilmiah bila hal-hal tersebut diikutsertakan dalam model pembacaan dan penelitian sosial dominan.
Penelitian yang Tak Begitu Berguna
Ada banyak ahli atau peneliti yang mampu menganalisis dan memetakan secara baik berbagai persoalan sosial dalam masyarakat semisal kemiskinan, pengangguran, ketimpangan gender, dominasi, pembangunan, Pendidikan, dan sebagainya. Mirisnya setelah menulis laporan, publikasi dan semua tuntutan penelitian mereka tercapai, persoalan masyarakat tetap tidak berubah sama sekali.
Akhirnya, hasil penelitian hanya berfungsi mengisi rak-rak kosong dan menunggu untuk dipertimbangkan atau ‘ditimbang’. Kritik Perguruan Tinggi sebagai menara gading demikian dapat dibenarkan. Akademisi terkesan tidak memiliki tanggung jawab atas informasi dan temuan yang diteliti. Eksekusi diserahkan sepenuhnya kepada politisi penguasa atau dilacurkan kepada pemberi biaya penelitian.
Persoalannya kemudian tidak jarang hasil penelitian dimanfaatkan (atau disajikan) untuk menopang kekuasaan rezim, menindas masyarakat, rekayasa pasar, serta politik. Kita barangkali tidak lupa bagaimana peran ilmuan (semisal Snouck Hurgronje bagi pendudukan Aceh) bagi pemerintahan kolonial hingga berbagai riset masa Orde Baru dan reformasi yang berpihak pada kekuasaan alih-alih masyarakat kecil.
Pada saat bersamaan, kita melihat bagaimana saat ini tindakan dan pikiran masyarakat digerakkan oleh mesin global. Secara terstruktur, globalisasi menciptakan kesadaran palsu agar masyarakat mengikuti pola hidup konsumtif, termotivasi pada merek, tren, dan modis. Belanja bukan lagi soal kebutuhan, kekuatan uang, terlebih rasa simpati serta empati pada buruh yang diperas dan ditindas perusahaan.
Mengenai gejala dehumanisasi yang bersemayam dalam tubuh globalisasi ada baiknya kita menonton film dokumenter karya John Pilger berjudul The New Rulers of the World.
Penelitian, untuk Siapa?
Kembali pada pertanyaan awal, siapakah pihak yang memiliki kepentingan dalam sebuah penelitian? Dalam ungkapan lain, siapakah pihak yang mendapat manfaat dari tindakan penelitian? Mereka para peneliti, politisi penguasa, pemiliki modal, atau masyarakat biasa?
Uraian di atas menjelaskan bahwa dalam model penelitian social, arus utama peneliti adalah pihak yang paling diuntungkan. Tindakan penelitian membuat mereka kaya pengetahuan, data, pengalaman. Selanjutnya, mereka mendapat bonus finansial, popularitas, publikasi, angka kredit, dan kenaikan jabatan. Tentu yang tidak kalah mendapat manfaat dalam hal ini ialah politisi penguasa dan pemilik kapital ekonomi.
Masyarakat dapat apa? Yah kalau bukan ucapan terimakasih, paling banter masyarakat diberi cinderamata. Setelah itu, mereka terpaksa bergelut kembali dengan sekelumit problem kehidupan yang tidak memihak. Penindasan, eksploitasi, dan tekanan sosial harus mereka pecahkan dengan tangan sendiri tanpa ada intervensi atau keikutsertaan mereka yang disebut akademisi.
Kenyataan ini merupakan konsekuensi dari model penelitian sosial yang memposisikan masyarakat sebagai objek tak berdaya (pasif). Berangkat dari anggapan bahwa masyarakat tidak memiliki pengetahuan, maka relasi yang dibangun ialah top-down. Dengan begitu, tidak ada upaya pendewasaan, pengorganisiran, penyadaran, dan pemberdayaan masyarakat.
Hijrah ke Action Research
Guna mencegah situasi itu terus berlarut, kita perlu menempuh model penelitian progresif yang mampu menjembatani antara riset dan aksi atau dikenal sebagai action research. J. Habermas, P. Freire, Kurt Lewin merupakan salah beberapa tokoh dalam mazhab sosial kritis yang mengembangkannya. Para tokoh ini menolak pendekatan positivistik dan interpretatif yang menafikan tindakan komunikatif serta upaya pembebasan.
Tujuan action research tidak berhenti hanya pada pemetaan problem sosial dalam masyarakat, melainkan juga turut andil mengubahnya. Metode ini menuntut intervensi peneliti, melakukan pembebasan, dan menghapus ketidakadilan. Peneliti dan masyarakat menjadi subjek sekaligus dalam rangkaian riset untuk melakukan refleksi kritis atas berbagai persoalan mendasar yang dialami.
Pendampingan, pendidikan, pemberdayaan, akan meningkatkan aspek pengetahuan dan kesadaran pada diri masyarakat. Masyarakat selanjutnya mampu bersuara atas situasi dan kebijakan politik yang tidak memihak kepadanya. Selanjutnya, situasi ini memicu lahirnya organisasi masyarakat untuk mengorganisir berbagai kebutuhannya secara mandiri.
Akhirnya, menarik untuk memperhatikan kembali ungkapan Pram dalam Jejak Langkah: “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
Editor: Yahya FR