Perspektif

Perdebatan Akar Rumput Versus Elite Muhammadiyah dalam Penanganan Covid-19

4 Mins read

Sebelum masuk bulan Ramadan, Muhammadiyah sudah mengeluarkan maklumat yang berisi larangan penyelenggaraan Salat Tarawih di masjid-masjid Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Larangan ini menyusul maklumat yang dikeluarkan sebelumnya tentang larangan Salat Jamaah di masjid dan larangan Salat Jumat yang diterbitkan lebih dulu. Namun, di tingkat akar rumput larangan ini direspon secara beragam. Sebagian memang taat dan patuh dengan maklumat pimpinan. Namun, sebagian lainnya ada yang tidak sependapat dengan sejumlah alasan.

Terhadap suara-suara yang tidak sependapat itu, Muhammadiyah juga merespon dengan sangat tegas. Sejumlah argumen dibangun agar warga dan pimpinan Muhammadiyah di daerah taat dan patuh terhadap maklumat itu. Salah satu argumen tegas dan keras yang tersebar di media sosial adalah ungkapan bahwa sebagai sebuah organisasi, keputusan di level pimpinan pusat (PP) harus ditaati dan dipatuhi di semua level dan tidak boleh dikalahkan dengan pendapat pribadi. Semua Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) didirikan atas nama organisasi sehingga harus taat dan patuh dengan garis kebijakan yang dibuat oleh organisasi.

Salah satu ketegasan yang juga viral adalah tanggapan terhadap rencana pengunduran diri pimpinan di salah satu daerah di wilayah Jawa Timur (Jatim). Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim secara tegas mempersilahkan jika yang bersangkutan memang berniat mengundurkan diri. Ungkapan yang tegas itu tercermin di dalam kalimat yang diviralkan, yaitu “daripada menjadi duri perpecahan akibat tidak tertib dan disiplin organisasi.”

Menariknya adalah ada juga semacam penggiringan opini di media sosial tentang ketidaktaatan terhadap larangan PP sebagai kebebalan atau pun kecongkakan dalam beragama. Berbagai status dibuat untuk menguatkan argumen PP sekaligus mendelegitimasi keragaman pendapat di tingkat akar rumput.

Baca Juga  Baduy dan Pembangunan Pariwisata Berbasis Alam

Beberapa Persoalan yang Diperdebatkan

Saya tidak bermaksud ikut berpolemik tentang bahayanya Covid-19 ini. Dalam hal ini saya tunduk dan patuh seratus persen terhadap pandangan para ahli tentang bahaya virus yang belum ditemukan obatnya ini. Saya hanya ingin menyoroti beberapa penilaian negatif atau mungkin tepat juga jika dikatakan penghakiman, yang dilakukan oleh elit Muhammadiyah, baik dari level pimpinan, majelis, maupun lembaga, khususnya di tingkat pusat maupun wilayah, terhadap perbedaan pandangan yang ada di akar rumput.

Pertama, tentang pernyataan bahwa semua Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) didirikan atas nama organisasi. Tidak ada yang salah dengan pernyataan ini. Apalagi jika menggunakan pendekatan legal formal. Dengan pendekatan formal ini, Muhammadiyah mudah mengklaim semua masjid yang berdiri di atas tanah wakaf Muhammadiyah sebagai milik Muhammadiyah sehingga wajib ditutup. Sementara masjid yang berdiri di atas tanah wakaf perorangan, bisa pula diklaim sebagai bukan milik Muhammadiyah, meskipun jamaahnya dan praktik ibadahnya Muhammadiyah.

Meskipun demikian, tantangan perjuangan warga Muhammadiyah di daerah itu sangat beragam. Proses AUM, khususnya masjid, menjadi bersertifikat wakaf Muhammadiyah itu banyak yang berliku. Belum lagi banyak tantangan eksistensi masjid Muhammadiyah di daerah-daerah yang sangat beragam. Pernyataan ini seolah-olah memandang bahwa manajemen masjid Muhammadiyah di Indonesia itu simpel dan seragam. Bukan hanya itu, tidak ada sedikit pun rasa empati pada kalimat tersebut terhadap perjuangan warga Muhammadiyah di daerah.

Kedua, mempersilahkan pimpinan yang ingin mengundurkan diri karena beda pandangan dengan keputusan PP Muhammadiyah. Sikap ini sangat menonjolkan pendekatan arogan dalam mengelola organisasi. Di daerah, khususnya di tingkat cabang dan ranting, pimpinan Muhammadiyah rata-rata tidak pernah berganti selama beberapa periode. Kalau pun ada pergantian, hanya sebatas pergeseran. Misalnya, sudah dua periode jadi ketua, periode berikutnya digeser jadi sekretaris, lima tahun yang akan datang jadi ketua lagi. Kondisi seperti ini masih banyak dihadapi oleh cabang dan ranting. Artinya, kader di tingkat akar rumput itu sangat sedikit.

Baca Juga  Tradisi Baru Lebaran: Hampers, Silaturahim Online, dan Aplikasi THR

Bukankah ini sebuah arogansi ketika mereka yang sudah memiliki kemuhammadiyahan secara mendarah daging tiba-tiba dipersilahkan mengundurkan diri hanya karena berbeda pandangan dengan pimpinan di atasnya? Ataukah memang Muhammadiyah sudah cukup besar dengan ribuan amal usahanya, sehingga tidak memerlukan lagi kader di tingkat akar rumput?

Ketiga, perbedaan argumen yang pada dasarnya bersifat debatable. Salah satu argumen yang diangkat oleh pandangan yang berbeda dengan maklumat PP adalah masih dibukanya mall, pasar, dan tempat keramaian lain oleh pemerintah, sementara warga Muhammadiyah dilarang menyelenggarakan Salat Jumat dan Tarawih di masjid. Alasan ini segera mendapatkan delegitimasi. Dikatakan bahwa ilat hukum yang digunakan untuk mengqiyaskan masjid dengan pasar tidak tepat sehingga tidak bisa dijadikan perbandingan.

Dari sudut pandang lain, sebenarnya yang dibandingkan bukanlah masjid dengan mall atau pasar, melainkan sama-sama tempat berkerumun mengapa hanya masjid yang ditutup? Sementara akses ke masjid bisa dikelola oleh takmir masjid setempat, yakni dengan menyeleksi jamaah yang boleh mengikuti Salat Jumat/Tarawih dengan menerapkan protokol kesehatan. Di sisi lain, tidak ada jaminan minimalisasi kerumunan massa di mall atau pasar, meski pun tetap menerapkan protokol kesehatan.

Kritik Akar Rumput Harus Diakomodir

Jika dicermati secara mendalam, sejatinya ketidaktaatan terhadap maklumat PP tidak semata-mata   didasari atas ketidaktaatan atas putusan pimpinan. Sasaran kritik dari ketidaktaatan itu bukanlah maklumat PP secara langsung, tetapi tidak sinkronnya antara maklumat PP dengan kebijakan pemerintah. PP begitu tegas terhadap warganya, sementara pemerintah bisa dikatakan santai dalam mengatasi permasalahan Covid-19 ini. Sikap pemerintah yang terlalu santai inilah yang kemudian memantik sikap kritis warga persyarikatan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa Muhammadiyah begitu keras terhadap warganya, sedangkan pemerintah tidak cukup tegas dengan berbagai himbauan yang dilakukan? Jawaban yang kemudian muncul adalah bahwa Muhammadiyah ingin menjadi pelopor dalam penanganan Covid-19. Terkait dengan kepeloporan ini, di jejaring media sosial Muhammadiyah, gerak Muhammadiyah dalam penanganan Covid-19 memang luar biasa cepat, responsif, dan menjadi teladan. Sayangnya kepeloporan ini lebih banyak tampil di media sosial, sementara di media mainstream minim publikasi. Misalnya, minimnya publikasi penangan Covid-19 di rumah sakit PKU Muhammadiyah yang masih kalah gaungnya di media dengan nama Siloam dan Mitra Keluarga.

Baca Juga  Life Must Go On, Sobat Ambyar!

Muhammadiyah, dalam hal ini, perlu memperbaiki cara komunikasi baik internal ke warga persyarikatan sendiri, maupun secara eksternal dengan publik yang lebih luas. Jangan sampai komunikasi itu hanya menampilkan ketegasan ke dalam saja. Muhammadiyah juga perlu merespon suara-suara kritis kader akar rumput yang berhadapan langsung dengan permasalahan yang sangat kompleks. Pendekatan yang dikembangkan tidak boleh bersifat normatif hanya mendasarkan pada aturan organisasi yang kaku. Mumpung persoalan Covid-19 ini belum berakhir, Muhammadiyah harus segera mengubah pendekatannya. Jangan sampai setelah wabah ini berakhir, kepeloporan tidak didapat, sebaliknya banyak kader yang minggat.

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
Sekretaris PCM Karangjati Kab.Ngawi dan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab.Ngawi
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds