Lomba dari BPIP Tendensius?
BPIP, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menggelar kompetisi menulis dalam rangka Peringatan Hari Santri Nasional. Ada dua tema yang diperlombakan: hukum hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Poster perlombaan ini telah viral di media sosial dan menimbulkan polemik. Responnya rata-rata negatif.
Politisi PKS Mardani Ali Sera mengatakan lomba tersebut tendensius. Menurut Mardani tema lomba tersebut membuka luka lama saat Islam dianggap sebagai musuh Pancasila. Hal senada disampaikan oleh Politisi PAN Saleh Partaonan Daulay. Menurut Saleh lomba tersebut tidak produktif dan tidak kontekstual.
Komentar cukup keras datang dari Ketua PP. Muhammadiyah Busyro Muqoddas. Menurut Busyro lomba tersebut tak ada gunanya, tendensius bahkan mengadu domba. Busyro kemudian menilai BPIP sebaiknya dibubarkan saja jika tidak ada manfaatnya.
Saya cukup sependapat dengan pandangan tokoh-tokoh di atas. Jujur saat pertama kali melihat poster pengumuman perlombaan, saya terkejut melihat temanya. Timbul pertanyaan dalam benak saya, mengapa BPIP lembaga tingkat pusat mengurusi hal yang seharusnya menjadi urusan tingkat kabupaten/kota atau kecamatan? Ibarat ingin menembak tikus menggunakan meriam.
Faktanya, mayoritas umat Islam sudah tidak ada masalah dengan hormat bendera dan lagu kebangsaan. Kalau di lapangan ditemukan masih ada yang mengharamkan, maka itu menjadi bagian dari tugas penyuluh agama untuk meluruskan paham menyimpang mereka. Bukankah di setiap Kantor Urusan Agama ada penyuluh agama yang digaji negara?
Jika penyuluh agama tidak bisa meluruskan paham yang mengharamkan hormat bendera dan lagu kebangsaan, pemerintah ajak ormas-ormas Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya.
Syukur-syukur tidak perlu sampai melibatkan Polsek dan Koramil dan bisa diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Jadi tidak perlu BPIP sampai harus turun tangan.
Jika yang mempunyai paham mengharamkan hormat bendera dan lagu kebangsaan itu lembaga pendidikan, maka Dinas Pendidikan setempat yang harus menindak dan meluruskan pahamnya.
***
Dicantumkannya tema hukum hormat bendera dan hukum lagu kebangsaan seolah-olah umat Islam dan santri di Indonesia masih banyak yang menolak hal tersebut. Ini tidak benar.
Saya pikir BPIP perlu lebih sensitif soal ini. Perlu juga melibatkan ormas-ormas keagamaan untuk ditampung saran dan masukannya.
Biar bagaimanapun, jauh sebelum BPIP lahir, ormas-ormas keagamaan sudah lebih dahulu berdinamika soal hubungan ajaran agama dengan semangat kebangsaan.
Pada akhirnya dalam konteks Indonesia, mayoritas umat beragama telah mencapai titik temu dalam polemik ajaran agama dan semangat kebangsaan.
Titik temu ini menjadi modal untuk kita lebih menyibukkan diri dengan mengisi kemerdekaan dan memajukan bangsa. Kalau polemik lama diungkit kembali, kapan membangun bangsanya?
BPIP selayaknya menjadi garda terdepan dalam penanaman ideologi Pancasila. Namun tak hanya menanamkan pancasila dalam teori, tapi juga dalam praktik.
Seperti halnya banyak orang yang paham agama namun tak mengamalkannya, begitupun dengan Pancasila. Banyak yang hafal tapi tak mengamalkannya.
Sebenarnya pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada sebuah gerakan yang bagus bernama Revolusi Mental. Saya tahu sampai sekarang program ini masih berjalan. Sayangnya program ini baru sebatas seminar itupun gaungnya sudah tidak sekencang dulu lagi.
Persoalan lainnya adalah revolusi mental belum benar-benar dipraktikan di jajaran pemerintahan. Padahal revolusi mental menurut saya adalah salah satu metode agar Pancasila bisa konsisten diterapkan, tidak hanya sebatas jargon “Saya Pancasila!”.
Editor: Yahya FR