Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitab Lathoiful Ma’arif menjelaskan bahwa bulan Syawal memiliki keutamaan yang istimewa, sebagaimana halnya bulan Sya’ban. Keutamaan Syawal ini berasal dari kedudukannya yang datang setelah bulan Ramadhan yang penuh berkah.
Kemuliaan bulan Syawal didasarkan pada prinsip bahwa ibadah sunnah yang dilakukan setelah ibadah wajib memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan ibadah sunnah yang dilakukan secara terpisah. Dengan demikian, Syawal menjadi bulan yang mulia karena menyusul bulan Ramadhan yang agung. Maka dari itu, ibadah yang dilakukan di bulan Syawal juga mengandung keutamaan tersendiri.
Di antara amal yang utama dilakukan di bulan di bulan Syawal adalah puasa. Diriwayatkan dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshori, dari Nabi Saw bersabda:
من صام رمضان، ثم أتبعه ستّا من شوّال، كان كصيام الدّهر
“Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan berpuasa 6 hari dibulan syawal, maka ia seperti berpuasa setahun”. (HR Muslim)
Para ulama memiliki perbedaan pandangan terkait status hadis ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa sanad hadis tersebut tergolong marfu’, yaitu sampai kepada Rasulullah Saw. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa hadis ini hanya sampai kepada sahabat, atau disebut mauquf. Pendapat terakhir ini dipegang oleh Sufyan bin Uyainah dan Imam Ahmad.
Perbedaan dalam menilai kedudukan hadis ini juga berdampak pada perbedaan praktik dalam mengamalkannya. Ada ulama yang menganjurkan (mensunnahkan) amalan tersebut, sementara yang lain memakruhkannya. Namun jika kita cermati, alasan sebagian ulama memakruhkan amalan itu adalah karena kekhawatiran akan disalahpahami sebagai suatu kewajiban. Imam Malik termasuk ulama yang berpandangan demikian. Meski begitu, terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Malik tetap melaksanakan puasa tersebut, namun secara diam-diam.
Menurut saya, sikap Imam Malik ini mencerminkan kebijaksanaan. Beliau memakruhkan praktik tersebut bagi orang awam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, tetapi tetap melakukannya secara pribadi. Hal ini menegaskan bahwa kemakruhan itu bukan karena substansi ibadahnya, melainkan karena kekhawatiran akan keliru dipahami sebagai kewajiban.
Memang Abu Hanifah dan Abu Yusuf memakruhkan puasa 6 hari ini, namun mayoritas ulama Hanafiyah generasi setelah mereka membolehkannya. Walhasil, ulama yang melarangkan pada prinsipnya mereka menyepakati akan kesunnahan puasa 6 hari di bulan Syawal.
Adapun mereka yang berpendapat puasa tersebut sunnah, mereka berbeda pendapat dalam pengamalannya.
Pertama, pendapat yang mengharuskan dilaksanakan secara berkesinambungan sebagaimana pemaknaan tekstual hadisnya. Pendapat ini diikuti oleh Asy-Syafi’i dan Ibnu Al-Mubarrok.
Kedua, pendapat yang lebih tanawwu’, boleh dilakukan secara berurutan ataupun terpisah selama masih di bulan Syawal.
Pendapat ketiga sebenarnya sejalan dengan pendapat kedua, namun lebih menekankan pentingnya untuk tidak berpuasa saat umat Islam masih dalam suasana gembira merayakan Idulfitri. Di berbagai daerah, momen ini biasanya dimanfaatkan untuk bersilaturahmi. Kegembiraan itu sering diekspresikan dengan menyajikan makanan dan minuman kepada para tamu.
Secara pribadi, saya cenderung mengikuti pendapat ini, karena ada pahala tersendiri dalam membahagiakan orang lain—misalnya dengan menikmati hidangan yang telah mereka siapkan. Rasanya kurang pantas jika tuan rumah sudah bersusah payah menyediakan dan menawarkan makanan, tetapi kita justru menolaknya karena sedang berpuasa.
Selain keutamaan yang telah disebutkan dalam hadis sebelumnya, Al-Imam Ibnu Rajab juga menjelaskan beberapa manfaat dari puasa enam hari di bulan Syawal:
- Puasa enam hari ini memiliki fungsi seperti shalat sunnah rawatib yang melengkapi kekurangan dalam shalat wajib. Begitu pula puasa ini menjadi pelengkap bagi kekurangan dan kekhilafan selama menjalankan puasa Ramadhan. Di hari kiamat, ibadah-ibadah fardhu akan disempurnakan dengan ibadah sunnah.
- Keinginan untuk terus berpuasa setelah Ramadhan menunjukkan bahwa ibadah Ramadhan kita kemungkinan besar diterima. Sebab, salah satu balasan langsung atas suatu kebaikan adalah kemudahan untuk melanjutkan kebaikan serupa setelahnya.
- Puasa enam hari di bulan Syawwal juga merupakan bentuk syukur terbaik kepada Allah SWT. Kita bersyukur karena diberi kekuatan dan kemampuan untuk melewati bulan Ramadhan yang penuh tantangan dan pengorbanan. Seorang ulama bernama Wuhaib bin Warad pernah berkata, “Jangan sibuk menanyakan pahala suatu amal, tapi pikirkanlah bagaimana cara bersyukur bagi orang yang diberi kemudahan dalam melakukannya.”
Kita menyadari bahwa tingkat keimanan tiap orang berbeda-beda, begitu pula semangatnya dalam beribadah. Ada sebagian muslim yang mungkin tidak terlalu aktif beribadah saat Ramadhan, namun tetap menitikkan air mata setelahnya karena rasa syukur telah mampu menuntaskannya. Oleh karena itu, jangan terlalu sibuk mencemaskan kekurangan dalam puasa kita hingga lupa untuk bersyukur kepada Allah Swt.
- Orang yang menjalankan puasa di bulan Syawwal bisa diibaratkan seperti seorang pejuang yang sempat mundur dari medan pertempuran, lalu kembali maju bertempur. Artinya, ia mampu mempertahankan kebiasaan baik yang telah dibentuk selama bulan Ramadhan. Sebab, tidak sedikit dari umat Islam yang hanya giat beribadah selama Ramadhan saja, dan setelah bulan itu berlalu, semangat ibadahnya pun ikut hilang. Mereka seakan hanya mengejar suasana sesaat, bukan beribadah karena mengharap ridha Allah SWT.
Padahal, hal yang paling penting dalam beramal adalah konsistensi atau istiqamah. Rasulullah Saw bersabda bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit.
Renungkanlah nasihat dari Bisyr: “Umat yang paling buruk adalah mereka yang hanya mengenal hak Allah di bulan Ramadhan saja. Sementara orang-orang saleh adalah mereka yang senantiasa bersungguh-sungguh dalam beribadah sepanjang tahun.”
Wallahu A’lam. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita.
Editor: Soleh