Review

Perspektif Zaitunah Subhan terhadap Konsep Gender

3 Mins read

Penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, terus mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini berbanding lurus dengan banyaknya kemunculan para tokoh intelektual yang serius menggeluti dalam bidang tafsir al-Qur’an di era kontemporer ini. Termasuk para tokoh intelektual pengkaji tafsir di Indonesia. Salah satu tokoh pada bidang ini adalah Prof. Dr. Zaitunah Subhan, atas sumbangsihnya dalam kajian tafsir tentang gender dan perempuan.

Zaitunah Subhan tidak lain adalah seorang pakar gender Indonesia, pengalamannya dalam berbagai kesempatan mengemban pendidikan dan jabatan mengantarkan pada perspektifnya tentang konsep gender.

Konsep Gender Zaitunah Subhan

Konsep tentang gender memang menjadi topik yang kontroversial. Adapun para tokoh feminisme yang mengangkat tema gender dipahami sebagai usaha perempuan untuk menyaingi laki-laki. Sedangkan maksud konsep gender sendiri adalah tentang perlakuan keadilan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan.

Subhan mengutarakan dalam bukunya yang berjudul “Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran” bahwa konsep gender ini bukanlah sebagai sifat yang kodrati. Gender tidak lain merupakan sebuah konstruksi sosial dan juga kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Salah satunya yang mengambil peran dalam konstruksi ini, yaitu agama yang dianggap sebagai ketentuan Tuhan.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam buku tersebut dalam bingkai sejarah agama, kehadiran Islam justru memberikan perubahan menuju cara pandang baru terhadap perempuan. Islam datang dengan menjunjung tinggi kesetaraan, tidak sama dengan agama agama sebelumnya yaitu agama Yahudi dan Nasrani, baik dalam pandangan peradaban Romawi, pandangan filsuf-filsuf ternama, maupun oleh Arab pra Islam.

Kedatangan agama Islam tidak lain adalah sebagai pelopor emansipasi wanita dan pendongkrak atas revolusi gender di abad ke-7 M. Meskipun banyak anggapan agama Islam sebagai agama yang mengesampingkan perempuan.

Baca Juga  Kudeta Makkah, Sejarah yang Disembunyikan

Dalam tulisannya, Subhan seolah ingin menunjukkan bahwa penggabungan kata gender dengan tafsir dapat menguraikan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dalam ayat-ayat al-Qur’an banyak dibahas terkait keduanya termasuk pada penyebutan dan penggunaan istilah. Besar harapan dalam interpretasi terhadap istilah gender ini dapat memiliki ruang tersendiri sebagaimana rumusan istilah yang telah ada sebelumnya seperti tafsir ahkam, sosial, plural, dan sebagainya.

Tafsir untuk Kemaslahatan

Dalam melakukan interpretasi dan analisis atas konsep gender ini, Zaitunah Subhan melakukan pola langkah pengkajian sebagaimana pada tafsir tematik. Setiap penyebutan laki-laki dan perempuan beserta derivasinya di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dikumpulkan. Sehingga, di dapati kata ar-rijal dan an-nisa’, adz-dzakar dan al-untsa, kata al-mar’u dan al-mar’atuh pada keseluruhan ayat ayat Al-Qur’an.

Berkenaan dengan ayat-ayat tersebut tidak dapat jika hanya diartikan secara normatif, tetapi juga harus menyentuh aspek konteksnya. Isu sumber ketidakadilan terhadap perempuan di masyarakat bukanlah datang dari ajaran Islam, salah satu faktornya ada pada hasil penafsiran agama. Adapun tafsir tidak hanya dalam rangka keberpihakan pada teks itu sendiri ataupun pembelaan terhadap Tuhan. Namun, juga harus mampu menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat.

Salah satu contoh penafsiran Subhan terhadap ayat hukum waris dalam Q.S an-Nisa’ ayat 34, yaitu pembagian harta warisan laki-laki seperti dua orang perempuan terasa penuh ketidakadilan. Merujuk pada kata qawwamun yang berarti kuat, maka tidak salah jika laki-laki diberikan kewajiban untuk menafkahi seorang istri. Maka, ketika seorang perempuan mendapat bagian setengah itu merupakan sebuah keadilan.

Di sisi lain, seorang laki-laki keika menikah harta warisan dari kedua orangtuanya kelak sebagai mahar dan nafkah sang istri. Sedangkan di pihak perempuan ketika menikah dan mendapat harta warisan, maka akan tetap utuh karena beban nafkah ada pada laki-laki sebagai suaminya. Maka, pembagian warisan sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an bukan berarti keberpihakan kepada kaum laki-laki.  

Baca Juga  Kalis Mardiasih: Masalah Kesetaraan Gender Bertalian dengan Kemiskinan

Konsep tentang budaya patriarki sendiri seolah telah mengakar dalam budaya masyarakat dan melekat pada alam bawah sadar. Subhan menuturkan bahwa produktivitas perempuan dianggap oleh masyarakat lebih rendah dari laki-laki, sehingga perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi dalam peran domestik sedangkan laki-laki lebih banyak berperan di area publik. Oleh sebab itu, wilayah publik banyak di dominasi oleh para laki-laki.

Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki

Kehadiran perspektif tentang konsep gender ini guna membuka lebar apa yang telah menjadi problem masyarakat tentang keadilan. Pada dasarnya konsep gender ini tidak berarti mengesampingkan baik laki-laki maupun perempuan. Melainkan memberikan jalan tengah untuk mencapai kemaslahatan keduanya.  Sebagaimana Islam sebagai agama ketuhanan, kemanusiaan, dan juga kemasyarakatan. Baik laik-laki maupun perempuan tiada unggul kecuali dalam hal ketaqwaannya masing-masing pada Tuhan.

Konsep mendasar yang diutarakan oleh Zaitunah Subhan untuk menjadi pegangan baik laki-laki maupun perempuan diantaranya sama-sama berada di posisi sebagai seorang hamba dan mahluk ciptaan Tuhan. Sama-sama mengemban amanah sebagai khalifah atau pemimpin untuk mengelola bumi, sama-sama menerima perjanjian primordial atau perjanjian antara sang makhluk dengan Tuhannya, sama-sama memiliki potensi untuk mendapat prestasi maupun mendapatkan hukuman, dan terakhir pada aspek sejarah antara Adam dan Hawa keduanya sama-sama terlibat dalam drama kosmik.

Editor: Nabhan

Tatsa Alifah
1 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Yogyakarta
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds