Oleh: H. Mh. Mawardi
Selain mendorong pemuda-pemuda di Kauman supaya keluar kampung untuk menuntut ilmu, Kiai Ahmad Dahlan juga mengajar para bapak dan ibu serta para buruh batik. Pada tiap ba’dal Ashar, Kiai Ahmad Dahlan mengadakan pengajian Wal-Ashri. Untuk para buruh batik disediakan waktu ba’dal Maghrib. Pengajian tersebut dengan nama Maghribi School atau terkenal dengan sebutan Menesal School.
Standaardschool
Pada tahun 1918, atas kemurahan bupati Kota Yogyakarta, Muhammadiyah mendapat tanah sebagian dari tempat kediamannya di sebelah belakang. Di atas tanah tersebut didirikan gedung sekolah enam ruangan ditambah sebuah surau (langgar). Gedung ini disediakan untuk memindahkan sekolah yang ada di Kauman yang ruangannya tak lagi memadai. SD Kauman dipindah ke Suronatan (gedung baru), tetapi yang dipindah hanya murid laki-laki saja. SD Kauman tersebut ditingkatkan menjadi SD 5 tahun yang disebut Standardschool Muhammadiyah. Masyarakat setempat menyebutnya “Sekolah Standar.” Kemudian lama belajar sekolah standar ini dijadikan 6tahun.
Murid-murid perempuan tetap di Kauman di “Pawiyatan”, tetap sebagai Volksschool 3 tahun. Selanjutnya, anak-anak perempuan ini diberi kesmpatan menyambung pada Korpschool selama 3 tahun dengan tambahan pelajaran keputerian. Korpschool ini berada di luar Kauman. Pada akhir tahun 1932 telah tercatat ada 103 buah Volksschool (3 tahun) dan 47 Standaardschool (5 tahun) kepunyaan Muhammadiyah.
Taman Kanak-kanak
Pada salah satu Muktamar Aisyiyah telah diputuskan supaya diadakan Sekolah Frobel (Frobelschool). Putusan tersebut dilaksanakan sekitar tahun 1924 oleh ibu Aisyiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Di kemudian hari, Sekolah Frobel ini diberi nama “Bustanul Athfal Aisyiyah.”
Pertumbuhan Sekolah Frobel terus meningkat dan bertambah maju. Sampai kini, Sekolah Frobel yang telah berubah menjadi Bustanul Athfal Aisyiyah telah menggunakan nama lengkap “Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal” (TKABA) yang telah tersebar di seluruh Indonesia.
H I S
Pada masa penjajahan Belanda, barangsiapa tidak menguasai bahasa Belanda, maka tertutuplah perbendaharaan ilmunya. Bahasa Belanda adalah Bahasa resmi pemerintah dan dunia pendidikan. Oleh karena itu, pada tahun 1920 mulai dirintis adanya SD yang berbahasa Belanda ialah Sekolah Dasar HIS.
Kalau pada waktu itu ada sekolah yang namanya HIS met de Bijbel, maka Muhammadiyah membuka HIS met de Qur’an. Lama belajarnya 7 tahun ditambah 1 tahun kelas persiapan (voor klas atau kelas 0). Kemudian sekolah ini disebut HIS Muhammadiyah. Pada tahun 1926, HIS ini mendapat pengakuan dan subsidi pemerintah kolonial.
Schakelschool
Bagi anak-anak Volkschool yang ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi, disediakan pada tahun 1930 “Sekolah Sambungan” dinamakan Schakelschool. Lama pelajaran 5 tahun. Pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah makin hari makin pesat. Pada akhir tahun 1932 telah tercatat sekolah Muhammadiyah seluruhnya ada 69 HIS dan 25 Schakelschool.
Sumber: SM no. 10/Th. Ke-58/1978. Judul asli “Perkembangan Perguruan Muhammadiyah” karya H. Mh. Mawardi. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id dengan perubahan judul dan penyuntingan.
Editor: Arif