Yang Dipertuan Agung pada akhirnya menolak langkah Perdana Menteri (PM) Interim Mahathir yang meminta parlemen mengadakan sidang menentukan PM Malaysia. Mahathir memang sangat konfiden akan memperoleh dukungan minimal 112 kursi anggauta parlemen, termasuk dari Anwar, istri Anwar, dan putri Anwar. Yang Dipertuan Agung, atas otoritasnya, cenderung mengintervensi dan kemudian menetapkan Muhyiddin sebagai PM Malaysia.
Tentu saja, keputusan ini sangat mengecewakan Mahathir. Muhyiddin dinilai telah melalukan “pengkhianatan politik” terhadap Mahathir. Inilah skenario “political backdoor” yang sejak awal direncanakan Muhyiddin keluar dari Pekatan Harapan dan membentuk koalisi baru dengan mengikutsertakan dua oposisi penting, yaitu UMNO dan PAS. Sejak awal Mahathir sudah menolak skenario dan ajakan Muhyiddin. Dilemanya, Yang Dipertuan Agung justru menetapkan Muhyiddin dan bahkan, menurut satu sumber, menolak permintaan Mahathir untuk bertemu.
Pemerintahan Nasionalis Melayu-Islam
Sudah bisa dipastikan konsesi politik Muhyiddin ke UMNO akan diberikan. Jika gambaran kabinet yang sudah beredar di Medsos benar, maka UMNO akan mendapatkan jatah kursi kabinet terbesar dan setelah itu Partai Bersatu. Kabinet ini menggambarkan gabungan dua kekuatan ideologis, Melayuisme dan Islamisme, yang dalam sejarahnya sering bertentangan.
Melayuisme, sejak awal diwakili oleh UMNO dan sekarang ditambah Partai Bersatu (faksi UMNO yang dipimpin oleh Mahathir sebagai Ketua dan Muhyiddin Yassin sebagai Presiden). Sementara Islamisme diwakili oleh PAS. UMNO telah berkuasa sejak kemerdekaan hingga tahun 2018 saat diruntuhkan oleh koalisi Pekatan Harapan. Sementara PAS, sejak awal berdirinya hingga tahun 2018 menjadi partai oposisi.
Ada alasan ideologis PAS selalu melakukan perlawanan antara lain karena pemerintahan UMNO adalah pemerintah sekular dan koruptif. Tapi, saat Pemilu 2018, PAS keluar dari koalisi karena konflik dengan rekan koalisinya, DAP, dan berkoalisi dengan UMNO. PAS dan DAP konflik karena PAS kembali mendesak diberlakukannya Hudud. PAS bergabung dengan UMNO karena UMNO (saat itu di bawah PM Najib Razak) bersedia mengakomodasi ide Hudud meskipun menimbulkan kekecewaan di internal UMNO.
Muhyiddin adalah seorang nasionalis Melayu yang sangat militan. Dia tidak senang sebetulnya dengan kehadiran DAP, apalagi menurutnya, kursi yang diperoleh DAP terlalu banyak. Jargon terkenalnya ialah “Malay First”. Melayuisme Muhyiddin sebetulnya sama seperti Mahathir saat memimpin UMNO dan menjadi PM. Tak sedikit yang berpandangan bahwa nasionalisme Mahathir dan juga Muhyiddin ini adalah “Chauvinistik” yang dalam banyak hal tidak membuat nyaman kelompok etnis lain. Kebijakannya menghapus Bahasa Inggris dan China di sekolah-sekolah saat Mahyuddin menjadi Menteri Pendidikan adalah contoh kongkrit kuatnya Melayuisme Mahyuddin. Langkah Muhyiddin ini memang sejalan dengan ethnic-based policy pemerintah UMNO era Mahathir sambil menganfirmasi pembelaannya kepada Melayu.
Kecenderungan Melayuisme seperti ini ditolak oleh Anwar Ibrahim, bahkan sejak awal memimpin ABIM hingga menjadi wakil PM. Bagi Anwar, nasionalisme chauvinistik di samping tidak sejalan dengan prinsip ajaran Islam, juga merusak demokrasi. Demokrasi harus benar-benar ditegakkan antara lain dengan memberikan tempat, melindungi, dan menghargai kedaulatan semua orang, apapun latar belakang suku, etnis, dan agamanya. Tidak boleh ada diskriminasi, siapapun yang melakukannya.
Tantangan PM Mahyuddin
Ada beberapa tantangan yang, hemat penulis, dihadapi oleh Mahyuddin dan musti mendapatkan perhatian serius. Pertama, UMNO saat ini sudah dikesankan kuat/diyakini sebagai partai korup dan mega koruptornya adalah PM Najib Razak. Mahathir sendiri dan juga sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “Kleptokratik.” Runtuhnya UMNO saat Pemilu 2018 adalah perjuangan rakyat meruntuhkan pemerintahan korup dan kleptokrasi UMNO. Karena itu, akan percayakah rakyat kepada pemerintahan PM Muhyiddin? Ini tantangan Muhyiddin yang harus disikapi dengan tepat.
Kedua, proses hukum Najib Razak. Pertanyaan yang harus dijawab secara kongkrit oleh Mahyuddin ialah, mampukah dia melanjutkan proses pengadilan Najib Razak secara adil dan menghukumnya sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan?
Ketiga, economic recovery. Masalah besar yang dihadapi Malaysia ialah ekonomi. Malaysia menanggung beban hutang yang besar. Moody’s memperkirakan utang Malaysia tahun 2019 naik hingga 56% GDP mereka. Angka itu naik dari tahun sebelumnya 2018, yakni 50,7% dari GDP. Selain itu, penghapuskan GST (Good and Service Tax) 6 % yang semula dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya biaya hidup, justru menimbulkan masalah baru, yaitu berkurangnya pendapatan pemerintah. Pemerintah kehilangan sekitar 20 miliar Ringgit atau Rp 68,9 triliun, dengan asumsi 1 Ringgit = Rp 3.446. Hutang pun membayangi keuangan Malaysia.
Masih banyak tantangan yang akan dihadapi PM Muhyiddin, termasuk kemungkinan resistensi politik dari kubu Mahathir. Memang tidak ada jaminan posisi Mahyuddin sejak dilantik sebagai PM akan aman.
Amankah Muhyiddin?
Sejak berita Muhyiddin ditetapkan sebagai PM oleh Yang Dipertuan Agung menyebar hari Sabtu, Mahathir sudah memberikan reaksi keras. Di samping dia menyebut Mahyuddin telah berkhianat, Mahathir berusaha menjatuhkan Mahyuddin. Cara yang dia lakukan ialah mengajukan Mosi tidak percaya kepada parlemen yang akan melakukan sidang beberapa hari mendatang. Mahathir sangat yakin, mosi ini akan didukung mayoritas anggauta parlemen. Jika ini benar terjadi, maka pemerintah Muhyiddin akan jatuh dan Mahathir akan meraih kursi PM.
Akan tetapi, UMNO dan PAS juga sudah menyiapkan skenario lain, pembubaran parlemen dan kemudian diselenggarakan pemilu lebih awal. Pemilu awal ini sebetulnya pernah disampaikan beberapa hari yang lalu sebelum Yang Dipertuan Agung melakukan one to one interview.
Jadi political tension, persengketaan politik masih berlanjut hari ini. Bagaimana dan kapan persengkataan ini akan berakhir, masih belum jelas betul. Kita tunggu.
Editor: Arif