Tertangkapnya Wahyu Setiawan dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya hanya menegaskan (taukid) akan rumor sekaligus fakta-fakta di lapangan selama ini (yang tanpa bukti?) bahwa oknum-oknum (saya sebenarnya risih menggunakan istilah oknum untuk kasus-kasus yang melibatkan siapapun yang digaji dengan uang rakyat) penyelenggara pemilu dari tingkat desa sampai pusat memang kerap melakukan abuse of power untuk tidak mengatakan “melacurkan” diri atas kewenangan yang dimilikinya selama ini.
Menggunting caleg jadi atau menaikkan caleg tak jadi, menambah dan mengurangi suara caleg yang dilakukan oleh oknum-oknum Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menjadi rahasia umum atau obrolan yang biasa di masyarakat, terlebih kalangan aktivis partai politik. Meskipun demikian, tulisan ini tidak akan menyoroti lebih jauh kasus tertangkapnya Wahyu Setiawan –yang konon memang sudah dikenal “nakal” sejak dari sono-nya (dari mulai saat menjabat sebagai anggota KPU Banjarnegara hingga KPU Jawa Tengah).
Tulisan ini justru akan menyoroti dari sisi keterwakilan politik perempuan. Dalam pandangan saya, kasus tertangkapnya Wahyu Setiawan dan beberapa orang lainnya yang diduga dekat dengan Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyano, selain telah menodai proses Pemilu 2019, juga telah melecehkan aturan perundang-undangan pemilu yang berkenaan dengan kuota politik perempuan.
Kebijakan 30% Perempuan
Seperti diketahui, sejak Pemilu 2009 terdapat ketentuan yang mengharuskan semua partai politik untuk menyertakan caleg perempuan dalam setiap dapil sebanyak 30%. Aturan ini terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009. Bagi Indonesia, keluarnya kebijakan terkait kuota 30% perempuan ini merupakan capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi.
UU Nomor 2 Tahun 2008 mengamanatkan kepada semua partai politik untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian, kepengurusan di tingkat pusat maupun pencalegan. Syarat tersebut harus dipenuhi oleh semua partai politik agar dapat ikutserta dalam pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang juga dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan apa yang disebut sebagai zipper system, yakni setiap tiga calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan.
Meskipun affirmative action terhadap politik perempuan sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai macam kebijakan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Inter Parliamentary Union (IPU, 2017), di level ASEAN Indonesia hanya menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara di tingkat dunia, Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara, jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan.
Hasil pemilu pasca Orde Baru, tepatnya sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, kuota perempuan di parlemen masih jauh dari menggembirakan. Pada Pemilu 1999, jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPR sebanyak 44 orang (8,8%). Proporsi ini meningkat pada Pemilu 2004 menjadi 65 orang (11,82%). Pada Pemilu 2009, proporsi perempuan di parlemen naik lagi menjadi sebesar 17,86 persen. Sayangnya, pada Pemilu 2014 jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR turun menjadi sebanyak 97 orang (17,32%). Pemilu 2019 keterwakilan perempuan di parlemen mengalami kenaikkan yang signifikan meskipun belum mencapai angka 30%, yaitu hanya 118 orang (20,5%).
Realita Keterwakilan Perempuan
Kalau satu pertanyaan diajukan, meskipun kebijakan kuota 30% politik perempuan sudah diterapkan dalam tiga kali pelaksanaan pemilu (Pemilu 2009, 2014, 2019), mengapa masih belum juga keterwakilan politik perempuan secara kuantitas tampil cukup menggembirakan?
Jawaban atas pertanyaan ini tentu akan beragam dan banyak perspektif. Karenanya dalam tulisan singkat ini, saya hanya akan menguraikan dua jawaban. Pertama, dunia politik, khususnya politik kepartaian memang belum sepenuhnya menarik perhatian kaum hawa. Terbukti dalam tiga kali pemilu terakhir hampir semua partai mengeluh terkait kesulitannya dalam merekrut caleg perempuan. Terlalu banyak perempuan yang terdaftar sebagai caleg hanya sebatas untuk memenuhi kuota perempuan.
Kedua, rendahnya political will dan political act partai politik. Hal ini setidaknya tergambar secara telanjang dalam kasus tertangkapnya Kominisoner KPU Wahyu Setiawan. Seperti diketahui, kasus ini terjadi barmula karena meninggalnya Nazaruddin Kiemas hanya beberapa hari menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, tepatnya tanggal 27 Maret 2019. Sesuai dengan Keputusan Nomor 896/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IV/2019 tanggal 15 April 2019 tentang Perubahan Keenam Daftar Calon Tetap DPR RI Pemilu Tahun 2019, KPU telah mencoret nama Nazaruddin dari Daftar Calon Tetap. Dalam daftar caleg PDIP Dapil I Sumatera Selatan, Nazaruddin menempati urutan pertama, selanjutnya disusul Armadi Djufri, Riezky Aprilia, Diah Okta Sari, Doddy Julianto Siahaan, Harun Masiku, Sri Suharti, dan Irwan Tongari yang masing-masing menempati caleg nomor urut 2 sampai 8.
Sesuai Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019, hasil rekapitulasi perolehan suara PDI Perjuangan Dapil Sumatera Selatan I, Riezky Aprilia yang berada di nomor urut tiga dalam daftar caleg justru memperoleh suara terbanyak dengan 44.402 suara, selepas perolehan suara Nazaruddin dinyatakan 0 suara. Tingkat Provinsi DC1 DPR Sumatera Selatan I, PDIP memperoleh 145.752 suara. Sementara untuk calon anggota DPR Nazarudin Kiemas 0 (nol) suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Riezky Aprilia 44.402 suara, Diah Okta Sari 13.310 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Harun Masiku 5.878 suara, Sri Suharti 5.699 suara, Irwan Tongari 4.240 suara. Jadi jumlah suara sah partai politik dan calon 265.160 suara.
Dengan komposisi perolehan suara tersebut dan sesuai peraturan yang ada, sudah semestinya Riezky Aprilia yang berhak melangkah ke Senayan. Secara kelembagaan, KPU pun telah menetapkan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI. Maka menjadi aneh dan bahkan absurd ketika PDIP justru mencoba menabrak ketentuan yang ada, mencoba mempengaruhi KPU dengan menyodorkan nama Harun Masiku yang hanya memperoleh suara di urutan kelima. Bukan hanya sebelum penetapan caleg terpilih oleh KPU, bahkan selepas pelantikan anggota DPR RI pun PDIP masih kekeh untuk mengusulkan dan melaksanakan Pergantian Antar Waktu (PAW) atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Kasus ini mencerminkan bahwa PDIP yang dipimpin oleh seorang perempuan ternyata tak cukup serius dalam melakukan affirmative action terhadap politik perempuan. Jangankan affirmative action, bersikap adil (dalam pengertian wad’u syaiin fii mahalli, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya) pun tak mampu melakukannya. Riezky Aprilia adalah caleg yang ditempatkan di nomor urut tiga, bukan nomor urut dua, apalagi nomor urut satu.
Selanjutnya, menempatkan Riezky pada nomor urut tiga sangat mungkin hanya karena untuk memenuhi kuota politik perempuan, di mana sesuai ketentuan perundang-undangan, partai politik harus menempatkan minimal satu caleg perempuan pada setiap kelipatan tiga caleg. Dan kemungkinan ini terjawab ketika PDIP justru melakukan gugatan kepada KPU hanya karena caleg terpilih yang ditetapkan oleh KPU adalah seorang perempuan bernama Riezky Aprilia. Kalau peduli dengan penguatan politik perempuan, harusnya ditetapkannya Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI mendapatkan apresiasi dari PDIP. Yang terjadi justru sebaliknya, jangankan apresiasi, yang ada dan diterima justru pendzaliman politik.
Ke depan, kasus ini harus menjadi pembelajaran, pertama, bagi partai-partai politik. Partai politik bukan hanya penting untuk taat terhadap perundang-undangan yang terkait dengan pemilu, tapi juga dan ini lebih penting lagi adalah bersikap proporsional (adil) dalam memperlakukan dan menempatkan posisi perempuan dalam politik.
Kedua, bagi masyarakat pemilih perempuan. Pada pemilu-pemilu mendatang, track record perlakuan partai politik terkait dengan affirmative action bagi politik perempuan perlu menjadi pertimbangan dalam memberikan suara di bilik-bilik suara. Kalau hal ini menjadi pertimbangan, maka ke depan partai-partai politik yang mencoba bertindak aniaya (dzalim) dalam konteks penguatan politik perempuan akan berpikir serius untuk tidak melakukannya. Sekian. (Cirendeu, 14/1/2020).