“Nanti kalau kamu makan, ayah ajak jalan-jalan”. Ungkapan itu diucapkan oleh seorang saudara saya kepada anaknya, ketika kebetulan saya sedang berkumpul bersama keluarga saya di pinggiran Ibukota. Saat itu anak dari saudara saya tersebut memang sedang sangat sulit untuk diajak makan sehingga sang ayah sampai bicara seperti itu.
Saya sedikit mengernyitkan dahi ketika mendengar kalimat kawan saya tersebut. Saya sampai terdiam, lalu memperhatikan anaknya yang makan sangat lahap ketika dijanjikan oleh sang ayah untuk jalan-jalan setelah makan.
Sekilas tidak ada yang aneh dalam kejadian di atas, namun jika kita renungkan dan amati, menjanjikan sesuatu kepada anak akan mengubah mentalitas anak jika dilakukan secara terus menerus. Apalagi bila sudah dibiasakan sejak kecil, anak sulit makan dijanjikan jalan-jalan, anak menangis dijanjikan membeli es krim. Sehingga otak anak akan merespons dan “selalu” meminta imbalan saat diminta untuk mengerjakan apa yang diminta orang tua. Bahkan mungkin dapat menyuburkan politik transaksional.
Janji Imbalan untuk Anak
Menjanjikan imbalan kepada anak sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, terutama agar anak berprestasi dan menjadi pemenang. Padahal menjanjikan imbalan sama saja membiarkan seorang anak terjebak dalam kebiasaan yang negatif.
Misalnya, anak tidak akan memiliki mental berjuang jika tidak diberikan imbalan. Tentu, hal ini akan terjadi apabila seorang anak sejak kecil selalu dijanjikan imbalan oleh orang tuanya saat ingin anaknya melakukan sesuatu atau mendapatkan prestasi.
Ini juga terjadi bukan hanya di sekolah, tetapi di kalangan atlet profesional. Mereka dijanjikan bonus yang besar jika memenangkan suatu pertandingan, sehingga mereka latihan bukan untuk mengharumkan bangsa tetapi untuk diri mereka sendiri yaitu mendapatkan bonus yang besar. Selain itu, anak tidak akan pernah ikhlas atau melakukan sesuatu secara sukarela, karena jika anak harus melakukan sesuatu maka harus ada imbalannya apapun itu. Dan ini sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat
Contohnya masyarakat di lingkaran kehidupan saya, ada beberapa orang yang melakukan sesuatu karena ada imbalan, entah itu kerja bakti, kegiatan masyarakat, bakti sosial pasti saja ada yang meminta imbalan walaupun ringan, hanya sekadar makan-makan.
Saya jadi teringat, ketika kerja bakti di akhir pekan. Tidak sedikit warga yang hanya duduk-duduk dan berbincang ria, yang bekerja baktinya hanya sekian orang dan itu pun bisa dihitung dengan jari tangan.
Namun, ketika makan siang sudah tersedia. Justru mereka yang hanya duduk dan ngobrol terlebih dahulu mengambil makan dibandingkan yang bekerja membersihkan di sekitar fasilitas umum yang ada di lingkungan saya. Saya khawatir, semakin banyak anak yang dibiasakan dijanjikan imbalan, di masa depan akan sedikit menemukan masyarakat yang melakukan sesuatu untuk kemanusiaan dengan sukarela tanpa dijanjikan imbalan apapun.
Lalu yang terakhir, dampak dari menjanjikan hadiah kepada anak adalah anak akan memiliki sikap konsumtif yang mudah mendapatkan sesuatu jika memenuhi permintaan orang tuanya ataupun kakak dan juga anggota keluarga lainnya.
Bangku Kosong dan Politik Transaksional
Melihat berbagai kejadian orang tua menjanjikan anaknya sebuah imbalan seandainya sang anak melakukan sesuatu. Dan masih terus berlangsung hingga saat ini, saya semakin khawatir dan pikiran saya menjadi menduga-duga terhadap hal lain.
Contohnya begini, saya pernah menemukan kasus di bidang pendidikan. Yaitu adanya bangku kosong. Peristiwa ini sering terjadi apabila pergantian ajaran baru serta penerimaan siswa baru di berbagai daerah.
Nah, bangku kosong tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh oknum pimpinan sekolah atau kampus untuk ditawarkan kepada mereka yang tidak lolos ujian masuk sekolah atau kampus. Setelah terjadi kesepakatan maka orang tua siswa harus memberikan imbalan kepada oknum pimpinan yang tidak bertanggung jawab.
Kasus imbalan ini sudah menjadi hal yang “wajar” di masyarakat, apalagi jika pimpinan sekolah sengaja mengurangi kuota masuk serta sisanya sengaja dijadikan bangku kosong untuk mendapatkan imbalan yang cukup untuk jalan-jalan.
Contoh lainnya adalah Jika Pemilihan Umum sedang berlangsung, ada dua calon yang datang ke suatu tempat, yang satu orang baik dengan membawa gagasan dan perubahan. Satu lagi adalah mafia dengan berbagai janji dan imbalan.
***
Pertanyaannya siapa yang akan terpilih? Jika yang terpilih adalah calon yang memberikan janji dan imbalan sebelum pencoblosan, saya curiga semua masyarakat di daerah pemilihan tersebut ketika kecilnya selalu dijanjikan imbalan oleh orang tuanya.
Sehingga wajar, praktik korupsi, gratifikasi, dan juga politik transaksional serta politik uang terus berlangsung di lingkungan masyarakat kita, karena sudah sejak kecil diajarkan untuk meminta imbalan jika melakukan sesuatu termasuk untuk memilih para pemimpin, “aku pilih kamu, jika kamu memberikan aku imbalan”.
Editor: Nabhan
Fathin Robbani Sukmana, Aktivis Demokrasi dan Kebijakan Publik yang aktif di Lembaga Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP)