Pondasi Ilmu
Pondasi Ilmu – Khazanah ilmu keislaman dari masa ke masa cukup gemilang. Ulama Muslim telah banyak menghasilkan produktifitas pemikirannya melalui beragam buku. Kita mengenalnya dalam kodifikasi ilmu tauhid (kalam), fikih, tasawuf, nahwu, sharaf, balagah, tafsir, hadis, juga ragam ilmu lainnya.
Yang cukup monumental, karya tersebut hingga kini terus dibaca dan digali, khususnya di lingkungan pesantren dan lembaga kajian keislaman lainnya. Bahkan, penelaahannya berlangsung selama ratusan tahun mulai kitab ditulis sampai sekarang.
Sungguh menjadi fenomena luar biasa, mata rantai tersebut menjadi jalinan keilmuan yang tidak terputus. Keragaman karya membumi dalam balutan kitab, matn, syarh, dan hasyiyah.
Untuk mempelajari dan menelaah karya ulama membutuhkan keseriusan dan perhatian khusus. Selain motivasi yang kuat, para pencari ilmu harus pula menerapkan beragam pondasi ilmu yang membantu pemahaman hakikat, sumber, cara, dan nilai ilmu.
Sepuluh Pondasi Ilmu
Adalah al-Shabban, salah satu ulama yang menguatkan pentingnya memahami prinsip mempelajari ilmu. Dalam salah satu karyanya pada ilmu tata bahasa Arab, Hasyiyah al-Shabban ‘ala Syarh al-Asymuni (salah satu penjelasan dari kitab Alfiyah Ibn Malik) pernah menuliskan beberapa fondasi dalam mempelajai ilmu.
Menurutnya, terdapat 10 komponen pondasi ilmu, yaitu: definisi (al-hadd), objek kajian (al-maudhu’), buah (nilai/al-tsamrah), keutaman (al-fadhl), hubungan ilmu dengan ilmu lainnya (al-nisbah), peletak dasar ilmu (al-wadhi’), nama ilmu (al-ism), sumber pengambilan ilmu (al-istimdad), hukum mempelajari (hukm al-syari’), dan permasalahan (teoritis) pada ilmu tersebut (al-masa’il).
إِنَّ مَبادِئ كُلِّ فَنٍّ عَشَرَه … الحَدُّ وَالموضُوعُ ثُمَّ الثَّمَرَه
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعْ … وَالاِسْمُ الِاسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعْ
مَسَائِلٌ والبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى … وَمَنْ دَرَى الجَمِيعَ حَازَ الشَّرَفَا
Implementasi Pondasi Ilmu
Pertama, Definisi (Al-Hadd)
Setiap ilmu memiliki definisi yang berbeda dengan ilmu lainnya. Perbedaan ilmu nahwu dengan ilmu lainnya diidentifikasi melalui definisi. Definisi ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari kondisi struktur kalimat bahasa Arab baik berbentuk mu’rab maupun mabni. Definisi harus dipahami oleh pemerhati untuk mengajegkan pengertian bahwa ilmu yang dipelajari berbeda dengan ilmu lainnya.
Kedua, Objek Kajian (Al-Maudhu’)
Secara ontologis, setiap ilmu memiliki objek kajian masing-masing dalam fokus ilmu tersebut. Meskipun terkadang satu teks atau fenomena dapat dipahami dengan beberapa ilmu. Akan tetapi, konsentrasi pada ilmu yang dipelajari menghendaki pemahaman mengenai beberapa objek kajian atau bahan kajian. Dalam ilmu nahwu, objek kajiannya adalah kalimat bahasa Arab baik berbentuk mu’rab maupun mabni.
Ketiga, Buah/Nilai Manfaat Ilmu (Al-Tsamrah)
Ilmu memiliki sisi aksiologis. Sisi ini merujuk pada nilai, kegunaan, dan kemanfaatan ilmu. Setelah dipahami dan ditelaah, setiap ilmu memiliki manfaat dalam pemecahan masalah.
Ilmu nahwu, contohnya, berguna untuk membuka pemahaman ilmu agama karena banyak produk tulisan ilmu keislaman disajikan dalam bahasa Arab. Setiap kata dan kalimat bahasa Arab memiliki jalinan makna yang dapat ditelaah melalui ilmu nahwu. Ilmu nahwu berguna pula menjaga lisan dari kesalahan menyebut dan membaca.
Keempat, Keutamaan (Al-Fadhl)
Setiap ilmu punya sisi dominan dalam pemecahan masalah. Permasalahan ibadah dapat dipahami melalui ilmu fikih. Struktur dan tata bahasa dapat dipahami melalui ilmu nahwu.
Ilmu nahwu misalnya memiliki keunggulan karena ia dapat digunakan untuk menelaah, memeriksa, dan memaparkan makna yang terkandung pada teks sehingga teks dapat dipahami dengan mudah untuk memaknai dan menafsirkannya.
Kelima, Hubungan Ilmu dengan Ilmu Lainnya (Al-Nisbah)
Disiplin ilmu tertentu memiliki interkoneksi dengan ilmu lain. Dalam bahasa integrasi ilmu, setiap bahan kajian dapat dilihat dari beberapa disiplin ilmu, baik dengan multidisiplin maupun interdisipliner.
Pemahaman terhadap ayat tentang salat membutuhkan pendekatan ilmu tafsir, hadis, usul fikih, fikih, juga nahwu. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tertentu dalam membedah maksud teks dapat berhubungan dengan ilmu lainnya, sehingga pemaknaan menjadi utuh.
Keenam, Peletak Dasar Ilmu (Al-Wadhi’)
Dalam fisika sering kita melihat simbol besaran dalam setiap bahasan ilmu. Misalnya dalam gaya ada Newton, listrik dituliskan Watt, dalam konsep energi ditemukan Joule.
Semua itu merujuk ada penemu atau peletak ilmu tersebut. Begitu pun dalam ilmu keislaman, banyak ulama yang dinobatkan menjadi peletak ilmu. Dalam ilmu nahwu dikenal Abu al-Aswad al-Du’ali. Dalam ilmu hadis dikenal al-Ramahurmuzi. Pada kajian usul fikih dikenal Imam al-Syafi’i.
Ketujuh, Sumber Pengambilan Ilmu (Al-Wadhi’)
Bahasan dalam kajian ilmu memiliki sumber pengambilan konsep. Ini menandakan bahwa ilmu memiliki sumber rujukan dan teoritis. Pemahaman mengenai komponen ini menguatkan asumsi pengambilan sumber, rujukan, dan referensi dalam konstruksi ilmu. Usul fikih misalnya memiliki sumber dari dasar hukum kewahyuan (al-Qur’an dan hadis), analogi (qiyas), dan kesepakatan ulama (ijma’).
Dalam membangun ilmu, sisi kebahasaan dan strukturnya turut dilibatkan mengingat teks yang dijadikan sumber banyak membutuhkan analisis kebahasaan.
Kedelapan, Hukum Mempelajari Ilmu (Hukm al-Syari’)
Dalam pandangan agama, mempelajari ilmu ada yang wajib secara individu juga kolektif. Mana yang harus dipelajari oleh setiap orang atau mana yang wajib dipelajari oleh representasi masyarakat.
Ilmu nahwu misalnya, dihukumi wajib kifayah, tidak wajib dipelajari setiap orang. Namun ia menjadi wajib pada personal, untuk mempelajari ilmu tafsir.
Kesembilan, Nama Ilmu (Al-Ism)
Ilmu memiliki penamaan khusus. Ilmu yang menerangkan dan menjelaskan makna ayat disebut ilmu tafsir. Ilmu yang menjelaskan tentang redaksi dan perawi hadis dinamakan ilmu hadis.
Ilmu yang mempelajari struktur kalimat bahasa Arab disebut ilmu nahwu. Dalam ragam ilmu yang telah berkembang, kita pun mengenal ilmu fikih, usul fikih, balagah, syair, qawafi, ‘arudl, atau bahkan nama pada cabang ilmu seperti jarh wa al-ta’dil, tarikh al-ruwah, thabaqah, isytiqaq, dan lainnya.
Kesepuluh, Permasalahan pada Ilmu (al-Masa’il)
Teori atau konsep pada ilmu salah satunya dilatarbelakangi oleh masalah. Hal ini muncul ketika terdapat perbedaan antara teori dengan kenyataan. Pembahasan bahan kajian pun menjadi berkembang ketika ada persoalan, pertanyaan, dan masalah yang harus diselesaikan.
Masalah yang muncul berhubungan dengan pembahasan yang ada pada kajian ilmu. Dalam tradisi ilmu keislaman, masalah biasa ditempatkan setelah pemaparan far’ (cabang pembahasan) yang menunjukkan rincian pokok bahasan di bawahnya atau dorongan dari pertanyaan. Semakin banyak masalah dipahami dan diselesaikan, semakin beragam pengetahuan yang dikaji pada ilmu.
Wallahu A’lam
Editor: Rozy