Perspektif

Perempuan dalam Sudut Pandang Tasawuf

7 Mins read

Tasawuf asal maknanya dari bahasa Arab yaitu tashowwafa yang artinya berbulu banyak. Makna tersebut dinisbatkan kepada mereka yang gemar mempergunakan baju berbulu domba. Meskipun dalam prakteknya tidak banyak sufi yang mempergunakan pakaian dominasi bulu domba sebagai pakaian kesehariannya.

Istilah sufi sendiri didefinisikan sebagai kesucian dan kebersihan hati mereka. Selain itu, istilah sufi juga dinisbatkan pada orang-orang yang selalu tidur di serambi masjid. Mereka meninggalkan segala harta yang melimpah, tahta yang tinggi serta wanita yang mampu memuaskan nafsu demi dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk kepada Allah Swt. Tidur di serambi masjid sekaligus juga menambah kedekatan mereka kepada Nabi Muhammad Saw.

Apa Itu Tasawuf?

Syekh Muhammad Amin Al-Kudry berpendapat, bahwa tasawuf adalah sebuah ilmu yang dapat digunakan untuk mengetahui hal ikhwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkan diri dari keburukan dan mengisi diri dengan kebaikan. Juga cara melakukan suluk, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya serta menjauhi larangannya.

Secara sederhana, tasawuf merupakan kegiatan untuk menyucikan jiwa dan raga dengan jalan menjauhkan diri dari godaan akan kenikmatan dunia yang sesaat. Sehingga sepenuhnya mengarahkan diri untuk selalu berkonsentrasi pada Allah.

Meskipun membawa unsur kesucian, tasawuf dan zuhud memiliki perbedaan. Zuhud merupakan satu dari banyak muamalah yang menjadi jalan seseorang untuk dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam hubungannya kepada Tuhan. Sedangkan tasawuf merupakan sebuah proses panjang yang mewadahi zuhud didalam prosesnya.

Jika seseorang masih dalam tahapan zuhud, dirinya akan berusaha keras untuk dapat mencapai tingkatan yang ada setelahnya. Sehingga mampu mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.

Sedangkan jika seseorang telah masuk dalam tasawuf, maka dirinya akan meninggalkan zuhud. Dirinya akan mendapatkan pemahaman yang terdalam tentang arti dari kerelaan, cinta, dan kehidupan serta makna yang selama ini dirinya lewatkan dalam hidupnya dan hanya berfokus pada Allah semata.

Dari segi pembelajaran untuk kehidupan sehari-hari, ilmu tasawuf mengandung empat kandungan, yaitu;

Pertama, metafisika, yaitu suatu istilah yang dipergunakan untuk memperlihatkan tentang hal-hal yang kasat mata, nonfisika (tidak berbentuk). Namun diyakini adanya baik dalam pertemuan secara langsung atau tidak. Tasawuf kental dengan unsur metafisik, yaitu tentang Tuhan serta cinta yang keduanya berafiliasi pada proses manusia menuju akhirat kelak.

Kedua, etika, yang dalam tasawuf mengedepankan tentang adab untuk menjalin relasi antara manusia dengan Tuhan maupun antara manusia dengan sesamanya.

Ketiga, psikologi atau ilmu jiwa. Unsur psikologi dalam tasawuf mengedepankan penyelidikan pada jiwa, berbeda dengan psikologi umum yang secara luas menyelidiki seseorang dari tingkah lakunya.

Keempat, estetika, yaitu itu tentang keindahan. Estetika menghimpun makna keindahan secara utuh, menjunjung arti cinta secara sama rata tanpa mempertimbangkan faktor apapun. Estetika meluaskan konsep keindahan dengan menghapus batasanbatasan kegunaan dari keindahan itu sendiri atau nilai dalam keindahan itu. Zikir, bermunajat kepada Allah merupakan salah satu estetika seorang sufi dalam berkomunikasi kepada Allah Swt.

Tasawuf memiliki objek kajian berupa akal dan ma’rifat, yang dari itu muncul bahasan tentang hati dan cara melatihnya. Sedangkan aplikasi dari ilmu tasawuf bertujuan untuk mencapai tingkatan ma’rifat dengan taqarrub kepada Allah Swt.

Apa Tujuan dari Tasawuf?

Sayyid Nur bin Sayyid Ali menerangkan tujuan tasawuf dalam beberapa poin. Pertama, menyelaraskan akidah perhubungan dengan Tuhan, dengan maksud Allah SWT melihat hambanya dari segala penjuru dan segala sisi. Kedua, meraih tingkatan ihsan dalam melakukan ibadah. Ketiga, memenuhi jiwa derngan kemuliaaakhlak Islam. Keempat, membersihkan diri dari penyakit hati. Kelima, untuk menyelamatkan diri dari akidah syirik serta batil.

Baca Juga  Ketertindasan Perempuan Madura pada Tubuh dan Posisi

Tasawuf mulai mendapatkan perkembangan diskusi didalamnya pada abad ke-3. Pada masa itu istilah-istilah umum dalam tasawuf mulai muncul, seperti fana, ittihad, alahwal, dan almaqamat. Tasawuf pada mulanya berfokus pada proses penyeimbangan dan mulai berganti menjadi proses penyucian. Setelah itu tasawuf mulai memiliki identitas yang nampak nyata seperti tempat tinggal yang khusus dipergunakan sebagai lokasi perenungan. Pada periode ini tasawuf telah dinyatakan berakhir masa perkembangannya sebagai media pendekatan kepada Allah.

Berbagai perubahan akan paradigma yang terdapat dalam tasawuf dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Pertama adalah menguatnya kehidupan hedon yang dilakukan oleh keluarga dari Daulah Umayyah yang kemudian di tiru oleh masyarakat. Hal ini menjadikan tasawuf identik sebagai sebuah upaya untuk menjauhkan diri seorang sufi dari berbagai hal yang bersifat duniawi yang dapat membuat dirinya melupakan Tuhan.

Kedua adalah munculkan sikap apatis dalam masyarakat sebagai reaksi dari radikalisme Khawarij serta upaya-upaya politik yang dilakukannya. Kemelut kekuasaan yang sarat dengan kepentingan dari berbagai pihak pada masa itu membangkitkan sebagian orang yang ingin menjauhi berbagai konflik dunia serta menghujani hidup dengan cinta dan kedamaian untuk semesta.

Ketiga adalah kodifikasi fiqih yang merupakan hukum Islam serta perumusan ilmu kalam yang cenderung dialektis serta rasional, yang pada akhirnya membuat Islam kehilangan nilai spiritualitas. Kekakuan hukum Islam seakan membatasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, sehingga dari situ tasawuf lahir, bangkit dan berkembang, sebagai upaya masyarakat yang telah jengah dengan berbagai kekacauan dunia dan ingin kembali beribadah kepada Tuhan dengan penuh ketenangan dan cinta kasih. Tasawuf memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengeksplorasi ibadah mereka kepada Tuhan tanpa harus berhubungan dengan dunia sekalipun.

Perempuan dalam Pandangan Tasawuf

Dalam tasawuf, perempuan memiliki kedudukan yang sama sebagaimana laki-laki. Hal ini menjadi perhatian yang sangat serius dalam tasawuf, guna untuk menepis sekaligus untuk menegaskan kedudukan perempuan dan laki-laki.

Pandangan masyatakat secara umum memperlihatkan jika perempuan tidak lebih unggul dibandingkan laki-laki. Argumen tersebut diperparah dengan fakta bahwa perempuan memang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, membaktikan diri kepada suami dengan cara mengurusnya, melakukan kewajiban rumah tangga dengan jalan mengasuh serta mendidik anak, juga menjaga diri untuk melindungi martabat suami di mata masyarakat.

Padahal seluruh pandangan tersebut hanyalah sekadar pernyataan tanpa dasar. Melalui tasawuf khususnya, perempuan dikembalikan pada kedudukan asalnya, yaitu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana laki-laki sesuai dengan hukum kehidupan di dunia.

Bukti nyata akan dukungan tasawuf terhadap eksistensi perempuan adalah munculnya berbagai tokoh sufi perempuan yang mampu mengukir sejarah dalam ilmu tasawuf. Tokoh sufi perempuan yang dikenal luas dalam kalangan Islam adalah Rabiatul Adawiyah, seorang perempuan yang hanya memilih untuk menyerahkan segenap cinta yang dirinya punya kepada Khaliq, yaitu Allah Swt.

Baca Juga  Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

Rabiah inilah yang kemudian disebut sebagai tokoh sufi yang menggagas tentang konsepsi mahabbah, bentuk cinta yang hakiki antara manusia dengan Tuhan. Ajaran Rabiah kemudian dikembangkan oleh berbagai sufi hingga saat ini. Namun tidak hanya Rabiah, beberapa tokoh sufi perempuan lainnya juga ikut menegaskan tentang eksistensi perempuan di mata masyarakat.

Kedudukan Rabiah yang dikatakan sebagai sufi perempuan kemudian membuka kembali sejarah tentang peranan perempuan dalam masyarakat, secara khusus dalam masyarakat Islam.

Dalam lingkungan keluarga Nabi, muncul nama Ummu Haram. Dia adalah seorang keluarga Nabi yang wafat sebagai syuhada ketika muslim kali pertama melakukan perjalanan untuk penaklukan wilayah Siprus. Lalu jika melihat kelahiran Rabiah, maka akan muncul tokoh sufi perempuan Maryam al-Basriyyah, salah seorang tokoh sufi yang meninggal dunia dalam fase ekstase.

Hadir juga Bahriyyah al-Mausuliyyah, seorang sufi yang seringkali meratap hingga matanya mengalami kebutaan hanya demi agar dirinya bisa melihat sang Khaliq yang sejati. Terdapat juga Rihana al-Waliha yang memilih hidup dalam ekstase sehingga nyaris dianggap gila karena memiliki perilaku yang tidak selaras dengan kebiasaan umum masyarakat.

Masih banyak para sufi perempuan yang pada sesungguhnya memang memperlihatkan tentang kedudukan perempuan dalam tasawuf setara dengan laki-laki. Pandangan umum masyarakat luas yang setelah melihat tradisi dalam masyarakat itu sendiri kemudian memberikan justifikasi tentang ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda “Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia kalian: perempuan, parfum, dan salat”. Hadis tersebut dimaknai oleh Ibnu Arabi sebagai bentuk kesempurnaan serta keindahan dalam perempuan yang memiliki hubungan erat dengan aspek ketuhanan.

Menurutnya, penyaksian akan Tuhan dalam diri perempuan merupakan bentuk penyaksian yang sempurna, sebab dalam penyaksian diri akan Tuhan dalam diri perempuan mengandung dua sisi kerja penyaksian, yaitu sisi mempengaruhi dan sisi dipengaruhi.

Sisi dipengaruhi dalam diri seorang perempuan akan penyaksian terhadap Tuhan disimbolkan dalam proses penerimaan nutfah laki-laki dalam diri perempuan tersebut. Sedangkan proses mempengaruhi dalam diri perempuan akan penyaksian terhadap Tuhan adalah ketika perempuan menjaga serta merawat nutfah yang diberikan oleh laki-laki tersebut. Karena itu, penyaksian Tuhan dalam diri perempuan merupakan penyaksian terbaik dan sempurna dibandingkan dengan penyaksian Tuhan dalam diri laki-laki.

Rumi sebagai salah seorang sufi menegaskan akan kekuatan perempuan dibandingkan laki-laki. Dalam pandangan Rumi, perempuan lebih memiliki wilayah dominan, baik dalam hal sifat maupun sikap. Perempuan banyak mendominasi akal laki-laki dengan rasa yang mereka miliki. Namun, sikap laki-laki seperti marah serta jahil juga ikut memberikan dominasi kuat terhadap perempuan.

Rumi juga menyimbolkan perempuan sebagai api dan laki-laki sebagai air. Dalam satu keadaan, air memang dapat mengecilkan nyala api. Namun, dalam keadaan yang sebaliknya, api dapat menyebabkan air mendidih dan mengubah air menjadi uap.

Dari penggambaran dalam simbol tersebut, rumi mencoba untuk menjelaskan bahwa dalam masalah pengaruh, perempuan lebih memiliki banyak kekuatan dibandingkan laki-laki. Laki-laki dapat menguasai jiwa atau hati yang dimiliki perempuan, namun perempuan dapat menguasai jiwa maupun hati yang dimiliki laki-laki. Perempuan dapat menguasai keduanya.

Tasawuf meletakkan perempuan dalam kedudukan yang sama seperti laki-laki. Keduanya sama-sama setara. Tasawuf tidak memandang laki-laki dan perempuan sebagai satu bentuk perbedaan yang saling menjauhkan satu sama lain.

Baca Juga  Gegar Buku di Era Klasik Islam

Tasawuf hanya memandang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam bentuk kebersihan hati serta bagaimana agar diri mampu dan bisa sampai pada posisi terdekat dengan Tuhan.

Tasawuf hanya mempersoalkan tentang bagaimana bisa semakin dekat dengan Tuhan, semakin cinta dengan Tuhan dan semakin dapat senantiasa mengingat Tuhan tanpa terhalang satu bentuk penghalang apapun. Dan untuk mencapai kedekatan terhadap Tuhan tidak berlaku jenis kelamin atau kedudukannya di dunia, karena perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama sebagai hamba Tuhan untuk mengenal diri-Nya.

Ibnu Arabi memperlihatkan pentingnya perempuan dan kedudukannya dalam tasawuf dengan jalan menyimbolkannya dengan cinta. Saat seorang laki-laki mencintai perempuan, maka dalam keinginan laki-laki tersebut hanya ada tentang cara untuk mendapatkan hati perempuan tersebut, bagaimana cara agar dirinya bisa selalu dekat, tidak melupakan perempuan tersebut, baik tentang apa yang menjadi ciri perempuan itu ataupun kenangan yang telah mereka lewati bersama.

Hubungan laki-laki tersebut yang dipandang sebagai simbol tentang mahabbah terhadap Tuhan. Perempuan sebagai “yang diimpikan untuk dicintai dan dimiliki” laki-laki merupakan simbol perantara tentang cara seseorang untuk bisa mencapai kecintaan akan dirinya kepada Tuhan.

Oleh karena itu, ketika seorang laki-laki mencintai perempuan, maka dirinya sedang dalam posisi dua lingkup mencintai, yaitu posisi mencintai perempuan sebagai bentuk cinta pada makhluk sekaligus bentuk penunaian akan kebutuhan jasmani, dan kedua adalah posisi mencintai Tuhan sebagai pencipta akan diri perempuan dirinya cintai tersebut, yang membukakan pintu syukur, harap, dan sabar pada dirinya, sekaligus menjadi penunaian akan cinta rohani yang dia miliki.

Dalam tasawuf juga, perempuan memiliki pergaulan yang khusus, berlawanan dengan hukum fiqih. Dalam berbagai kisah tentang kehidupan para sufi, perempuan digambarkan sering mendapatkan kunjungan dari laki-laki untuk membicarakan tentang problem spiritual mereka. Mereka melakukan pembicaraan diberbagai tempat, mengikuti berbagai kegiatan yang umum dilakukan oleh laki-laki di tempat umum, maupun melakukan zikir bersama dengan laki-laki.

Salah satu kisah tentang istri Ahmad bin Khazruya, Fathimah, beberapa kali melakukan diskusi dengan Abu Yazid al-Busthomi tentang problem spiritual tanpa mengenakan penutup kepala dan penutup tangan, sehingga tangannya yang memiliki cat kuku dan perhiasan terlihat. Suaminya kemudian cemburu dan memperingatkan Fathimah, namun Fathimah menjawab bahwa dalam hatinya hanya ada Tuhan.

Dalam menegaskan kedudukan perempuan serta pentingnya perempuan dalam kehidupan manusia, al-Qur’an menghadirkan sosok Maryam ibu dari Nabi Isa as, Asiyah yang merupakan istri Fir’aun serta Siti Hajar ibu dari Nabi Ismail as. Tidak lupa istri Nabi Muhammad yaitu Zaynab binti Khuzaymah yang mendapatkan sebutan Ummul Masakin karena seringnya Zaynab menolong orang. Ada Siti Fathimah serta Siti Khadijah yang merupakan putri serta istri Nabi Muhammad Saw.

Referensi

Muhammad Nur Jabir, Perempuan Perspektif Tasawuf (Penerbit Rumi Press, 2020)

Asmail Azmy HB, Akhlak Tasawuf: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Penerbit K-Media, 2021)

Annemarie Schimmel, My Soul is Woman (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017)

M. Afif Anshori, Perempuan: Perspektif Filsafat, Tasawuf, dan Fiqih, Jurnal al-Adyan, (Januari-Juni, 2015)

Editor: Soleh

Abdur Rahmad
2 posts

About author
Alumni Pesantren Nurul Jadid dan Unuja Madura
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds