Di Indonesia, studi astronomi Islam berkembang sesuai tuntutan zaman. Pada awalnya, model pembelajaran studi astronomi Islam diselenggarakan secara sederhana dengan literatur yang sangat terbatas. Pada saat itu, studi astronomi Islam banyak dikembangkan di lingkungan pesantren dan Madrasah Muallimin.
Dunia pesantren seringkali diidentikkan dengan Nahdlatul Ulama, sedangkan Madrasah Muallimin diidentikkan dengan Muhammadiyah. Dalam realitasnya Muhammadiyah juga memiliki berbagai Pondok Pesantren yang besar, bahkan menurut penuturan M. Saad Ibrahim, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, jumlah Pondok Pesantren di lingkungan Muhammadiyah terus meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
Selain Pondok Pesantren dan Madrasah Muallimim, studi Astronomi Islam juga dikembangkan di STAIN/IAIN/ UIN seluruh Indonesia dan lembaga-lembaga lainnya. Tulisan ini lebih memfokuskan perkembangan kajian astronomì Islam di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Perkembangan studi Astronomi Islam di PTKIN tidak bisa dipisahkan peran IAIN/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dosen pertama studi Astronomi Islam di IAIN/UIN Sunan Kalijaga adalah Saadoe’ddin Djambek (1329/1911-1397/1977) yang digelari sebagai Pembaru Pemikiran Hisab di Indonesia.
Saadoe’ddin sangat berjasa dalam pengembangan studi astronomi Islam di Indonesia, khususnya ketika menjabat sebagai Ketua Badan Hisab Rukyat Departemen Agama Republik Indonesia.
Badan Hisab Rukyat lahir di era A. Mukti Ali sebagai Menteri Agama RI. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama No. 76 Tahun 1972. Tujuan utama kehadiran Badan Hisab Rukyat adalah mempersatukan umat untuk melaksanakan peribadatan.
Langkah awal yang dilakukan oleh Saadoe’ddin Djambek selaku Ketua Badan Hisab Rukyat mengunjungi dan silaturahmi ke ormas Islam terkait penentuan awal Ramadan dan Syawal. Dalam perjalanannya kehadiran Badan Hisab Rukyat memberi ruang berdialog antar ormas Islam, khususnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama melalui pertemuan ahli hisab dan rukyat.
Pasca Saadoe’ddin Djambek, generasi berikutnya yang mengembangkan studi Astronomi Islam di IAIN/UIN Sunan Kalijaga adalah Abdur Rachim. Ia juga tercatat sebagai Wakil Ketua Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI.
Pada tahun 1398/1978, Abdur Rachim menjadi delegasi Indonesia bersama Kafrawi Ridwan dalam “Konferensi Penyatuan Kalender Islam” di Istanbul Turki. Salah satu keputusannya yang saat ini dijadikan rujukan dalam Kalender Islam Global adalah ketinggian hilal 5 derajat dan elongasi 8 derajat.
Abdur Rachim merupakan sosok yang sangat disegani dan banyak melahirkan tokoh astronomi Islam. Kepakarannya di bidang Astronomi Islam sangat dikagumi tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama.
Abdur Rachim sebagai tokoh Muhammadiyah menjalin hubungan sangat baik dengan para tokoh astronomi Islam dari NU, seperti K.H. Noor Ahmad SS (Lajnah Falakiyah PBNU dari Jepara), K.H. Mahfudz Anwar (Lajnah Falakiyah PBNU dari Jombang), M.Taufiq (Ditbinbapera Depag RI), K.H. Slamet Hambali (Lajnah Falakiyah PBNU dari Semarang), H. Wahyu Widiana (Ditbinbapera Depag RI), dan H. Muhyiddin Khazin (Lajnah Falakiyah PBNU dari Yogyakarta).
Tokoh-tokoh di atas sering bertemu dalam Musyawarah Kerja Badan Hisab Rukyat sehingga akrab dan berdampak positif hubungan Muhammadiyah-NU. Bahkan Kyai Noor Ahmad SS mendukung konsep “Wujudul Hilal” diperluas. Pada tanggal 2 Muharam 1425/23 Februari 2004, penulis berdiskusi dengan Kyai Noor Ahmad.
Menurutnya, “madzab negara bisa digunakan dengan prinsip saat matahari terbenam hilal di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai orang NU, saya kurang percaya dengan hasil rukyatul hilal yang dilakukan oleh NU”.
Pandangan Kyai Noor Ahmad ini jika disepakati di kalangan NU dan Muhammadiyah menerima keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 Tahun 1431/2020 di Malang, maka penyatuan kalender Islam saat itu bisa diwujudkan dan perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan dapat diakhiri.
Sikap keterbukaan dan siap menerima pandangan dari pihak lain yang diwariskan Kyai Noor Ahmad perlu menjadi perhatian bersama. Jika saat ini konsep visibilitas hilal dianggap sebagai jalan kompromi antara hisab dan rukyat, maka konsep ini perlu didukung dan dikembangkan dari matlak nasional dan regional menuju matlak global demi terwujudnya kalender Islam pemersatu.
Pada era M. Amin Abdullah sebagai Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1422/2001 dimasukkan mata kuliah pilihan pada Program Magister. Salah satunya mata kuliah “Astronomi Islam : Teori dan Metodologi”.
Kehadiran mata kuliah ini diharapkan melanjutkan studi astronomi Islam di tingkat sarjana, sehingga kajian yang dikembangkan lebih dinamis serta menyentuh isu-isu aktual di bidang astronomi Islam.
Tujuh tahun kemudian, IAIN Walisongo Semarang merintis pembukaan konsentrasi Ilmu Falak (Astronomi Islam) di bawah Program Studi Ahwal Syakhsiyyah, baru sejak tahun 1433/2012 menjadi Program Studi Ilmu Falak S1, S2, dan S3.
Kehadiran program studi astronomi Islam ini tidak lepas dari peran Slamet Hambali dan Ahmad Izzuddin. Saat itu “keduanya merupakan tokoh” yang dimiliki UIN Walisongo.
Para pimpinan UIN Walisongo memberikan perhatian dalam mengembangkan studi Astronomi Islam. Hampir setiap acara rektor mempromosikan memiliki program Ilmu Falak sebagai program unggulan. Hasilnya sangat menggembirakan dan banyak alumni yang telah dihasilkan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Kini UIN Walisongo memiliki Planetarium dan Observatorium yang megah dan diberi nama “Planetarium dan Observatorium Kyai Zubair Al-Jailani”. Kyai Zubair merupakan salah seorang tokoh astronomi Islam yang disegani dan mantan Rektor IAIN Walisongo.
Kitab “al-Khulashotul Wafiyah” merupakan salah satu karya monumentalnya di bidang astronomi Islam. Planetarium dan Observatorium Kyai Zubair Al-Jailani termasuk termegah di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri.
Kehadiran program studi Astronomi Islam alias Ilmu Falak di UIN Walisongo memberi inspirasi bagi kampus-kampus lain di PTKIN. Pada tahun 1436/ 2015 berdiri Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dengan SK Pendirian Nomor 1511 tahun 2015 tanggal 11 Maret 2015 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam.
Adapun visi Prodi Ilmu Falak UIN Sunan Ampel Surabaya adalah Menjadi pusat kajian ilmu falak yang unggul dan kompetitif, bertaraf internasional. Para pengelola program studinya merupakan alumni UIN Walisongo Semarang dan Institut Teknologi Bandung.
Berbagai kegiatan telah dilakukan seperti Webinar Secara berseri tentang Persoalan Astronomi Islam dan melakukan observasi di Observatorium Astronomi (OASA). UIN Sunan Ampel memiliki tokoh-tokoh senior di bidang astronomi Islam, yaitu Abd. Salam Nawawi dan Akh.Mukarram.
Pada tahun 1435/2014 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar saat itu dipimpin oleh Ali Parman merintis pendirian Program Studi Ilmu Falak dan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor 1172 Tahun 2016, tertanggal 29 Feberuari 2019 dinyatakan Program Studi Ilmu Falak (IFK) resmi dibuka pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, yang lulusannya mendapat gelar Sarjana Hukum (S.H).
Berbagai aktivitas telah dilakukan, seperti observasi hilal, studi banding ke Pusat Studi Astronomi Islam di Malaysia, pengukuran arah kiblat, falak fair, pelatihan penggunaan aplikasi astronomi Islam, dan penerbitan Jurnal El-Falaky.
Selanjutnya, UIN Mataram mendirikan Prodi Ilmu Falak dan telah memiliki observatorium Al-Afaq dan menerbitkan ” Jurnal AL-AFAQ”. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga tertarik mengembangkan studi Astronomi Islam melalui “Islamic Astronomy Student Council (IASC)” sejak tahun 1443/2022 pada era Ahmad Tholabi Kharlie.
Selain di lingkungan UIN, ada beberapa IAIN yang tertarik mengembangkan studi Astronomi Islam, antara lain IAIN Lhokseumawe dengan Observatorium Malikussaleh, IAIN Madura dengan “Observatorium Jokotole”, dan IAIN Ponorogo dengan “Watoedhakon Observatory”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa perkembangan studi Astronomi Islam di lingkungan PTKIN sangat menggembirakan dan tidak lepas dari peran tokoh Muhammadiyah dan NU. Untuk itu, para pemegang otoritas perlu terus melakukan inovasi dan mendorong hasil-hasil riset tidak hanya disimpan di Perpustakaan. Tetapi bisa memberi solusi bagi kehidupan bersama.
Misalnya riset tentang Kalender Islam Global yang sudah banyak dihasilkan sepatutnya menjadi bahan rujukan. Riset-riset yang berkualitas bisa menjadi bahan diskusi bagi Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama RI untuk memberi masukan kepada Menteri Agama RI dalam mewujudkan kalender Islam pemersatu.
Selain itu, keberadaan observatorium perlu dimaksimalkan untuk menghadirkan kriteria “visibilitas hilal Indonesia”. Begitu pula tradisi sitasi antar karya dosen perlu ditingkatkan sebagai penghargaan terhadap karya teman sejawat.
Tak kalah pentingnya sudah saatnya diselenggarakan “Annual Conference of Islamic Astronomy” sebagai evaluasi sekaligus wahana pertukaran gagasan dan promosi berupa karya tulis dan produk-produk instrumen astronomi Islam.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.
Editor: Soleh
Alhamdulillah terimakasih