Kolaborasi antar mahasiswa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi di Malaysia terlihat dalam program “Volunteer Mengajar Mahasiswa Mengabdi” yang dikoordinasikan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Asia Pasific University (APU) pada Senin sampai Rabu (17-19/07/19). Kegiatan ini bertujuan membantu memberikan kontribusi positif, edukatif, kreatif dan inovatif terhadap anak-anak bangsa di salah satu sekolah Indonesia di Malaysia dan juga menumbuhkan jiwa optimisme terhadap cita-cita yang mereka impikan.
Terletak di kompleks Apartemen Sri Angkasa, Jalan Batu Unjur, Taman Bayu Perdana, Pelabuhan Klang, Selangor, Malaysia, tepatnya di belakang surau (mushalla) Darul Muhibah. Pusat Pendidikan Warga Negara Indonesia (PPWNI) didirikan sejak tahun 2008 atas kerjasama YM, Raja Kamaruddin dan Jendral Polisi (Purn.) Da’i Bachtiar (Duta Besar Indonesia untuk Malaysia tahun 2008). Dirintis dengan nama Insan Malindo, sekolah ini memiliki tujuan mengedukasi anak-anak peranakan Indonesia-Malaysia dengan pendidikan berbasis agama. Murid-murid di sekolah ini ialah mereka yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah kebangsan Malaysia.
Sekolah dengan lima ruang belajar dan satu ruang untuk pengajar ini menjadi poros penggerak pendidikan bagi 150 siswa dari kelas 1 SD hingga 3 SMP. Hanya terdapat 5 ruangan untuk 9 kelas. 1 ruangan dipergunakan untuk dua kelas secara bersamaan dengan hanya dua orang pengajar yang tersedia. Bukan jumlah yang proporsional untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Namun, keterbatasan tersebut tidak menjadi halangan bagi para murid dan guru untuk menimba dan berbagi ilmu di sekolah tersebut.
Sekolah ini menggunakan kurikulum yang berbeda dengan Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL). Mereka menggunakan kurikulum serupa dengan KTSP yang diselaraskan dengan kalender pendidikan Kerajaan Malaysia. Hal ini terpaksa dilakukan oleh pihak sekolah demi memudahkan akses fasilitas bus sekolah yang disediakan oleh Kerajaan Malaysia bagi para pelajar.
“Rata-rata siswa kelas satu sekolah dasar disini belum bisa membaca” ujar Wardani, Kepala Sekolah PPWNI. Hal ini disebabkan oleh latar belakang orang tua murid yang mayoritas merupakan buruh pelabuhan sehingga mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik buah hati mereka dirumah. Tugas mulia untuk mendidik anak-anak tersebut yang membuat Wardani beserta dua guru lainnya bertahan di sekolah ini walau gaji mereka tak akan pernah sebanding dengan jerih payah dalam mendidik para siswa.
Perjuangan Wardani dalam mengelola sekolah ini dirasa cukup berat. Lobi kepada Kedutaan Besar RI dan Kementerian Pendidikan Malaysia acap dilakukan sebab sejak awal mula berdiri, sekolah ini belum memiliki legalitas hukum yang jelas hingga sekarang. Dalam hal operasional sekolah, ia juga tak jarang mengeluarkan uang pribadinya untuk menutup biaya fotokopi buku-buku pelajaran.
Kasus paling parah yang pernah menimpa sekolah ini adalah tertundanya UN siswa kelas 3 SMP selama dua tahun karena permasalahan perizinan dari pusat. Setelah berbagai upaya dilakukan, disepakati perjanjian antara PPWNI dangan SIKL untuk mengizinkan siswa mereka melaksanakan UN di SIKL.
Pada akhirnya, dukungan dalam segi pendanaan dan penyediaan fasilitas perlu terus dilakukan agar eksistensi sekolah ini terus berlanjut. (MRA, NS)