IBTimes.ID – Pada hari Senin (21/9), Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan menyelenggarakan serial diskusi Dari Kita untuk Mereka yang keempat dengan tema “Perlindungan Korban dalam RUU PKS, Perspektif Maqasid Syariah, Hukum, dan HAM”. Diskusi serial ini adalah lanjutan dari webinar-webinar yang sebelumnya.
Pembicara dalam webinar ini adalah Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Tinuk Dwi Cahyani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang; Witriani, Ketua Pusat Pengarusutamaan Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Yogyakarta; dan Handi Mulyaningsih, dosen Universitas Lampung.
Dalam webinar yang diselenggarakan secara daring ini hadir Setya Budi, Wakil Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta. Dalam sambutannya, Setya Budi berharap agar diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh PSIPP mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat agar lebih menghargai perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat.
“Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sangat menghargai perempuan. Dalam sejarah nabi, mereka menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat. Sementara itu, belakangan muncul berbagai kasus yang merugikan perempuan,” ujarnya.
Ia menceritakan bahwa sekarang perempuan sering dinomorduakan dan dilecehkan. Bahkan, suami yang memaksa istri untuk melayaninya berarti melakukan pelecehan terhadap istrinya sendiri. Banyak perempuan yang terpaksa menjual dirinya. Mereka adalah korban yang harus dirangkul dan diberdayakan.
Yulianti yang memberikan pengantar dalam webinar tersebut menyampaikan bahwa ada banyak sekali permasalah yang dihadapi oleh korban kekerasan seksual, namun mereka menemukan banyak kendala dalam upaya mencari keadilan. PSIPP yang memiliki mandat untuk melakukan pendidikan publilk, pelatihan, pengkajian, dan penelitian merasa terpanggil untuk melakukan kajian tentang hal tersebut.
“Kali ini kita masuk ke pengkajian yang keempat. Pada diskusi pertama, kita membahas pandangan ulama tarjih Muhammadiyah terhadap kekerasan seksual. Seri kedua kita mendiskusikan sikap dan peran angkatan muda Muhammadiyah dalam memandang kekerasans seksual. Pada seri ketiga kita mengajak Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk membahas tentang penanggulangan kekerasan seksual yang terjadi di PTM,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa RUU PKS dibutuhkan, namun tetap saja ditolak. Penyebabnya adalah karena ada kesalahpahaman dalam memandang RUU PKS. Padahal, kejadian-kejadian kekerasan seksual sudah sedemikian kompleks dan mendesak penanganan yang tepat.
Tinuk, sebagai pembicara pertama menyampaikan kasus-kasus kejahatan seksual yang ia tangani. Misalnya, ada anak TK yang ketika pulang sekolah dibawa secara paksa oleh orang yang tidak dikenal ke toilet masjid, kemudian dicabuli di masjid. Sepulangnya anak sampai rumah, ia bercerita kepada ibunya. Akhirnya mereka melaporkan ke Polres setempat.
Ternyata, pelaku sudah 9 kali melakukan kejahatan serupa. Dan setelah itu muncul wacana hukuman kebiri bagi pelaku pelecehan seksual. Menurut Tinuk, pelaku yang tidak ketahuan berpotensi akan melakukan kejahatan berikutnya. Selanjutnya, Tinuk menjelaskan banyak hal tentang maqasid syariah.
“Dalam Islam, nasab adalah aspek yang sangat penting. Nasab yang salah mendatangkan banyak masalah seperti waris dan wali nikah. Saya fokus pada keturunan, jangan sampai ada kasus kakek memperkosa cucunya, dan lain-lain. Nanti nasabnya bisa kacau,” jelasnya.
Sementara itu, Asfinawati menyampaikan data yang menunjukkan lansia yang menjadi korban kekerasan seksual. Usia mereka antara lain 60 tahun, 67 tahun, 73 tahun, 58 tahun, 62 tahun, 60 tahunn 75 tahun.
“Ada stigma yang berlaku bahwa perkosaan hanya menimpa perempuan muda karena perempuan yang memancing korban. Data ini membantah stigma itu. Stigma ini yang menyebabkan kekosongan hukum selama puluhan tahun di Indonesia karena dianggap tidak kuat dasarnya. Karena peristiwanya dilihat secara berbeda,” ujarnya.
Handi, yang menjadi pembicara ketiga, menjelaskan banyak hal tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam semua level pendidikan, mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Pada tahun 2019, di pesantren/asrama ada 16 kasus, di Sekolah Dasar ada 9 kasus, di TK dan Kampus ada masing-masing ada 3 kasus.
“Pelakunya adalah guru. Menurut data KPAI, kebanyakan justru guru olahraga dan guru agama. Sangat tidak terbayangkan bagi orang tua yang selama ini mempercayakan penuh pendidikan anak kepada institusi pendidikan,” imbuhnya.
Adapaun Witriani menyamaikan bahwa RUU PKS sudah sangat mendesak untuk segera disahkan. Tetapi ternyata RUU ini ditarik dari prolegnas. Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es yang nampak sedikit namun di bawah sebenarnya sangat banyak. Bahkan, percobaan pemerkosaan pernah terjadi di masjid.
“Ini sebenarnya merupakan extra ordinary crime karena efeknya berlapis dan berkepanjangan. Menimbulkan trauma dan ketakutan. Sayangnya, hal-hal seperti ini belum dianggap sebagai sesuatu yang penting,” jelasnya.
Reporter: Yusuf