Fikih

Setelah Puasa Arafah, Bebas Bermaksiat?

1 Mins read

“Ada seseorang yang mengira tidak apa-apa menyengaja untuk maksiat di kemudian hari, toh sudah puasa Arafah yang katanya menghapus dosa setahun sebelum dan sesudahnya”.

Prof. Dr. Ali Jum’ah (ulama besar al-Azhar) menjawab bahwa model berpikir seperti ini bermasalah. Bahkan menunjukkan sebuah kebodohan. Orang yang punya pikiran semacam ini adalah orang yang belum mengenal Rabb-nya dengan baik.

Beliau menjelaskan bahwa Allah memberikan anugrah ampunan sedemikian itu kepada mereka yang berpuasa Arafah adalah sebentuk kasih sayang Allah yang begitu besar kepada hambanya.

Justru dengan ampunan sedemikian itu, akan memotivasi orang untuk meningkatkan ketakwaan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas amalan. Ampunan yang dijanjikan pun tidak ditujukan kepada mereka yang melakukan maksiat karena penentangan/membangkang kepada Allah.

Syekh Ali Jum`ah memaparkan inspirasi pada diri sahabat Utsman bin Affan RA yang mendanai jaisyul usrah (perang Tabuk) dengan jumlah besar sampai membuat Rasulullah Saw terharu menitikkan air mata. Bahkan sampai mengatakan, “Setelah hari ini, apa pun yang dilakukan Utsman tidak akan membahayakannya (di akhirat)”.

***

Mendengar ucapan seperti ini, apakah Utsman kemudian ‘semau gue’ bebas bermaksiat? Sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, ini menjadi motivasi bagi beliau untuk meningkatkan ketaqwaan dan melakukan amalan-amalan hebat. Salah satunya adalah proyek ‘jam`ul Quran/penyatuan mushaf’ yang beliau lakukan ketika menjadi Khalifah.

Demikianlah etos para sahabat yang perlu diteladani.

Syekh Ali Jum’ah menegaskan bahwa, “Kita dapat melakukan puasa Arafah semata karena taufik dari Allah”.

Bukan karena usaha dan kehebatan kita, sehingga kita merasa bahwa ampunan yang dijanjikan Allah itu adalah hak kita untuk bisa bermaksiat suka-suka di kemudian hari. Naudzubillaahi min dzalik.

Pertanyaan ini adalah sesi tanya jawab di sebuah seminar di al-Ahly Club, sebuah klub olah raga eksklusif yang terpandang di Mesir. Model klub olahraga (nadi) semacam ini banyak dijumpai di Mesir. Konsep arenanya seperti ISTORA Senayan di Jakarta dan berlaku sistem keanggotaan/member.

Baca Juga  Allah Mewajibkan Shiyam di Bulan Ramadhan, Bukan Shaum. Apa Bedanya?

Di Mesir, ulama al-Azhar tidak hanya menyampaikan kajian agama di kampus atau Masjid al-Azhar. Ulama al-Azhar memperluas sayap dakwahnya melalui berbagai jalur dan ke berbagai kalangan. Termasuk dalam hal ini adalah ke kalangan atas (anggota klub olahraga) dan mendatangi mereka. Sehingga masyarakat dengan berbagai kelasnya tidak asing dengan ilmunya para ulama.

Ahli Hadits Musa Al Azhar

3 posts

About author
Mahasiswa Pasca-Sarjana Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Mesir | Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PCIM Kairo-Mesir
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds