Puasa tetap wajib dilaksanakan bagi kaum Muslim meski di tengah pandemi Covid-19. Puasa tidak boleh di-rukhshah atau digantikan dengan alasan apapun. Termasuk tata cara pelaksanaannya juga tidak diperbolehkan mengalami perubahan.
Meski ada banyak kabar usulan bahwa ibadah puasa dibatalkan atau minimal ditunda saja ke tahun depan, dengan dalih demi meningkatkan imunitas menghadapi virus Corona. Tetapi menurut Azyumardi Azra, penulis buku Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus Hingga Mengaktualisasi Kesalehan (2020), puasa tidak bisa dibatalkan atau ditunda. Sebab, puasa adalah ritual wajib agama Islam yang tak bisa dinego dengan dalih apapun (kecuali sakit parah yang akan menyebabkan kematian lalu menggantinya bila sembuh).
Bagaimana dengan rutinitas ibadah lainnya pada bulan puasa? Meski puasa sedang berjalan, tapi masih banyak perihal yang diperdebatkan. Mulai dari ibadah kaifiyat-nya, seperti shalat tarawih, serta ibadah wajib lainnya, seperti shalat wajib, Jumatan di masjid, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa pihak yang sampai memaksakan syariat. Bukan apa-apa, mungkin karena bulan puasa kini situasinya berbeda atau karena nuansa tradisi yang kental atau karena kegagapan teologis dan sains.
Selain shalat wajib lima waktu dan puasa, menurut Azra, ibadah kaifiyat-nya, seperti pelaksanaan shalat tarawih bisa dimodifikasi. Artinya, jika shalat tarawih yang lazimnya dilaksanakan di masjid dan musalla secara berjemaah dengan banyak orang, maka karena virus Corona (untuk menghindari penularan-ditularkan), bisa dikerjakan di tempat lain: di rumah, di kantor, dan tempat lainnya dengan protokol Covid-19 dan jumlah jemaah yang terbatas.
Dari situ, umat Islam ditekankan untuk tidak gegabah dan berfikiran simplistik, fatalisme, dan free will. Bukan karena lebih takut akan Corona daripada takut kepada Tuhan, tetapi untuk menghindari madharat yang lebih besar. Sebab, virus Corona menyerang manusia tanpa melihat status sosial, bangsa, dan agama manusia. Ia menyerang orang yang beragama atau pun yang tidak beragama. Virus Corona menyerang siapa saja, di mana saja, dan menular.
Bahkan, bila ada yang membandingkan antara virus dan Tuhan, menurut Azra, ia sudah menempatkan sejajar virus Corona dengan Tuhan. Selain itu, ia bisa menyesatkan banyak orang, serta membuat ajaran agama jadi dangkal, lemah, pesimistis, dan belas kasih Tuhan kian direduksi, makin menyempit.
Dalam konteks kedaruratan global ini, umat beragama musti menyadari makna penting fatwa larangan tanpa melanggar syariat dari otoritas keagamaan, termasuk negara dan lainnya. Seperti larangan penangguhan tawarih, haji, dan shalat jumat di masjid yang hari ini masih dilakukan di banyak tempat.
Diterbitkannya berbagai himbauan social distancing, lockdown, dan larangan mudik, agar mencegah sebaran virus Corona yang lebih dahsyat. Bukan sedang ingin menurunkan derajat kesalehan umat beragama, melainkan untuk menjaga keselamatan bersama. Bahkan agama hadir untuk memelihara: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kemaslahatan harus mendahului keberagamaan.
Quraisy Shihab dalam buku Corona Ujian Tuhan: Sikap Manusia Menghadapinya (2020) menegaskan, bahwa penangguhan ibadah keagamaan apalagi yang sunnah di musim penyakit boleh dilakukan di tempat lain asal tidak melanggar syariat. Dan itu senafas dengan apa yang telah diajarkan dan diamalkan oleh Rasul Saw atas perintah Tuhan (QS. al-Muzzammil).
Ketika terjadi hujan lebat, jalan becek, dan cuaca dingin menggigit, muazin diperintahkan mengganti redaksi ajakan ke masjid [hayya ‘ala ash shalat] dengan bunyi [shallu fi buyutikum] yang berarti “shalatlah di rumah masing-masing”. Artinya, jika akibat hujan lebat, jalan becek, dan dingin menggigit saja telah dapat menjadi alasan untuk tidak ke masjid, maka apalagi dengan alasan virus Corona yang menyebabkan kematian. Bahkan aroma yang bisa mengganggu pun dilarang oleh Rasul SAW untuk bergabung ke masjid, apalagi virus Corona yang berpotensi menularkan, mematikan. Menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup adalah menjadi keniscayaan dalam Islam.
Terlepas dari itu, yang lebih diutamakan dalam rangka keselamatan menjalankan kehidupan ke depan dan menjalankan ibadah suci Ramadan supaya benar-benar mencapai derajat takwa sesuai surah al-Baqarah 2: 183. Pada situasi kini, adalah mempererat kohesi sosial, bersolidaritas bersama, dan saling menjaga.
Menjaga jarak, solidaritas saling berbagi, baik pangan dan informasi. Selain itu, kita harus menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam dosa maksiat dan mudharat. Sebagaimana pernyataan Azyumardi Azra dalam buku ini, ibadah puasa bertujuan pengendalian diri dan mengalahkan hawa nafsu angkara murka dalam berbagai bentuknya. Sebab, jika orang dikuasai hawa nafsu, ia bisa jadi “lebih busuk dari lempung penuh kotoran” (hal. 293).
Hawa nafsu yang menyala-nyala dan tidak terkendali merupakan sumber ektremisme, radikalisme, dan terorisme. Lebih jauh lagi, ia bukan hanya sumber dari perbuatan tercela yang bertentangan dengan esensi dan tujuan ibadah, tetapi dengan keadaban pribadi dan publik, seperti mencuri, korupsi, kolusi, dan nepotisme serta penyelewengan kebijakan. Dengan melakukan perbuatan seperti itu, ia sebenarnya sedang merusak agama atau melakukan fasad (kerusakan) yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Meski, nantinya, banyak yang mencoba melakukan sin laudering, mencuci dosa mereka, dengan cara-cara naik haji atau pergi umrah; nyantuni fakir miskin, menyekolahkan anak-anak; memberi sumbangan sembako, infak, dan sedekah ke masjid-yayasan dengan memakai jilbab dan peci-baju koko, senyatanya itu adalah perbuatan tercela.
Karena korupsi dan perbuatan keji tidak bisa dicuci dengan cara seperti itu. Sebagaimana ajaran Islam la talbisu al-haqqa bi al-bathil, jangan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan dan kemungkaran. Sesungguhnya perbuatan itu tidak bisa menghapus perbuatan demikian (hal. 290).
Ibadah puasa sesungguhnya latihan pembentukan integritas, kepaduan pribadi, yang kaffah, dan tawhidi. Karena itu, puasa adalah salah satu lokus penting untuk menyempurnakan rohani, baik di tingkat pribadi maupun publik.
Ibadah puasa untuk mencapai derajat takwa, hanya bisa dicapai dengan mengalahkan hawa nafsu angkara murka dan kemudian mengaktualisasikan sikap asketisme, yaitu menciptakan hawa nafsu yang tenang dan damai (al-nafs al-mutahma’innah). Sikap asketisme selalu berbuat baik kepada dirinya, lingkungan, umat, dan negara-bangsanya dengan ridha Tuhan (al-Fajr 27-28). Sikap asketisme adalah sikap tidak rakus kekuasaan, rakus seks, dan rakus harta, serta tidak rakus syariat.
Jika ibadah puasa termasuk ibadah lainnya dilakukan dengan cara-cara demikian, dalam komitmen dan konsistensi terus menerus, insya Allah, kita dapat menjadi negara-bangsa religius dalam berbagai aspek kehidupan warganya, dan dapat (kembali) meningkatkan integritas kemanusiaannya.
Editor: Arif