Hari-hari terakhir puasa Ramadan ini seharusnya melahirkan rasa rindu dalam diri hamba-hamba-Nya. Merindukan Rasulullah, rindu sorga-Nya, dan tentunya kerinduan terbesar adalah menatap wajah Ilahi kelak nanti.
Disebutkan bahwa dari sekian kesenangan ukhrawi kelak, tak ada lagi yang paling diimpikan oleh manusia Mukmin lebih dari menatap wajah Sang Khaliq. Bahkan, secara khusus “menatap wajah-Nya” ini disebut dengan “ziyadah” (kebahagiaan lebih).
Al-Quran menggambarkan kegembiraan itu. Wajah-wajah ahli sorga bersinar (naadhirah) memandang wajah Tuhannya. “Dan pada hari itu wajah mereka bercahaya. Mereka memandang wajah Tuhannya” (Al-Qiyamah).
Untuk terwujudnya kerinduan itu diperlukan “mujahadah” penuh dalam Ibadah di satu sisi. Di sisi lain mengesampingkan sementara segala godaan nafsu duniawi.
Maka di hari-hari terakhir inilah hati dan jiwa, bahkan raga hamba-hamba yang beriman dengan sepenuhnya terdedikasikan kepada keharibaan-Nya. Betapa tidak, makan, minum, tidur, bahkan semua kesenangan dunia untuk sementara dikesampingkan/dikurangi demi mencari ridha-Nya.
Secara khusus Allah mengingatkan mereka yang beri’tikaf: “dan jangan kamu melakukan hubungan (suami isteri) sedangkan kamu beri’tikaf” (Al-Quran).
Jika dua puluh hari di awal puasa Ramadan, larangan hubungan suami isteri berlaku di siang hari, maka bagi hamba-hamba yang sedang mendedikasikan diri kepada Allah di sepuluh hari terakhir justru juga dilarang di malam hari juga.
Hal ini mengindikasikan urgensi melawan godaan kesenangan dunia sementara. Sebuah penggambaran bahwa hawa nafsu duniawi kerap menjadi penghalang bagi seorang hamba menuju jalan Rabbnya.
Maka ayat di Surah Al-Qiyaamah yang membicarakan tentang “melihat wajah Tuhan” (ilaa Rabbiha naadzirah) justeru didahului dengan peringatan: “Sayang sekali, tapi kamu terlalu mencintai al-aajilah (dunia). Dan acuh terhadap urusan akhirat” (Al-Quran).
Oleh karenanya, sekali lagi, cinta dunia berlebihan inilah yang menjadikan banyak orang terhalang dari kenikmatan terbesar, nikmat ukhrawi kelak. Yaitu memandang wajah Tuhan, Dzat Yang Maha Mencipta.
Maka perjuangan mengesampingkan nikmat duniawi sementara dalam perjalanan menuju Tuhan, merupakan bukti kerinduan dalam menatap wajah-Nya.
“Beruntunglah siapa yang mensucikan jiwa. Dan ingat kepada Allah dan sholat” (Al-Quran).
Pensucian jiwa yang disebutkan pada ayat di atas adalah kemampuan menjaga jiwa dari godaan nafsu duniawi yang disebutkan kemudian: “akan tetapi kamu terlalu melebihkan (tu’tsiruna) kehidupan dunia”.
Hari-hari sepuluh terakhir Ramadan memang disiapkan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang merindukan pertemuan dengan-Nya. Pertemuan batin (spiritual encounter) sebelum pertemuan yang sesungguhnya di hari Akhirat kelak.
Di hari-hari terakhir itu, setelah melalui hari-hari perjuangan dan komitmen kedekatan dengan Allah, seorang hamba akan semakin merasakan kerinduan itu.
Setelah melalui hari-hari perjuangan mengesampingkan godaan dunianya, seorang hamba akan semakin bersinar jiwanya. Sinar itulah yang menjadi titik kerinduan menemukan Tuhannya.
Hati-hati yang telah begitu dekat dengan Tuhan akan merasakan ketenangan di saat dunia mengalami kegoncangan. “Tidakkah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang?”
Dan hati-hati yang tenang itulah yang akan dipanggil dengan panggilan kerinduan: “wahai jiwa yang tenang. Kembalikah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.”
Bahkan hanya jiwa yang tenang (salim) itu yang akan menghadap Tuhannya dengan penuh keindahan. “Pada hari di mana harta dan anak tidak lagi memberikan manfaat. Terkecuali mereka yang datang menghadap Tuhannya dengan jiwa yang bersih” (Al-Quran).
Semoga di hari-hari terakhir ini hati kita semakin merasakan kerinduan itu. Kerinduan yang melahirkan ketenangan dalam langkahan kaki menuju kepada-Nya. Amin!
Editor: Arif