Apakah ada relasi antara berpuasa dengan kepedulian terhadap lingkungan? Jawabannya jelas ada. Sebelumnya saya menulis mengenai berpuasa dalam membuahkan kesalehan secara ritual dan kesalehan sosial. Yang artinya ada keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minnas. Ada satu lagi yang juga harus dimiliki selain dua hal sakral di atas, yaitu hablum minalalam. Bagaimana kita menjaga hubungan yang baik dengan alam yang dimanifestasikan pada tindakan kita dengan menahan hawa nafsu dan menjaga diri untuk tidak berbuat kerusakan serta senantiasa menunjukkan sisi rehabilitatif.
Dalam konteks ini, berpuasa sejatinya mampu menyeru manusia untuk menjadi lebih baik, menahan diri supaya tidak merusak, dan membenahi diri agar bisa menjaga dan merawat lingkungan. Ibadah puasa juga mengandung spiritualitas yang menumbuhkan kesadaran bahwa alam semesta yang kita huni adalah entitas yang sejajar dengan manusia. Maka sudah seharusnya perilaku-perilaku yang mencerminkan ketidakpedulian terhadap lingkungan wajib ditinggalkan.
Sampah Selama Bulan Ramadan
Dalam sebuah kesempatan saya pernah berbincang dengan petugas pengambil sampah. Dia bertutur bahwa kuantitas sampah selama Ramadan meningkat tinggi. Terutama sampah bekas bungkus makanan, sampah rumah tangga dan sisa makanan. pernyataan di atas didukung dengan data dari Badan Lingkungan Hidup (BLH), bahwa volume sampah memang meningkat 15 persen setiap harinya di bulan Ramadan. Sedangkan sampah dari sisa makanan juga mengalami kenaikan.
Dilansir dari Malay Mail data tahun 2020, setidaknya terjadi peningkatan sampah sisa makanan di negara-negara Muslim saat bulan Ramadan yang mencapai 10-15 persen, beberapa bahkan mencapai 30 persen.
Berpuasa di bulan Ramadan seharusnya menjadi momen untuk merawat alam dengan mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan. Tetapi, realitanya ternyata justru semakin banyak sampah yang dihasilkan. Sampah-sampah itu sebagian besar dihasilkan dari bungkus plastik dan tas kresek untuk takjil.
Padahal sebenarnya hal itu kurang diperlukan, tapi karena sudah menjadi kebiasaan dan sifat kita yang menyukai kepraktisan akhirnya menggunakan cara yang singkat ini. Untuk mengatasinya kita bisa mensiasati dengan cara membawa wadah atau tempat dari rumah, sehingga penggunaan bungkus plastik bisa dikurangi.
Para ilmuwan memperkirakan setiap tahun depalan juta metrik ton plastik berakhir di lautan kita. Hasilnya, palstik ditemukan pada 100 persen spesies penyu dan 60 persen kebanyakan burung laut. Bahkan sebagai perbandingan para ilmuwan memprediksi bahwa tahun 2050 akan ada lebih banyak plastik di lautan dari pada ikan.
Oleh karena itu, Ramadan harus menjadi sarana hablum minalalam sebagai relasi timbal balik terhadap lingkungan dan sarana penyadaran bahwa manusia bukanlah pusat ekosistem yang bisa dengan bebas melakukan tindakan terhadap alam atau lingkungan.
Eco-Ramadan dan Eco-Iftar
Salah satu solusi sebagai cara untuk mengurangi sampah di bulan Ramadan adalah melaksanakan konsep Eco-Ramadan. Dalam konsep ini masyarakat diarahkan untuk beribadah puasa seraya menjaga kelestarian lingkungan. Karena masyarakat dianggap cenderung bersifat konsumtif secara berlebihan selama Ramadan.
Apabila Eco-Ramadan ini bisa diterapkan dengan baik maka Ramadan bisa menjadi bulan pelestarian dan perbaikan alam. Langkah awal dalam mengamalkan Eco-Ramadan selain mengurangi penggunaan plastik sekali pakai adalah dengan memperhatikan pola komsumsi kita.
Kita harus merencanakan belanja dengan bijaksana. Jangan membeli terlalu banyak makanan yang kita sendiri bahkan belum tentu menghabiskannya. Kita wajib memastikan bahwa kita tidak menyiapkan makanan terlalu banyak dan meminimalisir makanan terbuang secara percuma.
Selain itu, sisa makanan yang tidak bisa lagi menjadi hidangan bisa kita jadikan kompos limbah alami. Kompos limbah alami ini bisa kita gunakan untuk menanam pohon.
Selain Eco-Ramadan, konsep lain yang kiranya juga menjadi inovasi dalam membuat Ramadan yang ramah lingkungan, yaitu Eco-Iftar. Organisasi pelestarian lingkungan, yaitu Grennpeace Indonesia pernah menyelenggarakan acara buka puasa dengan konsep Eco-Iftar.
Tentu ini merupakan bagian dari kampanye pelestarian lingkungan sekaligus kampanye pantang plastik untuk memberdayakan masyarakat perkotaan. Konsep Eco-Iftar ini bisa kita jadikan contoh sebagai upaya untuk kegiatan Ramadan yang ramah lingkungan. Tempat-tempat penyedia menu buka puasa dan masjid-masjid penyedia iftar bisa mengadosi konsep Eko-Iftar ini.
Penggunaan gelas keramik, piring kaca, bungkus daun pisang, atau wadah rotan menjadi alternatif untuk pengurangan plastik sekali pakai bahkan bisa lebih menghimpun lebih banyak umat dalam kegiatan berbagi iftar atau takjil.
Nilai Ekologis dalam Berpuasa
Berpuasa di bulan Ramadan tidak hanya sekedar sebagai ibadah penggugur kewajiban tahunan yang diakhiri dengan perilaku konsumtif yang diwujudkan melalui aktivitas beramai-ramai berberlanja pada pusat perbelanjaan atau berburu diskon. Pada titik ini puasa dikatakan kehilangan maknanya transformatifnya.
Kita harus memaknai ibadah puasa Ramadan secara luas supaya senantiasa mempunyai nilai transformatif. Sehingga mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial dan ekologis yang ada di masyarakat.
Dalam konteks ekologis, nilai-nilai puasa sebenarnya tidak membuka ruang bagi kita untuk merusak alam. Kita harus menahan dan mengendalikan diri untuk tidak merusak dan menghancurkan alam dengan kekuatan dan kekuasaan yang kita punya. Manusia juga diajak untuk berperilaku konsumtif secara wajar atau tidak berlebihan.
Oleh karena itu, justru kita harus prihatin sebab setiap Ramadan, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia meningkat secara signifikan. Jangan sampai pola konsumsi yang meningkat justru banyak dilakukan oleh perilaku kaum muslimin yang siang harinya berpuasa.
Maka dari itu, kita telah berhutang cinta dan perhatian kepada Bumi. Jadi, mari kita berikan kembali kepada lingkungan dan bantu melestarikan alam ciptaan Allah yang luar biasa. Kita menjalankan puasa sekaligus menyelamatkan alam.
Editor: Ahmad