Opini

Rachel Corrie Mati Dilindas Buldoser IDF

2 Mins read

Suatu pagi di Rafah, bulan Maret 2003. Musim dingin menyelimuti reruntuhan rumah yang dihancurkan IDF kemaren siang. Kondisi Rafah buruk, meski tak seburuk Rafah di 2025.

Tubuh kurus itu tak kuasa menahan buldoser Caterpillar raksasa di depannya. Badannya ringkih, namun tekadnya sekuat baja. Dua kali baja Caterpillar menindihnya, dua kali dunia hampir berhenti. Namun yang mati bukan semesta. Namanya meledak, semakin hidup, menyejarah, menjadi simbol kekuatan melawan kepongahan rezim yang bercokol di Yerusalem dan Washington.

Namanya Rachel Corrie. Gadis 23 tahun yang mati dilindas buldoser Israel di Rafah. Corrie tengah melakukan kampanye penghentian penggusuran rumah-rumah warga Palestina oleh IDF. Corrie bukan hanya sosok yang digilas buldoser, ia adalah luka kecil yang menjadi sayatan di benak mereka yang selalu dilupa dunia.

Corrie adalah anomali. Alih-alih menghadiri kuliah di kampusnya, Evergreen State College di bilangan Olympia, Washington, ia terbang ke Palestina. Sebuah tanah yang “hard to hold in your mind what’s happening here – living lives that no child should have to live,” tulisnya dalam sebuah surat kepada ibunya jauh di Washington.

Tapi bocah ini menolak diam. Baginya, “We have got to understand that the poor are all around us and we’re ignoring them.” Ia tidak mau mengabaikan orang lain. Ia ingin terlibat, betapapun kecilnya keterlibatan itu.

“Tempat tergelap di negara dicadangkan bagi mereka yang bersikap netral di saat krisis moral,” ujar Dante Alighieri sebagaimana dikutip dengan sangat masyhur oleh Dan Brown dalam Inferno.

Namun keterlibatan Corrie tak pernah kecil. Namanya terus menjadi simbol hingga waktu yang tak pernah ia bayangkan. Sekelompok warga Tepi Barat berkumpul setiap 16 Maret di Desa Qaryut, Nablus, untuk memperingati kepergiannya. Peringatan kematian Corrie tidak sekedar mengenang yang telah pergi, tetapi menanyakan kembali: “Apakah kita masih berani melawan raksasa, dengan tubuh ringkih dan hati besi?”

Baca Juga  Benarkah Palestina Termasuk Negara Pertama Kali yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia?

Rachel Corrie adalah martir yang menumbalkan dirinya sendiri. Tak ada yang memintanya mati. Maka ia terus hidup, kendati jasadnya tak lagi ada. Dalam kenangan jutaan warga Palestina. Melalui puisi dan sajak. Serta cerita yang ditasbihkan setiap menjelang malam agar anak-anak lupa akan desingan peluru dan bom yang merenggut masa depan.

Itu pula yang dulu dilakukan Corrie menjelang kematiannya. Bercerita kepada anak-anak kecil di keluarga Nasrallah di Rafah setiap menjelang tidur. Agar anak-anak itu tidak risau akan kehadiran buldoser esok hari. Agar anak-anak itu tidak melihat bahwa ada banyak lubang peluru di dinding rumah mereka.

Salah satu anak kecil itu bernama Nour Nasrallah. Kelak, ketika sudah mengerti baca tulis, Nour menulis buku cerita anak yang mengisahkan tentang Corrie, seorang kakak yang siluetnya hanya ia ingat melalui kilatan-kilatan memori seorang bayi, namun terekam dengan hampir sempurna melalui memori kolektif keluarga Nasrallah.

Nour berpuisi,

As the monster struck her, but she didn’t fall

Her soul took flight, doves in the sky

Revealing their truth; truth not to deny!

But the world must see them, with no filter through

Bagi Nour, ribuan korban di Palestina bukan hanya angka, bukan pula wayang. “They weren’t puppets, but humans too. With senses and hearts, just like me and you! Because no one would listen, no one would see.” Tetapi Corrie melihat. Ia bahkan memberi nyawanya, untuk Palestina. Seorang gadis yang lahir dengan penuh privilege: kulit putih, warga negara Amerika, anak seorang veteran perang. Memilih hidup yang tidak mudah, nun jauh di timur Laut Mediterania.

Rachel Corrie memang gagal menghentikan buldoser yang akan menghancurkan rumah keluarga Nasrallah. Namun ia telah berhasil dalam kehidupan. Ia telah menyumbangkan hal yang paling berharga yang ia miliki, bagi kemanusiaan. Ia hidup, dan terus hidup, sebagai seorang manusia yang tak pernah takut menyuarakan kebenaran. Seperti puisi Nour,

Baca Juga  Baitul Al-Maqdisi: Tanah yang Dijaga Allah

In that strange planet, where the creatures are small

Invisible to most, but she saw them all

Like puppets they seemed, suspended on strings

No blood, no pulse, no tears to bring

Avatar
124 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *