Perspektif

Radikalisme Agama: Surplus Kajian Normatif, Defisit Kajian Historis

3 Mins read

Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astana Anyar Bandung beberapa hari yang lalu (PikiranRakyat.com, 7/12/22) menjadi pertanda bahwa kerja-kerja normativitas agama yang kaku dan dogmatis, dengan corak mengesampingkan akal sehat, masih tumbuh subur. Setidaknya, ada dua kasus bom panci di Bandung sebelum ini, masing-masing di Taman Pendawa pada Februari dan Buahbatu pada Juli, keduanya di tahun 2017.

Apa premis yang dapat diambil dari peristiwa tersebut di atas? Tentu beberapa akan mengatakan bahwa pihak keamanan perlu memperketat penjagaan dan pengamanan, agar dapat dicegah peristiwa serupa di kemudian hari. Itu betul, hanya saja tidak sepenuhnya. Yang pasti, kasus-kasus di atas menuntut khalayak untuk tidak melihatnya sebagai semata-mata peristiwa yang tiba-tiba muncul di permukaan, apalagi, dalam kacamata yang monolitik.

Normativitas Agama

Seperti halnya fenomena gunung es, kasus bom bunuh diri hanyalah puncak dari akumulasi normativitas dan dogma-dogma yang hidup di grass-root, di kalangan awam. Awam di sini saya maksudkan sebagai mereka yang tidak mendapat pendidikan formal agama atau keagamaan.

Normativitas tersebut (baca: ajaran/pemikiran keagamaan) disebarkan melalui tidak saja dalam kelas-kelas formal, yang dapat kita lihat basisnya dalam diktat-diktat. Ia juga disebar melalui pengajian-pengajian kecil dalam acara-acara biasa di kampung, desa atau kota. Proses transmisi ini diperkuat dan seperti tak bisa dicegah saat dogma yang bercorak doktriner itu bertemu dengan kecepatan produksi informasi di internet (Amin Abdullah, 2012).

Tentu bukan proses transmisinya yang salah, melainkan, sudahkah substansi normativitas itu sejalan dengan warisan kebudayaan Indonesia yang plural? Atau malah menafikan keberagaman? Sehingga segala paham yang bersebrangan dengan salah satu kelompok keagamaan, dalam hal ini muslim misalnya, kemudian dianggap sebagai sebentuk penyimpangan; oleh karena itu mesti dimusnahkan.

Baca Juga  Toleransi dan Radikalisme yang Masih Salah Kaprah

Di Indonesia masyarakat plural sudah menjadi fakta sejarah; sekaligus keberagaman produk-produk pemikirannya. Diperkuat dengan konstitusi dan ideologi negara yang diambil hampir dari banyak nilai. Hanya saja, keberagaman pikiran ini menjadi masalah ketika menimbulkan tindakan destruktif seperti di atas. Dengan embel-embel “KUHP adalah produk kafir”.

Sejauh ini, kasus-kasus tersebut dilihat lebih banyak dalam kacamata hard approach—penanganan dan penindakan (baca: hukum). Sementara pada sisi lain, paradigma yang lebih luas (the way of thinking)/soft approach, kurang mendapat tempat, untuk tidak mengatakan tidak mendapatkan tempat sama sekali. Dengan kata lain, dalam wilayah weltanschauung studi agama di Indonesia.

Bagaimana Studi Agama Melihat Fenomena Ini

Terma radikalisme agama populer setelah peristiwa bom WTC di Amerika pada 2001. Dilanjutkan dengan deklarasi perang terhadap terorisme oleh George Bush. Di Indonesia, radikalisme agama (secara umum) muncul bersamaan dengan perjuangan menghidupkan ideologi pendirian negara Islam, ini dapat dilihat misalnya pada kemunculan Darul Islam di Jawa Barat, 1949.

Demikian, secara genealogis; selain sebab doktrin tentang jihad yang disalahpahami dan proses transmisi pemikiran keagamaan yang indoktriner, tidak memberikan ruang terhadap nalar kritis untuk hidup.

Kerangka berpikir pemikiran keagamaan yang tidak berubah (menganggap semua yang di luar kelompok sebagai ancaman), dan doktrin pendirian negara Islam sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan kebangsaan menjadi faktor krusial persemaian paham-paham radikal (keras) ini; yang kemudian mengarah pada terorisme.

Kita melihat terorisme belakangan sebagai bagian dari akumulasi radikalisme agama ini, coraknya berbeda dengan kemunculan radikalisme yang pertama (DI) tadi. Terorisme ini tidak didasarkan pada perjuangan fisik yang terstruktur, melainkan lebih pada gerakan sporadis yang timbul-tenggelam.

Baca Juga  Islam Fundamentalis: Siapa dan Bagaimana Mereka Muncul?

Bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu dua orang adalah contoh bahwa paham-pahamnya disebarkan secara terselubung, kembang-kempis, tapi hidup.

Radicalism is only one step short of terrorism,” kata Rizal Sukma (2004). Mengendarai fenomena moral panic dengan doktrin jihad sebagai tumpuan tindakan, jadilah tindakan itu bagaimana pun tidak masuk akalnya mendapatkan legitimasi. Seolah orang yang mati bunuh diri dengan bom itu atas nama jihad membela agama telah melakukan sesuatu yang besar—memerangi kebatilan, padahal tidak.

Rekonstruksi Produk Pengetahuan Keagamaan

Mula-mula, setelah bersepakat bahwa fenomena itu tidak terjadi begitu saja, kita dapat mengambil benang merah bahwa pengetahuan keagamaan yang dogmatis (absen dari nalar kritis) dan esensi pemikiran keagamaan yang masih berputar pada cara berpikir memisah antara ‘aku’ dan ‘yang lain’, ‘kelompokku’ dan ‘kelompok lain’ (ciri khas pemikiran keagamaan abad tengah) menjadi faktor utama yang memperkuat penetrasi Islam sebagai ideologi, bukan sebagai nilai.

Padahal, lebih dari sekadar ideologi (politis), Islam adalah nilai (universal) yang menyerap berbagai nilai kebudayaan lain. Ia bukan sebuah lokus tertutup sehingga menjadi semacam undang-undang atau hukum yang tandus. Sebagai nilai, ia mengalir, bentuk dan coraknya berbatas ruang-waktu mengikuti di mana ia tinggal.

Dengan pemahaman tersebut, maka Islam di Indonesia jelas berbeda dengan Islam yang berkembang di Eropa atau di tanah Arab. Namun, jika Islam itu sebagai ideologi yang tertutup, sebagaimana dipahami beberapa kelompok (termasuk afiliasi pelaku bom bunuh diri), ia tidak bisa sesuai dengan berbagai keadaan; salih li kulli zaman wa makan. Islam sebaga nilai menjadi sesuai dalam konteks plural karena ia terbuka terhadap nilai-nilai yang lain. Tidak merasa yang paling mutlak, dan satu-satunya pembawa kebenaran.

Baca Juga  Pandangan Nietzsche dan Ibnu Sina Tentang Kehadiran Tuhan

Menimbang konteks dan paradigma di atas, usaha rekonstruksi produk pengetahuan keagamaan, sebagai subjek yang beririsan dengan fenomena terorisme di permukaan, sangat diperlukan dan mesti diprioritaskan. Hal ini dapat dilakukan dalam setidaknya tiga hal: pertama, meninjau kembali diktat dan kurikulum pendidikan keagamaan dalam pendidikan formal-informal kita.

Kedua, merekonstruksi pemahaman keagamaan ke dalam wajahnya yang baru (sesuai konteks), meninggalkan wajah lamanya yang tertutup dan kering. Ketiga, di ruang-ruang informal, baik riil atau maya, filsafat (baca: nalar kritis) mutlak dipakai, dengan cara paling sederhana; mempertanyakan produk pemikiran dan tidak menerimanya sebagai sesuatu yang instan-tinggal pakai. Pemahaman-pemahaman mesti dibenturkan dengan konteks.

Hanya dengan cara demikian kita dapat mengharapkan wajah pemikiran keagamaan yang progresif, terbuka terhadap nilai-nilai dan perbedaan. Untuk kemudian menutup potensi terorisme. Sehingga lorong gelap itu dapat diterangi lampu-lampu. Lain dari pada itu, lorong gelap radikalisme agama selalu mengintai, mengingat sifat agama yang, dalam bahasa Ian G. Barbour menuntut personal commitment pemeluknya untuk tunduk secara mutlak terhadap ajaran agamanya.

Editor: Yahya

Syukron Jazila
5 posts

About author
Syukron Jazila. Pendiri Wahib Institute. Peneliti di ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Research Assistant di Department of Malay Studies, Faculty of Arts and Social Sciences, National University of Singapore (2018). Aktif di Resolusi Center: Pusat Studi Agama, Filsafat dan Masyarakat, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2018-2019).
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds