Perspektif

Ragam Pandangan Religious Studies terhadap Agama

3 Mins read

Studi tentang keagamaan merupakan upaya untuk memahami berbagai aspek agama, terutama melalui penggunaan beragam disiplin ilmu. Perkembangan ini telah dijelaskan secara mendalam oleh Ninian Smart dalam karyanya The World’s Religions (1989) yang menyoroti pendekatan fenomenologis, serta Peter Connolly dalam Approaches to the Study of Religion (1999) yang membahas metodologi multidisipliner.

Religious Studies mulai berkembang sebagai bidang formal pada abad ke-19, ketika metode sejarah, linguistik, kritik sastra, psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan disiplin ilmu lainnya diterapkan untuk meneliti sejarah, asal-usul, serta fungsi agama.

Hal ini dibahas lebih lanjut oleh Eric Sharpe dalam Comparative Religion: A History (1986), yang menjelaskan perkembangan metodologi di masa itu, serta oleh Tomoko Masuzawa dalam The Invention of World Religions (2005), yang mengkritisi cara-cara pandangan agama dunia dikonstruksi pada abad ke-19. Namun, hingga kini, belum ada konsensus di antara para cendekiawan tentang pendekatan terbaik untuk mempelajari agama.

Salah satu alasan utama adalah setiap disiplin ilmu memiliki metode dan topik yang khas, sehingga sering terjadi konflik metodologis yang sulit diselesaikan. Selain itu, perdebatan tentang asal-usul dan fungsi agama sering kali bercampur dengan pertanyaan tentang kebenaran agama, yang justru menghambat perkembangan konsep dan metodologi kajian agama.

Hakikat dan Makna Agama

Substansi agama sering kali mencakup keyakinan, praktik, dan institusi keagamaan. Namun, mendefinisikan agama secara universal terbukti sulit. Banyak definisi yang berupaya membedakan antara yang sakral dan yang profan, serta menekankan keyakinan pada satu atau lebih dewa.

Kendati demikian, keberagaman praktik keagamaan membuat sulit untuk menemukan definisi yang netral dan inklusif. Dalam beberapa tradisi agama, seperti Buddhisme pada tahap awalnya, konsep Tuhan tidak memainkan peran sentral. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih inklusif adalah dengan menginventarisasi fenomena keagamaan tanpa memaksakan satu definisi tertentu.

Baca Juga  Baru Belajar Agama Jadi Ustadz, Bolehkah?

Bahkan jika inventarisasi kepercayaan dan praktik dapat dikumpulkan, perbedaan antara berbagai tradisi keagamaan sering kali lebih mencolok daripada persamaan di antara mereka. Selain itu, dalam ketiadaan definisi yang sempit, ideologi-ideologi politik tertentu, seperti komunisme dan fasisme, kadang dipandang sejajar dengan agama.

Sebagai contoh, Paul Tillich (1886–1965), seorang teolog Jerman-Amerika, mendefinisikan agama sebagai “kepedulian manusia terhadap hal yang paling ultim” (Tillich, Dynamics of Faith, 1957). Definisi seperti ini membuka ruang untuk memasukkan ideologi ke dalam kajian agama. Meskipun demikian, batas antara agama tradisional dan ideologi politik modern tetap menjadi topik studi yang menarik.

Netralitas dan Subyektivitas dalam Relegious Studies

Diskusi tentang agama menjadi lebih kompleks dengan adanya upaya beberapa teolog Kristen, seperti Karl Barth (1886–1968), untuk membedakan antara agama dan wahyu (proklamasi iman Kristen). Barth menekankan bahwa agama adalah hasil aspirasi manusia, sedangkan wahyu adalah respons terhadap penyataan ilahi. Kesulitan dalam perbedaan ini terletak pada pengingkaran bahwa Tuhan adalah objek dari respons manusia.

Tantangan lainnya adalah sejauh mana netralitas dan objektivitas dapat dicapai dalam Religious Studies. Apakah mungkin memahami suatu kepercayaan tanpa memercayainya? Jika hal ini tidak mungkin, maka studi agama perbandingan akan menghadapi hambatan besar, karena jarang seseorang dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam lebih dari satu agama.

Meski demikian, Religious Studies dapat bersifat deskriptif dan normatif. Pendekatan deskriptif berfokus pada sejarah, struktur, dan elemen-elemen agama lainnya, sedangkan pendekatan normatif berusaha mengevaluasi kebenaran klaim agama dan nilai-nilainya.

Pluralitas Pandangan terhadap Agama

Pandangan pluralistik terhadap agama telah ada sejak zaman kuno. Para filsuf Yunani, seperti Protagoras (c. 481–411 SM), mempertanyakan eksistensi Tuhan, sementara Prodicus dari Ceos memberikan penjelasan rasional tentang asal-usul dewa yang kemudian dikenal sebagai euhemerisme.

Baca Juga  Kitab-Kitab Hadis Model Arba’ūn Karya Ulama Nusantara

Pemikiran Protagoras tentang eksistensi Tuhan dapat ditemukan dalam fragmen-fragmen yang dirangkum oleh Diels dan Kranz dalam “Die Fragmente der Vorsokratiker,” sementara gagasan Prodicus dianalisis lebih lanjut dalam “The Theology of the Early Greek Philosophers” karya Werner Jaeger. Critias, seorang filsuf abad ke-5 SM, melihat agama sebagai alat untuk menakuti manusia agar taat pada moralitas dan keadilan.

Pandangan Plato dan Aristoteles juga memberikan pengaruh besar dalam memahami agama. Plato menggunakan mitos sebagai sarana untuk mempromosikan moralitas, sementara Aristoteles mengembangkan konsep “Penggerak Pertama” sebagai wujud Tuhan yang tidak berubah. Dalam pandangan mereka, agama memiliki fungsi sosial dan moral, tetapi juga mencerminkan pencarian manusia terhadap makna kosmis.

Usaha dalam Religious Studies

Religious Studies juga dipengaruhi oleh pemikiran Helenistik dan Romawi. Para filsuf seperti Epicurus dan Lucretius memiliki pandangan skeptis terhadap agama, meskipun mereka tidak sepenuhnya menolak keberadaan Tuhan. Euhemerus (c. 330–260 SM) berpendapat bahwa dewa-dewa adalah manusia yang didewakan, sebuah pandangan yang meskipun kontroversial, memiliki pengaruh pada tradisi Kristen awal.

Pandangan ini dapat ditemukan dalam karya klasik seperti “Sacred History” karya Euhemerus sendiri, serta dianalisis dalam studi modern oleh David Leeming dalam “The Oxford Companion to World Mythology” dan Sarah Iles Johnston dalam “Religions of the Ancient World: A Guide”.

Dalam konteks Kristen, teori tentang asal-usul politeisme sering dikaitkan dengan doktrin “Kejatuhan Manusia,” yang menjelaskan evolusi agama dari monoteisme murni ke penyembahan berhala. Pandangan ini mencerminkan perpaduan antara tradisi Yahudi-Kristen dan agama-agama Yunani-Romawi. Meskipun demikian, teori-teori ini lebih bersifat spekulatif dan reflektif dibandingkan berbasis pada bukti empiris.

Kesimpulan

Studi tentang keagamaan adalah bidang yang kompleks dan multidisipliner, yang terus berkembang seiring dengan perkembangan metodologi dan pendekatan baru. Dalam mempelajari agama, penting untuk mengakui keberagaman tradisi keagamaan dan menghormati pluralitas perspektif. Dengan demikian, studi agama tidak hanya menjadi sarana untuk memahami kepercayaan dan praktik keagamaan, tetapi juga untuk menjembatani dialog antarbudaya dan antariman.

Baca Juga  Posisi Pancasila dan Agama dalam Negara

Editor: Soleh

Roma Wijaya
14 posts

About author
Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang Minat Kajian Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender
Articles
Related posts
Perspektif

Jersey sebagai Identitas dan Media Dakwah

3 Mins read
Jersey umumnya identik dengan olahraga. Jersey sepakbola memimpin di pasar Indonesia sebagai jersey yang paling banyak dikonsumsi, dipakai, dikoleksi, dan diperjualbelikan di…
Perspektif

Gaza, Trump, dan Dunia Islam

3 Mins read
Dalam beberapa hari terakhir, Amerika banyak mengalami goncangan yang disebabkan oleh statemen maupun kebijakan presidennya, Donald J Trump. Dari penangkapan dan deportasi…
Perspektif

Restorasi Pendidikan Swedia: Dari Buku Digital Kembali ke Buku Cetak

3 Mins read
Revolusi industri keempat (Industry 4.0) yang dimulai dan digaungkan di Jerman pada tahun 2011 silam menjadi notifikasi dari segala kemajuan teknologi yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *