Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Telah beberapa lama sebelum diselenggarakan Persidangan Tahunan 1923, beberapa orang yang tidak suka kepada Muhammadiyah melancarkan fitnah dan provokasi bahwa Muhammadiyah dan Pengurus Besarnya adalah kaki tangan Politiek Economische Bond (PEB). Yakni, sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujuan daripada perkumpulan ini ialah untuk mengatur koordinasi dan kerjasama antara pabrik-pabrik gula yang banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak hanya dalam masalah produksi dan pemasaran, tetapi juga dalam aspek sosial budaya yang ada hubungannya dengan politik ekonomi pabrik.
Provokasi 1923
Para buruh harus dibina mental mereka agar di samping rajin bekerja juga tidak banyak tuntutan, harus menerima apa adanya. Untuk keperluan pembinaan, mereka harus mendapat pelajaran agama Islam versi masa itu. Ialah harus menerima nasib, pasrah, dan tawakal kepada takdir Allah, tanpa dibarengi usaha dan perjuangan untuk lebih meningkat.
PEB mendirikan semacam perkumpulan yang bernama Jam’iyyatul Hasanah. Tugasnya menghimpun guru-guru agama serta membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada kaum buruh pabrik. Pengurus Besar Muhammadiyah dan muballigh-muballighnya difitnah seolah-olah telah menerima dana dari PEB. Fitnah ini meluas dan sampai ke Jakarta (Betawi). Hingga para utusan Cabang Betawi dalam Persidangan Tahunan 1923 mendapat tugas untuk menanyakan dan mengadakan pemeriksaan, apakah berita itu benar.
Pengurus Besar dengan hati terbuka di hadapan sidang mempersilahkan utusan dari Jakarta untuk memeriksa sendiri buku keuangan dan notulen rapat Pengurus Besar. Bahkan mempersilahkan mereka untuk secara langsung menanyai utusan dari Yogyakarta beserta muballigh-muballighnya, apakah benar mereka menerima dari keuangan dari PEB, Jam’iyyatul Hasanah ataupun dari pabrik-pabrik gula yang ada di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Dari hasil pemeriksaan dan penelitian ternyata berita itu hanya provokasi dan fitnah semata-mata yang dilancarkan oleh mereka yang tidak suka terhadap kemajuan Muhammadiyah. Delegasi Cabang Betawi menjadi puas dan bersyukur kepada Allah.
Selebaran 1926
Tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1926, timbul pula fitnah semacam itu. Tidak hanya desas-desus melainkan sudah berbentuk surat selebaran yang meluas, dengan judul “Rahasia Muhammadiyah Terbuka.” Dikatakan bahwa Muhammadiyah minta tolong kepada Residen Yogyakarta agar pabrik gula di kota itu memberikan bantuan tiap tahun seribu rupiah (gulden) kepada Muhammadiyah. Sebagai imbalannya Muhammadiyah sanggup mengirimkan guru agama ke pabrik itu. Selebaran itu beralamat pengirim yang jelas dan terang.
Pengurus Besar Muhammadiyah menanggapi fitnah tersebut dengan mengeluarkan surat edaran ke dalam, yaitu kepada seluruh Cabang dan Ranting serta kepada warga Muhammadiyah pada umumnya. Pengurus Besar Muhammadiyah tidak langsung kirim edaran kepada pembuat selebaran karena khawatir akan menambah retaknya hubungan sesama Islam. Dalam surat edaran itu dinyatakan antara lain:
- Tuduhan tersebut fitnah semata-mata, tidak benar dan sengaja ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin.
- Kepada segenap pimpinan dan warga Muhammadiyah yang menerima selebaran atau mendengar berita tentang fitnah itu, jangan sampai percaya, tetapi agar lebih memantapkan kepercayaan kepada Pengurus Besarnya, serta semakin giat beramal dan bekerja untuk menunaikan tugasnya dalam Muhammadiyah.
- Dengan ikhlas beramal dan berjuang dengan penuh tawakkal kepada Allah.
Surat edaran itu tanggal 16 Agustus 1926 dan ditandatangani langsung oleh ketua KH Ibrahim dan sekretaris yang pada waktu itu dijabat oleh H Hasyim.
Sumber: buku Matahari-matahari Muhammadiyah karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif