Perspektif

Rapor dan Ranking: Ajang Pamer Para Wali Murid

4 Mins read

“Alhamdulillah, nilai rapor Si Kakak bagus-bagus.”

“Si Adek ranking 1 lagi. Mama bangga sama kamu, Dek!”

Tendensi “Pamer” Keberhasilan Anak di Musim Rapor

Biasanya di musim pengambilan rapor anak sekolah seperti sekarang ini, timeline media sosial akan dibanjiri dengan kalimat-kalimat seperti di atas. Meski beda-beda sedikit redaksinya, tapi intinya tetap satu. Apalagi kalau bukan pamer!

Entah mengapa orang tua merasa harus pamer dengan keberhasilan anak, entah itu dalam bidang akademis maupun pencapaian di bidang lainnya. Mungkin mereka merasa ikut andil dalam pencapaian itu, paling tidak sudah mengeluarkan biaya yang lumayan besar agar si anak berhasil.

Padahal kalau mau jujur, si anaklah yang lebih berhak untuk pamer. Karena merekalah yang belajar dengan giat di sekolah, kemudian belajar lagi dengan tekun di bimbingan belajar selepas sekolah. Bahkan masih harus mengerjakan segunung tugas di waktu-waktu istirahat mereka.

Aksi pamer para orang tua siswa sebetulnya sudah dicegah sebisa mungkin oleh pihak sekolah, bahkan sampai ke tingkat Dinas Pendidikan. Upaya-upaya preventif agar orang tua tidak jumawa dengan pencapaian akademis anak, salah satunya dilakukan dengan menghapuskan sistem ranking atau peringkat.

Sistem ranking ini sebenarnya sudah ditentang habis-habisan oleh para pakar pendidikan. Salah satu teori dasar yang menentang sistem ranking, yaitu teori multiple intelligence atau kecerdasan majemuk. Tiap anak memiliki kecerdasan di bidang masing-masing yang dikuasainya. Anak tidak bisa dipaksa menjadi ahli dalam semua bidang studi di sekolah.

Dengan sistem ranking, anak dengan mudah diberi cap pintar maupun sebaliknya, diberi cap bodoh. Padahal, terlalu banyak aspek yang menjadikan seorang anak mampu menguasai materi pelajaran di sekolah.

Misalnya saja, aspek kecukupan penghasilan orang tua, aspek kenyamanan suasana belajar di rumah, maupun di sekolah, aspek kemudahan dalam mengakses sumber ilmu, dan lain sebagainya. Belum lagi hal-hal yang menyangkut psikologis siswa.

Baca Juga  Sains dan Agama dalam Menghadapi Corona: Bersinergi atau Bertentangan?

Orang Tua Penghamba Sistem Ranking

Banyak siswa yang merasa tertekan dengan sistem ranking ini. Mereka seakan memperoleh tekanan untuk masuk dalam ranking 10 besar untuk dapat dikategorikan sebagai anak pintar. Sedangkan mereka yang berada di ranking terbawah, alih-alih termotivasi untuk menjadi lebih baik, seringnya justru semakin minder. Karena terkenal sebagai si ranking buncit, alias terakhir.

Karena itulah, sistem ranking dianggap tidak lagi relevan digunakan di dalam dunia pendidikan saat ini. Terlebih lagi, sejarah sudah banyak membuktikan, bahwa perolehan ranking tidak menjamin konpetensi seseorang di masa mendatang.

Tapi para orang tua penghamba ranking seperti tidak kehabisan akal. Ada saja cara yang mereka lakukan untuk melihat peringkat nilai anaknya. Misalnya saja dengan “mengintip” peringkat anaknya saat sesi konsultasi dengan guru wali kelas ketika pembagian rapor.

Cara lainnya dengan menanyakan total nilai anaknya, lalu membanding-bandingkan dengan nilai total siswa lainnya dengan berkasak-kusuk sesama orang tua siswa. Lalu meski tidak memperoleh bukti yang jelas, orang tua model seperti ini tidak malu; untuk mendeklarasikan di berbagai medsos yang dimilikinya, bahwa si anak memperoleh ranking sekian teratas.

Bila saat masa-masa normal dulu kala sebelum Corona menyerang, hal demikian sudah tidak patut lagi dilakukan, apalah lagi saat ini. Orang tua harus pikir ulang untuk menjadikan pencapaian akademis anak sebagai konten medsos.

Sebab di masa pandemi ini, pencapaian akademis anak bukanlah semata diperoleh karena kegigihan anak dalam belajar; dan mengerjakan soal-soal ujian akhir sekolah. Terlalu banyak the invisible hand yang turut campur dalam perolehan akademis anak sekolah di masa pandemi ini.

Mungkin salah satunya adalah tangan kita sendiri sebagai orang tua, yang kerap kali tidak tahan ikut mengerjakan soal-soal yang seharusnya dikerjakan sendiri oleh anak. 

Baca Juga  RUU HIP dan Perubahan Kiblat Bangsa

Kalau tudingan itu mampu ditepis, tetap saja pencapaian akademis anak di masa pandemi ini tidak patut kita umbar dengan jumawa. Sebab disadari atau tidak, ada banyak instrumen penilaian yang berbeda di masa pendemi ini.

Perubahan Pengukuran Nilai Rapor saat Pandemi

Sama berbedanya dengan kebiasaan baru anak-anak kita dalam mencari ilmu. Biasanya tiap hari mereka melakukan tatap muka dengan guru-guru mereka. Akibat pandemi, mereka harus melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Entah itu lewat tatap muka di gawai seperti yang dilakukan banyak anak kota. Atau melalui lembar-lembar belajar yang dikirim guru-guru di desa, dengan bersusah payah mendaki perbukitan terlebih dulu.

Salah satu instrumen nilai rapor kenaikan kelas adalah skor hasil Penilaian Akhir Tahun (PAT); atau yang dulu lebih dikenal dengan ujian kenaikan kelas. Bila sebelum pandemi nilai PAT memiliki komposisi yang lebih besar sebagai salah satu instrumen dalam nilai rapor; sekarang nilai PAT hanya berkontribusi paling tidak sebanyak 20 persen saja. Sedangkan persentase penilaian terbesar justru berasal dari nilai tugas harian. 

Komposisi penilaian yang demikian sudah dipikirkan matang-matang oleh pihak sekolah. Sebab, pihak sekolah menyadari betul bahwa proses transfer ilmu tidak berjalan optimal selama PJJ berlangsung. Sehingga sekolah merasa tidak pantas menuntut siswa menguasai materi yang diberikan sepenggal-sepenggal itu.

Bila dilihat dari bobot maupun jumlah soal PAT, beberapa rekan guru mengonfirmasi; bahwa terjadi penurunan bobot maupun jumlah soal pada PAT kali ini. Paling tidak bila dibandingkan dengan bobot dan jumlah soal pada Penilaian Akhir Semester (PAS) lalu.

Menurunnya bobot soal paling terasa lewat ditiadakannya soal essai atau soal isian tertulis pada PAT kali ini. Selain itu, soal yang diberikan lewat formulir daring hanya berbentuk soal pilihan ganda. Jumlah soal juga berkurang. Bila biasanya mencapai sekitar 30 soal, pada PAT kali ini hanya diberikan sekitar 20 soal untuk jenjang SD.

Baca Juga  Perlukah Kita Belajar Ilmu Parenting?

Pihak sekolah mengaku melakukan kesepakatan internal bersama untuk menurunkan bobot dan jumlah soal pada PAT kali ini. Kesepakatan serupa juga dipahami oleh pihak Dinas Pendidikan terkait.

Hal ini semata-mata ditujukan agar nilai kompetensi dasar siswa tercapai meski proses belajar mengajar berjalan tidak maksimal. Dengan kata lain, penurunan bobot dan jumlah soal PAT ini merupakan kompensasi akibat pandemi.

Masih Mau Pamer?

Kalau kita saja malu memamerkan nasi yang dinanak dari beras bansos kompensasi akibat mandeknya perekonomian di masa pandemi; rasanya kita juga harus malu kalau sampai memamerkan pencapaian akademis anak yang ternyata prosesnya dipermudah di sana-sini.

Editor: Zahra

Avatar
2 posts

About author
Mantan jurnalis yang ingin tetap eksis lewat tulisan yang inspiratif.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds