Perspektif

Rasa Takut Manusia vs Virus Corona

4 Mins read

Sejarah manusia adalah sejarah bertahan hidup. Bertahan dari kelaparan, wabah, hingga perang, dan semua itu biasanya kita berhasil melakukannya (Harari, 2015). Kemampuan bertahan hidup tersebut muncul karena adanya rasa takut. Rasa takut membuat manusia waspada atas segala ancaman dan menimbang risiko terburuk yang bisa menimpa diri manusia baik secara individual maupun kelompok.

Menurut Green & Phillips (2004) sebagaimana yang dikutip oleh Adiprasetio (2020), rasa takut berkaitan erat dengan mekanisme survivabilitas manusia. Kemampuan inilah yang membuat manusia melakukan segala cara, agar yang ditakutkan atau yang menjadi ancaman, tidak sampai merugikan atau bahkan mencelakai diri maupun kelompoknya.

Rasa takut tidak membuat manusia menjadi pengecut, melainkan membuat manusia lebih terbiasa terhadap ancaman dan mencari cara bertahan hidup.

Kelaparan dan Wabah

Sebagai contoh, ketika kelaparan menjadi sebuah ancaman serius selama ratusan tahun lalu, manusia menciptakan jaringan pengaman dengan beragam cara. Mulai dari menciptakan teknologi pertanian, sistem politik, sistem ekonomi, dan mekanisme lainnya. Membuat kelaparan bukan menjadi ancaman yang menakutkan lagi saat ini.

Setelah kelaparan, ketakutan terbesar kedua yaitu wabah dan penyakit menular. Menurut Peter Boomgaard (1993), percepatan penyebaran penyakit, disebabkan oleh semakin meningkatnya urbanisasi, pertambahan penduduk, dan hubungan transportasi antarnegara. Selain itu, pengetahuan, pendidikan, kemiskinan, adat istiadat serta aspek pengobatan dan pencegahan penyakit dapat mempengaruhi munculnya suatu penyakit atau wabah. Namun, ketakutan kedua ini berhasil pula ditaklukkan, berkat semakin cepatnya manusia memahami musuh mereka.

Kemampuan memahami penyakit didapat melalui kemajuan pesat teknologi kesehatan. Dahulu ketika penyakit wabah hitam (Black Death) yang menyerang Eropa abad 14, mereka bahkan tidak mengenal musuh yang sedang dihadapi. Manusia baru mengenal apa itu bakteri, virus dan infeksi sekitar 300 tahun setelah wabah hitam berakhir.

Bahkan, manusia baru menemukan antibiotik pada abad ke-20 (Harari, 2015). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi di era modern membuat manusia bisa lebih cepat mengetahui siapa musuh yang sedang dihadapi dan siap untuk menghadapinya.

Baca Juga  Antara G30S/PKI, Fathu Makkah, dan Nelson Mandela

Perang dan Penemuan

Ketakutan ketiga umat manusia adalah perang. Sepanjang sejarah, sebagian besar manusia memandang perang sebagai hal yang lumrah, sedangkan perdamaian adalah keadaan sementara dan tidak pasti (Harari, 2015). Ketakutan akan kekalahan, penindasan, dan eksploitasi akibat kalah perang membuat manusia menciptakan beragam strategi, dan senjata. Keduanya diharapkan mampu memberi kemenangan dan menghapus ketakutan akan kekalahan.

Tidak sedikit penemuan-penemuan besar umat manusia yang bermanfaat hingga kini, yang sebenarnya berasal dari aktivitas mencipta senjata untuk memenangkan ketakutan tersebut. Sebagai contoh teknologi bom atom yang kini berguna dalam berbagai bidang, mulai dari kesehatan hingga sumber tenaga listrik.

Dalam sejarah manusia Indonesia ketika tahun 1945, rasa takut memberi kekuatan besar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan kolonialisme. Rasa takut yang tercipta disetiap jiwa manusia Indonesia terakumulasi dalam bentuk gotong-royong, bahu membahu mendirikan Republik Indonesia dan mengalahkan musuh bersama yaitu kolonialisme.

Manusia Indonesia ketika itu dihinggapi ketakutan trauma eksploitasi oleh bangsa asing, sehingga tidak ada cara lain selain bergerak melawan rasa takut, walau harus berkorban jiwa, raga, dan harta.

Virus Corona di Indonesia

Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, bahwa manusia modern berhasil atau setidaknya mampu mengatasi wabah dan penyakit akibat perkembangan teknologi kesehatan yang semakin maju. Akhir 2019 lalu, umat manusia dihebohkan munculnya virus jenis baru dan segera menyebar ke manusia tepatnya di Wuhan, China.

Pemerintah China segera melakukan segala upaya untuk menghentikan penyebaran virus tersebut. Setelah hampir 2 bulan mereka berjuang, akhirnya mereka menyatakan menang melawan penyebaran virus tersebut di daratan China. Virus ini dikenal dengan nama Corona atau Covid-19.

Namun, akibat kemajuan transportasi dewasa ini, perpindahan manusia dari satu wilayah ke wilayah lain menyebabkan virus ini dengan cepat menyebar keseluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Virus yang menyerang sistem pernafasan manusia ini, diketahui masuk Indonesia setelah ditemukan 3 orang postif terinfeksi sekitar tanggal 2 Maret 2020 lalu. Dengan cepat virus ini menyebar di wilayah Indonesia hingga hari ini Kamis, 26 Maret 2020 dengan 893 kasus, 78 jiwa meninggal, dan 35 jiwa sembuh (detik.com, 26/03/2019).

Baca Juga  Cadar Bukan Hanya Urusan Perempuan

Yang menjadi pertanyaan, mengapa virus ini tidak berhasil di cegah oleh Indonesia, padahal sudah 2 bulan kita diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri setelah mewabah di Wuhan, China? Apakah orang Indonesia tidak memiliki rasa takut akan penyakit mematikan yang sedang menyebar didunia?.

Berdasarkan riset Litbang Kompas melalui jajak pendapat terhadap 552 responden pada tanggal 3&4 Maret 2020 lalu di 17 kota di Indonesuia, sebelum muncul korban meninggal akibat terinfeksi virus Corona, sebanyak 52,7 persen responden menyatakan khawatir adanya virus Corona. Sebanyak 15, 2 persen menyatakan sangat khawatir. Sementara yang mengaku tidak khawatir sebanyak 31 persen responden (kompas.com, 11/03/2020). Jadi ada sekitar 69 persen responden yang sudah merasa khawatir akan ancaman virus Corona ini.

Dari data diatas menandakan munculnya rasa khawatir yang merupakan bagian dari rasa takut pada masyarakat Indonesia sudah ada sejak awal virus ini masuk Indonesia. Namun, berdasarkan riset tersebut pula, dinyatakan bahwa 40% belum sama sekali tersosialisai mengenai virus ini, dan sekitar 45 persen tersosilisasi melalui medsos.

Dari riset awal tersebut dapat diketahui seberapa minim orang Indonesia yang tahu musuh yang akan dihadapi. Sehingga tidak heran saat ini wabah dengan cepat menyebar dengan meluas dan menelan korban jiwa.

Sikap Pemerintah

Sejak awal pemerintah terkesan menutupi (mengatur informasi) mengenai virus ini. Mungkin bagi pemerintah ini bagai dua mata pisau, sebagaimana kita tahu bahwa tingkat pemahaman masyarakat kita akan pengetahuan kesehatan dasar masih rendah. Selain itu jika dibuka dipublik secara luas sejak awal maka akan timbul kepanikan massal dan keguncangan ekonomi.

Memang apa yang dilakukan pemerintah tidak bisa dikatakan salah 100 persen. Namun untuk menghadapi suatu penyakit atau wabah yang belum ada obatnya seperti virus Corona ini, maka semua warga negara wajib diberi akses informasi. Baik itu wilayah penyebaran, jumlah korban (baik yang meninggal maupun yang sembuh), hingga cara menghindari keterpaparan virus. Strategi pemerintah pun dalam menghadapi virus ini harus jelas sejak awal, karena kita sudah diberi waktu 2 bulan sejak virus ini pertama kali muncul untuk mempersiapkan diri.

Baca Juga  Kisruhnya PAN dan Hilangnya Partai Reformis

Dengan akses informasi yang cukup kepada semua penduduk dan ancaman mengerikan yang ditimbulkan akibat virus ini, niscaya rasa takut akan muncul sehingga masyarakat dapat mempersiapkan perang yang akan terjadi. Namun, itu semua tidak terjadi di awal wabah ini melanda Indonesia, bahkan para pejabat pemerintah cenderung menyepelekan virus ini.

Sejauh ini, masyarakat lebih banyak menerima informasi mengenai virus Corona dari media massa maupun online yang terkadang informasi lebih banyak menyebarkan ketakutan dan tidak sedikit berisi berita bohong yang menimbulkan ketakutan tanpa arah. Ketakutan yang muncul akibat informasi yang keliru menyebabkan terjadinya panic buying dibeberapa pusat perbelanjaan di Indonesia.

Mengelola Rasa Takut

Akhir-akhir ini akibat semakin tingginya angka korban jiwa dan ketakutan semakin meluasnya wabah, membuat berbagai elemen bangsa turun tangan, baik yang dilakukan oleh NGO, ormas, tokoh masyarakat, artis, pengusaha, masyarakat umum untuk bergotong royong menyumbangkan dana maupun APD untuk para penduduk yang beresiko terdampak.

Namun, rasa takut yang muncul terlalu terlambat setelah wabah menyebar luas dan memakan korban jiwa. Andai sejak awal kita mendapat akses informasi yang cukup baik mengenai musuh yang akan dihadapi dan andai pemerintah memiliki stategi yang terkoordinasi semua pihak, maka sudah sejak awal rasa takut tersebut bangkit. Sejak awal pula kita mempersiapkan senjata yang ampuh untuk melawan rasa takut akan dampak dari penyebaran virus ini, sehingga tidak akan menjadi nyata ketakutan tersebut.

Semoga peristiwa ini kita dapat memetik pelajarannya, bahwa memiliki rasa takut sangat penting sebagai salah satu cara kita bertahan dari ancaman apapun itu. Rasa takut wajib dikelola dengan baik sehingga dapat diarahkan sebagai pertahanan diri. Bukan menjadi kepanikan (takut berlebihan) yang mengarah pada tindakan destruktif.

Editor: Nabhan

6 posts

About author
Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds