Opini

Redenominasi: Momentum Emas Merampingkan Rupiah

2 Mins read

Dalam arsitektur ekonomi global, mata uang lebih dari sekadar alat tukar; ia adalah kartu nama psikologis sebuah negara. Di panggung ini, Indonesia menyajikan sebuah anomali: sebuah ekonomi triliunan dolar, anggota G20 yang dinamis, namun dengan mata uang yang nominalnya lebih menyerupai relik dari era hiperinflasi yang telah lama berlalu.

Kini, wacana lama untuk meredenominasi Rupiah, memangkas tiga angka nol kembali masuk dalam agenda strategis nasional.

Redenominasi: Efisiensi yang Hilang di Balik Deretan Nol

Ini bukan sekadar perdebatan teknokratis. Bagi banyak pengamat, langkah ini sering dianggap sebagai kosmetik yang mengalihkan perhatian dari isu fundamental. Namun, pandangan ini keliru. Redenominasi Rupiah bukan hanya soal estetika fiskal; ini adalah langkah krusial untuk efisiensi sistemik dan pembaruan psikologi pasar yang harus dieksekusi segera. Menunda langkah ini berarti membiarkan inefisiensi dan persepsi usang membebani potensi ekonomi Indonesia.

Argumen paling gamblang untuk redenominasi terletak pada efisiensi. Deretan nol yang berlebih pada Rupiah menciptakan “pajak kompleksitas” yang dibayar oleh seluruh lapisan masyarakat setiap hari. Seperti yang telah didokumentasikan oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, triliunan rupiah (atau kuadriliun, dalam nominal saat ini) tersia-sia dalam biaya operasional.

Sistem teknologi informasi perbankan, mesin ATM, dan perangkat lunak akuntansi dipaksa bekerja di bawah tekanan nominal yang absurd, meningkatkan kebutuhan maintenance dan potensi human error secara eksponensial. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, telah berulang kali menegaskan bahwa penyederhanaan ini akan mempercepat waktu transaksi secara signifikan. Ini adalah keuntungan nyata yang membebaskan sumber daya kognitif dan finansial untuk aktivitas yang lebih produktif.

Mata Uang dan Psikologi Kepercayaan Nasional

Namun, argumen yang lebih dalam dan lebih penting terletak di ranah psikologi dan kredibilitas. Mata uang adalah jangkar kepercayaan. Nominal Rupiah saat ini adalah bekas luka permanen dari Krisis Finansial Asia 1997-1998, sebuah pengingat konstan akan kerentanan masa lalu.

Baca Juga  OKI dan Resolusi Konflik di Timur Tengah

Ketika investor asing melihat kurs Dolar AS di level Rp 15.000, secara bawah sadar, ini memicu kerangka referensi yang berbeda dibandingkan jika mereka melihatnya di level Rp 15. Tentu, nilai intrinsiknya sama. Tetapi persepsi—terutama di pasar keuangan yang bergerak cepat—seringkali menjadi realitas.

Redenominasi menjadi sinyal kuat dari otoritas moneter bahwa era instabilitas telah berakhir dan Indonesia telah memasuki babak baru pengelolaan ekonomi yang matang dan stabil. Ini adalah penegasan kepercayaan diri.

Memang, ada argumen tandingan yang kuat dan sering dikemukakan: “Ini bukan prioritas.” Para skeptis akan menunjuk Jepang (dengan Yen-nya) atau Korea Selatan (dengan Won-nya) sebagai bukti bahwa jumlah nol tidak menghalangi sebuah negara menjadi raksasa ekspor. Mereka berpendapat bahwa fokus pemerintah seharusnya murni pada reformasi struktural, infrastruktur, dan hilirisasi.

Argumen ini memiliki kelemahan fatal: ia salah membaca konteks. Jepang dan Korea Selatan adalah ekonomi maju yang status kredibilitasnya di pasar global sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Mata uang mereka didukung oleh surplus perdagangan masif dan industri teknologi terdepan.

Indonesia, sebaliknya, adalah negara berkembang (emerging market) yang masih berjuang untuk mengukuhkan statusnya. Bagi Indonesia, aset kredibilitas dan persepsi psikologis memiliki bobot yang jauh lebih besar. Menyamakan situasi Jakarta dengan Tokyo adalah perbandingan yang tidak setara.

Momentum Stabilitas: Saat Tepat Menyederhanakan Rupiah

Lebih jauh, pandangan bahwa redenominasi hanya relevan bagi negara pasca-hiperinflasi (seperti Turki pada 2005 atau Brazil pada 1994) adalah logika yang terbalik. Pelajaran dari negara-negara tersebut bukanlah “tunggu hingga krisis”, melainkan “gunakan momentum stabilitas”.

Justru karena inflasi Indonesia saat ini terkendali dan pertumbuhan ekonominya solid, jendela kesempatan itu terbuka lebar. Melakukan redenominasi dari posisi yang kuat adalah tindakan proaktif dan bijaksana, bukan reaktif dan putus asa. Menunggu krisis untuk melakukan reformasi adalah sebuah kegagalan strategi.

Baca Juga  Sejarah Perkembangan Islam di Wonosobo

Pada akhirnya, redenominasi bukanlah obat mujarab yang akan menyelesaikan semua masalah ekonomi Indonesia. Reformasi fundamental harus tetap menjadi denyut nadi kebijakan.

Namun, memandang redenominasi sebagai distraksi adalah sebuah kesalahan analisis. Ia adalah langkah komplementer; sebuah fondasi yang membereskan kekusutan administratif sekaligus memberikan dorongan psikologis yang vital. Ini adalah investasi dalam efisiensi dan, yang lebih penting, dalam narasi baru Indonesia.

Ini bukan soal mengubah angka. Ini soal mengubah pola pikir. Waktunya adalah sekarang.

Editor: Najih

Hilma Fanniar Rohman
3 posts

About author
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Opini

Haul ke-16 Gus Dur: Jalan Sunyi "Muhammadiyah Cabang Tebuireng"

3 Mins read
Hiruk-pikuk peringatan Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara seremonial telah usai. Tenda-tenda di Pesantren Tebuireng yang ramai pada pertengahan Desember…
Opini

Riset: Bukan Generasi Stoberi, Gen Z adalah Agen Perubahan

6 Mins read
Menjelang tahun 2026, IDN Research Institute mengeluarkan hasil penelitian bertajuk Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026. Dalam laporan tersebut, generasi Milenial…
Opini

Merawat Warisan Cinta: Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul dan Aktualisasi Keteladanan Waliyullah

5 Mins read
Setiap kali bulan Rajab tiba, arah rindu jutaan manusia seakan memiliki satu tujuan yang sama: Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. Pada puncak haul…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *