Wacana keagamaan di Indonesia selama tahun 2019 sangat dipengaruhi oleh sebaran-sebaran informasi di media sosial. Sebagian besar Isu dan topik keagamaan yang berkembang seputar Islam dan kehidupan kaum muslim. Terutama karena diperkuat oleh nuansa politik elektoral dalam negeri, perdebatan-perdebatan keagamaan kian terdengar.
Dalam amatan redaksi, bulan Januari awal tahun, muncul beragam tagar perlawanan terhadap “radikalisme” seperti #SaveNKRI atau #JanganSuriahkanIndonesia. Awal tahun ini menjadi titik balik kampanye besar-besaran melawan “radikalisme”. Sejauh yang dapat diamati, isu “radikalisme” paralel dengan kampanye melawan intoleransi, terorisme, hoaks, ujaran kebencian (hate speech), politisasi dan provokasi.
Mengapa isu keagamaan menjadi penting?
Pertama, isu-isu keagamaan pasca piplres 2014 dan 2019 menjadi dorongan utama diskursus politik nasional. Isu keagamaan bahkan melampaui problem kemiskinan, kelaparan akut, pelanggaran HAM, krisis pangan, degradasi ekologi dan korupsi.
Kedua,menguatnya pembentukan tren “ruang publik teologi” telah memungkinkan perdebatan keagamaan manjadi demikian intensif dan berdurasi panjang. Isu keagamaan mempersibuk kelas menengah pada politik identitas, mendorong agamawan menggunakannya sebagai taktik meningkatkan kapital simbolik, menstimulasi birokrat untuk mengubahnya menjadi retorika kebijakan politik serta memastikan media mengejar keuntungan finansial.
Ketiga,isu agama bukan lagi menjadi persoalan komitmen moral melainkan penegasan politik. Narasi agama menghiasi kampanye, gesekan dan tanding politik selama 2019. Bangkitnya konglomerasi sawit dan batu bara menjadi latar belakang pemicu intensifnya simulakra perdebatan keagamaan.
Perang terhadap radikalisme merupakan benang utama perdebatan keagamaan. Pemicu utama isu ini adalah proyek deradikalisasi pemerintah yang sudah dilakukan sejak awal tahun 2001. Kemudian, deradikalisasi berkembang menjadi suatu isu keamanan atau sekuritas.
Pada tahun 2019, isu menguat tajam akibat polarisasi politik elektoral. Belum pernah terjadi, penggunaan kata “radikalisme Islam”, “fundamentalisme Islam” atau “konservatisme Islam” sebagai sasaran perdebatan keagamaan yang makin intensif. Menguatnya gelontoran dana deradikalisasi yang masuk ke lembaga pertahanan dan keamanan serta adanya dukungan PTAIN terhadap deradikalisasi mendorong isu ini menguak ke permukaan.
Memperjelas posisi perdebatan keagamaan di Indonesia akan memberi sedikit petunjuk mengenai masa depan warga, demokrasi dan politik kesejahteraan. Juga sebagai cara untuk memahami sejauh mana perdebatan keagamaan itu mempengaruhi kesadaran psikologis, perilaku dan emosi warga sebagai subjek diskursus.
Siapakah Pemain Isu Agama?
Keterlibatan negara dalam perdebatan dan wacana keagamaan terlihat jelas dari kebijakan, pernyataan, aktivitas dan kontribusi pembiayaan yang disediakan oleh negara dalam pemberantasan radikalisme. Kementrian, kepolisian, lembaga pertahanan, politisi, akademikus, dan birokratberperan penting dalam meningkatkan perdebatan keagamaan di ruang publik. Mereka di antaranya berkontribusi dalam mengatur definisi radikalisme dan bagaimana model penanganannya.
Kepolisian sejak awal tahun mencanangkan sejumlah strategi media dan pertarungan opini untuk menghadapi radikalisme. Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada bulan Januari mengungkapkan strateginya menangkal radikalisme, yakni melalui penguasaan media sosial dan pemanfaatan hasil penelitian.
Bulan Mei, Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Ham menyatakan siap memberantas terorisme dan radikalisme. Bulan Juni, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengatakan kampus sangat rentan terpapar radikalisme. Bulan Juni, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu menyebut sebanyak 3% prajurit TNI terpapar radikalisme. Menteri Agama yang baru dilantirk bulan Oktober, Fachrul Razi bahkan menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara dengan 11 kementrian lain.
Hingga pembentukan kabinet jilid II Presiden Joko Widodo, narasi deradikalisasi masih cukup kuat. Fachrul Razi sebagai Menteri Agama yang baru dilantik bulan Oktober menggantikan Lukman Hakim Saifuddin, bahkan pada masa awal jabatannya memperlihatkan perlawanan terhadap radikalisme. Ia misalnya menyebut bahwa aparatur dan pegawai negeri bisa dilarang menggunakan celana cingkrang atau cadar. Mantan Komisaris PT. Aneka Tambang ini menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 20 tahun 2019 tentang Majelis Taklim. PMA ini dinilai memicu respon yang beragam. Ada yang menganggap terbitnya PMA ini berupaya mengontrol penyelenggaraan majelis taklim yang biasanya dikelola secara organik.
Puncaknya, 11 Kementrian dan Lembaga Negara menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Radikalisme ASN yang ditandatangani tanggal 12 November 2019. Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Agama, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Kepegawaian Negara dan Komisi Aparatur Sipil Negara.
Tren dan Pergeseran
Jika pada tahun 2018, isu radikalisme berhadapan dengan topik kewargaan, maka tahun 2019, isu radikalisme berubah menjadi “ancaman” terhadap eksistensi negara. Titik balik semacam itu, turut ditopang oleh tren kebijakan publik yang bernada deradikalisasi dan “bela negara”. Politisi dan birokrat sekuler menggunakan isu radikalisme sebagai narasi kebangsaan. Melalui analisis berbasis kata kunci di google trends, kecenderungan perdebatan keagamaan sangat ditentukan oleh tiga kata kunci yakni “HTI”, “PKI” dan “radikalisme”.
Kata kunci “HTI” mengacu pada organisasi yang dilarang pemerintah Indonesia sejak tahun 2017, Hizbut Tahrir Indonesia. “PKI” adalah akronim Partai Komunis Indonesia. Sedangkan “radikalisme” sering dipadankan atau berhubungan dengan konservatif, fundamentalis, teroris, wahabis, cingkrang, cadar dan anti-pancasila. Sebetulnya sebelum pemilihan presiden berlangsung, kata kunci “FPI” (Front Pembela Islam) dan “aksi massa 212” cukup berpengaruh. Tapi tidak bertahan lama.
Pergeseran utama wacana keagamaan sepanjang 2019 adalah titik balik dari pertentangan antara isu agama vis a viskeadilan sosial dan HAM menjadi topik keamanan negara. Sebelumnya, isu keagamaan berhubungan dengan politik Islam dan masa depan demokrasi. Apakah Islam sesuai dengan demokrasi atau tidak. Apakah peningkatan tren perda syariah memperlihatkan bangkitnya fundamentalisme Islam menguasai politik pasca orde baru atau fenomena meningkatnya kelas menengah muslim. Termasuk apakah gejala Islamisasi urban itu merupakan bagian dari pertentangan muslim tradisionalis dan muslim modernis.
Tapi memasuki tahun 2019, perdebatan keagamaan sangat terpusat pada konteks sekuritas negara dan kontrol ideologi. Kendati hampir tidak ada lagi kekuatan militan Islam seperti gerakan Darul Islam tahun 70an dan melunaknya basis Islam militan di Jawa, ekspresi-ekspresi keagamaan masih sering dihubungkan dengan kedaruratan pertahanan nasional.
Bulan November, Presiden Joko Widodo mengemukakan wacana mengganti istilah radikalisme dengan “manipulator agama”. Istilah ini dianggap angin segar dan tanda melunaknya komunikasi politik. Kebanyakan pengamat lebih setuju penggunaan “manipulator agama” daripada radikalisme. Dadang Kahmad, Ketua PP Muhammadiyah mengatakan penggantian istilah dari radikalisme menjadi “manipulator agama” tidak bermasalah. Muhammadiyah setuju dengan perubahan istilah tersebut selama tidak lagi berkonotasi langsung terhadap agama tertentu. Kementrian Agama senada dengan Muhammadiyah yang menerima istilah “manipulator agama”. Sebaliknya, Ketua Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis mengatakan bahwa radikalisme dan “manipulator agama” merupakan dua istilah yang berbeda.
Arus Balik Negara
Isu keagamaan dalam konteks keislaman selama tahun 2019 dipegang secara masif oleh negara melalui kementrian dan lembaga negara. Menguatnya peran negara dalam memproduksi wacana keagamaan merupakan gejala awal dari bangkitnya dominasi negara atas kehidupan privat warga sipil. Meskipun ini barulah gejala, tapi dengan meningkatnya perhatian pemerintah dan birokrat terhadap “radikalisme agama” bisa dibaca sebagai kelanjutan respon atas gagalnya proyek sekularisasi (Casonva, 1994 & Turner, 2012). Negara berubah menjadi agen dominan di tengah fase transisi politik demokrasi. Apakah ini menjadi tanda bagi meredupnya otoritas agama non-negara? Belum bisa dijawab.
Arus balik negara dalam memegang kembali produksi wacana keagamaan juga dapat dibaca sebagai tren yang akan bertahan seiring dengan gagalnya demokrasi sebagai sistem politik. Kendati kebanyakan studi mengenai perebutan wacana keagamaan pasca orde baru menempatkan sangat besar peran dan fungsi kelompok sipil atas wacana keislaman, kenyataannya justru negaralah yang berubah menjadi agen dominan.
Ini membuktikan bahwa ada dekadensi besar-besaran dalam memproduksi agen-agen wacana keislaman yang baru. Runtuhnya dominasi kelas intelektual muslim dalam perdebatan wacana Islam adalah penyebab utama tampilnya negara sebagai agen baru wacana keagamaan.