Perspektif

Refleksi Hari Bumi (2): Makin Sukses Makin Banyak Emisi?

3 Mins read

Melanjutkan refleksi hari bumi sebelumnya, sepertinya kita berhadapan dengan kenyataan bahwa individu maupun negara makin sukses makin banyak emisi yang dikeluarkan.

sebagai orang Indonesia, kita patut berbangga bahwasanya dengan menyumbang 511,4 juta ton karbon dioksida ke permukaan bumi (naik sekitar 231 juta ton dibandingkan pada 2000), Indonesia menghasilkan PDB sebesar 3,55 triliun USD. Terbesar ketujuh sedunia (data PDB dari CNCB Indonesia, 30/9/2019; data emisi dari European Union, 2018 dan International Energy Agency, 2019:61–69).

Sementara negara dengan PDB kecil-kecilan seperti Komoro atau Sao Tome dan Principe hanya menghasilkan emisi yang kecil pula.

Makin Sukses, Makin Banyak Emisi

Prinsip serupa juga berlaku dalam konteks yang lebih mikro. Besarnya energi yang dikonsumsi dan emisi yang dihasilkan oleh suatu individu. Tampaknya hal ini berkaitan langsung dengan tingginya jabatan suatu individu, besarnya kekayaannya, keinginannya, kebutuhannya, jumlah gawainya, atau kendaraannya.

Pembesar dengan jam terbang tinggi dan harus sibuk dinas wira-wiri menggunakan bermacam alat transportasi. Ia memelihara koneksinya dengan menggunakan banyak gawai, dan menjaga gengsi sosialnya dengan banyak berbelanja.

Tentu hal ini membutuhkan modal energi dan finansial yang jauh lebih besar ketimbang jelata yang kebutuhannya utamanya berkutat di seputaran kesejahteraan biologis dasar. Bisa dibilang orang yang secara ekonomi makin sukses, makin banyak emisi yang dikeluarkan.

Tren demikian berlaku di tengah umat manusia sedunia, terlepas agama, ras, dan sukunya—artinya juga di tengah umat Islam, yang mengamini bahwa agamanya merupakan rahmatan lil ‘alamin.

Karenanya, tak mengherankan apabila emisi karbon dioksida dunia selalu menanjak belakangan ini. Dari di bawah 5 milyar ton pada 1900, naik menjadi 23.4 milyar ton pada 2000, dan terus naik menjadi 37 milyar ton sekarang (sumber-sumber lain menyebut 32,8, 36,8 dan 42 milyar ton).

Baca Juga  Feodalisme itu Budaya Orang-orang yang Terbelakang, Tidak Relevan untuk Kita Ikuti

Tak mengejutkan pula bila karbon dioksida yang terjebak di dalam atmosfer bumi berandil menghangatkan suhu global. Kini, rerata temperatur permukaan bumi sudah naik sekitar 0,9 derajat celcius dibandingkan akhir abad XIX.

Belenggu Irasionalitas

Terkait itu, kita harus berani mengakui bahwa sebagian manusia memang lalai, serakah, dan suka menghadiahkan kerusakan kepada alam. Soal tabiat manusia itu, bahkan malaikat sampai harus melayangkan protes atas ketetapan Tuhan (Al-Baqarah ayat 2).

Karenanya, tak mengherankan apabila ada laporan yang menyatakan bahwa kini ada jutaan spesies flora dan fauna yang terancam kesintasannya akibat keberadaan manusia (Chow, NBCNews, 6/5/2019; Flannery, 2002). Dan jangan pula kita lupa bahwa kejadian seperti kebakaran hutan di Australia di awal 2020. Itu pun diakibatkan oleh ulah manusia, yang konon merenggut 1 miliar nyawa fauna tak berdosa, bukan koruptor pula (Aoraha, The Sun, 8/1/2020; Samuel, Vox, 7/1/2020).

Perlu pula kita akui bahwasannya kendati akal manusia kian maju seiring berjalannya waktu, tidak selalu demikian halnya dengan nurani manusia, khususnya menyangkut alam. “Sejarah peradaban manusia terlalu banyak diwarnai oleh kisah keterasingan antara manusia dan alam, yang lambat laun tapi pasti berkembang menjadi antagonisme,” ujar pemikir anarkis Murray Bookchin (1982:315).

Rupanya, itu tercermin dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang berkembang dewasa ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang arogan menihilkan nilai-nilai keagamaan dan mengabaikan alam (Ravertz dalam Sardar, 1984:43).

Ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sekalipun bersendikan pada rasionalitas, ternyata tak mampu membuat masyarakat modern terbebas dari belenggu irasionalitas (berwujud nafsu dan keserakahan). Akibatnya, manusia modern tetap berbahaya bagi spesies mereka sendiri maupun makhluk lain yang berada di sekitarnya (Bookchin, 1982:316).

Baca Juga  Merdeka dan Hijrah

Tanggungjawab Terhadap Alam

Dalam kondisi semacam itu, lantaran saling terhubung oleh tali kepentingan untuk menyejahterakan diri, tampak jelas bahwa manusia (sebagai konsumen, produsen, dan negara) tengah memperkosa alam secara berjamaah.

Jadilah slogan go green, zero waste, zero emission, atau proyek-proyek penghijauan, dan tetek bengek lainnya—yang mereka kumandangkan keras-keras—tak terwujud seutuhnya. Bahkan hanya menjadi pelancar bisnis dan pemanis bibir belaka.

Memang, eskatologi yang ditawarkan oleh bermacam agama/kepercayaan di dunia hampir tak pernah absen menyebutkan kerusakan moral manusia—yang diikuti oleh kerusakan alam—sebagai pertanda kehancuran alam semesta. Artinya, kebinasaan alam semesta sekaligus penghuninya adalah keharusan kosmologis.

Tetapi ada pula anjuran yang mendorong manusia untuk lebih bertanggung jawab terhadap alamnya, sehingga dapat memperpanjang usia alam berikut peradaban manusia sendiri. Dalam Islam, misalnya, Tuhan berpesan agar manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi—sebagaimana termaktub dalam Surat Asy-Syuraa ayat 183 dan Al-Qashash ayat 77.

Konsep bal tashchit dalam ajaran Yahudi juga memerintahkan manusia untuk tidak merusak alam (menebang pohon dan membunuh binatang) secara sia-sia.

Segaris dengan itu, dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah disebutkan secara panjang lebar akhlak ideal Muslim terhadap alamnya. Di mana manusia dan alam sama-sama diciptakan Tuhan bukan dengan sia-sia dan merupakan kepemilikan-Nya (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2000:89–91).

Demikian pula dengan dokumen Akhlaq Lingkungan yang disusun oleh Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang menyarankan agar manusia senantiasa “menghadirkan” Allah dalam setiap aspek kegiatannya. Termasuk dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan.

Demikian pula, kaum pecinta lingkungan hidup di berbagai penjuru dunia. Mereka bersama negara dan rakyat pada umumnya berhasil menyelamatkan berbagai macam spesies flora dan fauna melalui pendirian suaka.

Baca Juga  Saatnya Guru Muhammadiyah Sejahtera!

Refleksi Hari Bumi

Tentu saja, anjuran agama/kepercayaan dan kaum pecinta lingkungan hidup itu harus diamalkan secara berjamaah oleh setiap elemen masyarakat. Bukan hanya oleh kaum pencinta lingkungan hidup saja.

Jangan sampai kita malah berjamaah terjebak dalam sindrom pascamukjizat, yaitu tatkala ajaran Tuhan terkait kesejahteraan alam—termasuk yang termaktub dalam Alquran, kitab yang jamak dianggap sebagai mukjizat Rasulullah—diabaikan, bahkan dilecehkan.

Akhirnya, meski musnahnya semesta alam memang keharusan kosmologis, cepat-lambatnya ditentukan oleh kita sendiri. Tanpa ada usaha untuk memperbaiki diri, bersikap lebih sederhana, adil, dan ramah terhadap alam, serta distribusi teknologi ramah lingkungan dari negara maju ke negara berkembang, tampaknya tak akan ada masa depan yang menggembirakan bagi bumi dan anak cucu kita.

Janganlah kita sekadar hidup sambil menyantap masa depan lantaran banyak sumber daya yang akan dibutuhkan oleh anak cucu kita kelak justru ramai-ramai kita habiskan sekarang. Semoga kesadaran ini menjadi bagian refleksi di hari bumi.

Editor: Nabhan

Avatar
3 posts

About author
Peminat kajian humaniora dan Muhammadiyah, juga penikmat dangdut koplo.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds