Oleh: Cak Nanto*
-Milad- Hari ini, tepat 107 tahun yang lalu, lahir organisasi Muhammadiyah. Sebuah organisasi sosial keagamaan, yang menisbahkan nama Muhammad, nabi terakhir umat Islam, sebagai nama organisasinya. Hari itu adalah 18 november 1912. Didirikan di Yogyakarta oleh Kiai Ahmad Dahlan, pemuda kelahiran Kauman Yogyakarta.
Pada saat lahir, konteks Indonesia (baca: Hindia Belanda), masih dalam tahapan penjajahan di era kolonialisme Pemerintah Belanda, sebuah negara merdeka di Benua Eropa. Ketika Indonesia merdeka, 17 agustus 1945, Kiai Ahmad Dahlan telah wafat, namun kader-kader dan organisasi Muhammadiyah tetap hadir memberi warna terhadap kemerdekaan Indonesia.
Kontribusi Muhammadiyah pra kemerdekaan hingga detik-detik Indonesia merdeka di antaranya adalah memberikan dasar pijakan nilai-nilai kebangsaan yang kokoh terhadap rumah Indonesia. Ibarat rumah, Muhammadiyah memberi fondasi bagaimana sebuah rumah perlu dirawat, dijaga, dan diisi dengan hal-hal produktf sehingga rumah ke-Indonesia-an tetap berdiri kokoh. Muhammadiyah mengikhlaskan kader-kader terbaiknya untuk ikut berjuang merebut kemerdekaan seperti Jendral Sudirman,dan Ir Soekarno. Ketika bangsa Indonesia merumuskan konsep dasar berdirinya Indonesia, berkumpullah 9 orang anak bangsa terbaik untuk menetapkan falsafah dasar negara Indonesia. Empat dari panita Sembilan itu adalah kader Muhammadiyah.
***
Nilai-nilai yang dibangun melalu pembentukan madrasah pendidikan, ceramah umum, pelatihan-pelatihan, dan forum-forum sosial politik lainnya membentuk kader-kader bangsa yang militan, dan progresif. Nilai—nilai itu adalah kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan. Dalam aspek kebangsaan, jamaah Muhammadiyah dibimbing untuk selalu mencintai republik Indonesia dengan berbagai kebinekaan yang menyertainya. Di aspek ke-Islam-an, Muhammadiyah mengajarkan bagaimana ber-Islam yang benar, berkemajuan, Islam yang membebaskan keterbelakangan sehingga terwujud masyarakat Islam yang maju, berdaulat, berwawasan terbuka. Sedangkan di aspek kemanusiaan, muhammadiyah mewarisi sikap untuk menumbuhkan sifat tolong-menolong, (baca:taawun), tanpa melihat latar belakang siapa yang ditolong. Maka lahirlah Penolong Kesengsaraan Oemum (baca; PKU), Lembaga tata kelola bencana, pendirian panti asuhan, dan seterusnya.
Setelah 107 tahun Muhammadiyah berdiri, persoalan yang dihadapi oleh Muhammadiyah dan bangsa Indonesia masih saja mengemuka dan bahkan makin kompleks. Di antara persoalan yang muncul adalah adanya realitas polarisasi kebangsaan. Polarisasi kebangsaan sebenarnya banyak terjadi akibat adanya penetrasi politik yang berlebihan. Penetrasi politik memanfaatkan fakta-fakta keanekaragaman identitas yang ada di Indonesia. Inilah anomali pasca kemerdekaan. Dahulu, pendiri negara, termasuk Muhammadiyah, memanfaatkan keanekaragaman agama, suku, dan identitas lainnya sebagai bahan baku persatuan dan rasa solidaritas perlawanan terhadap imperialisme, namun saat ini terdapat sekolompok orang yang justru memanfaatkan kebinekaan untuk dibelah sebagai basis dukungan politik. Dampaknya adalah terjadi ketegangan sosial, bahkan sampai pada level kekerasan sosial.
Muhammadiyah memandang, hal ini harus diakhiri. Politik harus diisi oleh ruang moderasi sosial dan politik. Artinya keanekaragaman tidak untuk digunakan sebagai alat pemecahbelah persatuan, namun justru dijadikan modal sosial yang kuat. Itulah yang membuat Indonesia sebagai sebuah negara besar di dunia, dengan kebinekaan yang mengikutinya. Diperlukan sikap negarawan, dengan mengedepankan kepentingan nasional ketimbang urusan pribadi, atau kelompok tertentu saja. Jangan korbankan kesatuan bangsa yang telah kokoh didirikan oleh para pendiri negara hanya mementingkan urusan recehan.
Milad Muhammadiyah
Tantangan lain yang dihadapi oleh Muhammadiyah, dan juga Indonesia adalah bagaimana menghadapi industri 4:0. Kita dimana-mana telah dihadapkan oleh tahapan industri 4:0, namun sejatinya bangsa kita belum terlalu siap menghadapi tantangan tersebut. Industri nasional kita masih belum terbangun dengan kuat. Konsep industri nasional kita juga masih rapuh, namun bangsa kita dituntut untuk menghadapi industru 4:0. Kesenjangan ekonomi dan sosial juga masih menjadi persoalan bangsa. Kemiskinan dan pengangguran masih menjadi momok bagi bangsa yang bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ke-Lima Pancasila itu masih belum kuat membumi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Itulah tantangan yang harus dijawab oleh Muhammadiyah, dalam merefleksikan 107 tahun kelahirannya.
Selamat Milad Muhammadiyah. Negara Indonesia berhutang banyak pada Muhammadiyah. Banyak kontribusi bersejarah dan monumental yang telah dilahirkan dari Rahim Muhammadiyah. Namun segala prestasi itu tak harus membuat Muhammadiyah Jumawa. Apa hal kebaikan yang pernah dikerjakan, perlu direproduksi kembali, khususnya untuk menjawab berbagai persoalan yang kini mengada dalam kehidupan kekinian. Semoga pada momen milad ini, Muhammadiyah semakin jaya dan berkemajuan.
*Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah