Sebenarnya ada banyak kisah menarik yang dialami santri saat sedang menempuh pendidikan agama. Ini sebagaimana Prof. Quraish Shihab, Habiburrahman El Shirazy dan Faried Saenong yang menceritakan kisahnya. “Saya merasa mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam hal-hal kecil di pesantren,” ujar Quraish Shihab mengutarakan kesannya selama nyantri di Ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyyah, Malang.
Menurutnya, berbagi makanan menjadi hal biasa yang dilakukan santri. Dari sini kita tahu bahwa kita hidup didunia tidak sendirian, melainkan beragam (bersosial). Sebab, keinginan antarsatu dengan yang lain sudah pasti berbeda. Bahkan, kata Quraish Shihab, “selama saya nyantri di Malang sekitar dua tahun, apa yang saya peroleh di pesantren sana, lebih berharga dan bernilai dari belasan tahun saya belajar di Al-Azhar (Mesir).”
Kenapa lebih berharga, lanjut Quraish Shihab, “karena saya merasa bahwa kiai saya itu Habib Abdul Qadir bin Ahmad sangat memperhatikan santri-santrinya, tidak membeda-bedakan walaupun beliau sangat sadar bahwa santri-santri itu mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Beliau (Habib Abdul Qadir) sangat tulus, dan saya rasa ini rahasia dari suksesnya kiai-kiai dan santri-santri, hubungan yang sangat akrab dengan kiainya, sehingga sampai sekarang diusia saya ini hubungan itu masih tetap ada (erat).”
Jauh dari keluarga, menjadikan santri harus rela menahan rindu selama menempuh pendidikan. “Saya satu bulan itu (di pesantren) setiap sore menangis,” kata Habiburrahman El Shirazy. Tak hanya itu, ternyata mereka juga tak luput dari penyakit kulit yang sering diderita santri. “Penyakit khas santri ada di mana-mana, mau yang pesantren modern atau klasik. Saya pernah mengalami itu.” Imbuhnya.
Setidaknya, meski santri terkesan dan dipandang kumuh karena penyakit gudiknya, akan tetapi tak sedikit juga dari santri yang berprestasi membangun negeri. Ada yang menjadi Presiden, Menteri, Personel Group Band, hingga Penulis Buku. Seperti yang terjadi pada novelis sekaligus sutradara Habiburrahman El Shirazy dan dosen sekaligus peneliti Faried Saenong. Mereka bisa berkarya dengan apa yang ia punya berkat doa dan barakah kiainya.
Itu sebabnya, tak sedikit juga dari sebagian orang yang dulu tidak mau mondok bahkan menolaknya, sekarang jatuh menyesal mendengar kenang cerita bahkan kesuksesan mereka. Bahwa, betapa kehidupan sebenarnya sangatlah membutuhkan ilmu yang mungkin hanya bisa didapat di pondok (sekalipun di luar ada, namun di pesantren lebih asyik).
Berbeda dengan Faried Saenong yang menceritakan bahwa “apa yang kita pelajari di dalam pesantren khususnya di ushul fiqh betul-betul bisa membuat kita fleksibel dimana saja kita hidup.” Kesannya, secara tidak langsung, beliau mengharuskan para santri-santri mempelajari betul ilmu-ilmu fiqh dan ushul fiqh. Sebab, dengan fiqh dan ushul fiqh kita bisa mengerti tentang satu hukum dan menyasar ke hukum-hukum mazhab yang lain.
Kemampuan yang Harus Dimiliki Seiring Berkembangnya Zaman
Habiburrahman El Shirazy mengatakan bahwa ada dua kemampuan yang harus dimiliki santri. Pertama tsawabit (tetap), yaitu santri dalam kondisi apapun harus bisa membaca kitab kuning, karena inilah yang utama. Ringkasnya, santri harus menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Syaikh Yahya Syarafuddin al-Imrithi (ulama abad ke-16 dan penyusun Nadhom Imrithi) mengatakan:
وَالنَّحْوُ اَوْلَى اَوّلاً اَنْ يُـعْلَمَا اِذِ اْلكَـــــلاَمُ دُوْنَـــــهُ لَنْ يُــــــفْهَمَا
Artinya: “Dan nahwu itu lebih baik untuk dipelajari pertama kali, karena kalam tanpa nahwu itu tidak dipahami.”
Kedua mutaghayyirat (penyesuaian), santri harus melek digital dan teknologi. Dalam hal ini, para santri tidak hanya menyampaikan ilmunya lewat mimbar ke mimbar, melainkan juga harus lewat digital.
Termasuk yang harus dimiliki santri adalah percaya diri. Quraish Shihab mengatakan bahwa, percaya diri lahir dari pengetahuan dan kemampuan berbicara (bahasa Arab dan Inggris). Sekalipun percaya diri, akan tetapi santri harus hormat dan sopan terhadap gurunya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh az-Zarnuji dalam salah satu karyanya, Ta’limul Muta’allim fi Thariqit Ta’allum, bahwa seorang pelajar tidak pernah mendapatkan ilmu jika tidak memuliakan ilmu dan orang yang berilmu. Bagaimanapun, memuliakan dan menghormati guru memiliki peran penting di balik kesuksesan santri.
اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيْمِ الْأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ. قِيْلَ مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ اِلَّا بِالْحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ اِلاَّ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seorang pelajar tidak akan bisa mendapatkan ilmu dan manfaat ilmu kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya. Dikatakan, tidak sukses orang yang telah sukses kecuali dengan hormat, dan tidak gagal orang yang gagal kecuali disebabkan tidak hormat.” (Imam az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim fi Thariqit Ta’allum, [Daru Ibn Katsir: 2014], halaman 55).
Hemat penulis, hal seperti inilah yang harusnya direnungkan di era saat ini di mana dunia digital maju, dan saat di mana seorang pelajar tidak mengindahkan penghormatan kepada guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit yang berani melawan kepada gurunya sehingga ia kesulitan untuk mendapatkan ilmu.
Santri Menyikapi Problem Kebangsaan
Faried Saenong mengatakan, bahwa pesantren selalu mengajarkan para santri agar menjadi muslim yang otentik sekaligus menjadi orang Indonesia yang otentik. Jika keduanya sudah mendarah-daging, maka mustahil para santri setelah menjadi alumni akan terpengaruh dengan anti kenegaraan misalnya.
Konflik mengatasnamakan agama sering kali terjadi. Di sinilah peran santri diperlukan untuk meredam kesalahpahaman bahkan potensi perpecahan yang melanda negeri. Quraish Shihab mengambil contoh beberapa pahlawan Indonesia yang berlatar belakang sebagai santri. Misalnya ada Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman dan Imam Bonjol. Ini menandakan bahwa santri masa kini juga bisa berperan menjaga perdamaian bangsa.
Sederhananya, cinta tanah air sebagian dari iman. Dikatakan sebagian dari iman karena, tanah air adalah sarana primer untuk melaksanakan perintah agama. Tanpa tanah air, seseorang akan menjadi tunawisma. Tanpa tanah air, agama seseorang kurang sempurna, dan tanpa tanah air pula, seseorang akan menjadi terhina.
Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi dalam tafsirnya Ruhul Bayan mengatakan:
وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ ……. قَالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ
Artinya: “Di dalam tafsirnya ayat (QS. Al-Qashash: 85) terdapat suatu petunjuk atau isyarat bahwa “cinta tanah air sebagian dari iman”. Rasulullah Saw (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air”. Kemudian Allah Swt mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)….. Sahabat Umar berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri.” (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Beirut, Dar Al-Fikr, Juz 6, hal. 441-442).
Lebih dari itu, bahwa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa hukumnya adalah wajib. Sebagaimana Kiai Muhammad Said dalam kitab Ad-Difa’ani Al-Wathan min Ahammi al-Wajibati ala Kulli Wahidin Minna’ menjelaskan bahwa, umat Islam wajib menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini juga sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw adalah memupuk persaudaraan dan persatuan di kalangan Muhajirin; antara kalangan Muhajirin dan Anshar, serta mengakomodasi kepentingan umat Islam, umat Yahudi, dan orang-orang Musyrik. Wallahu a’lam bishawab.
Selamat Hari Santri Nasional 2023
Editor: Soleh