Hari ini, 22 Oktober menjadi hari bersejarah bagi santri Indonesia. Tahun 1945 silam, 22 Oktober menjadi hari di mana para santri saat itu menghimpun satu kekuatan yang dikenal dengan nama Resolusi Jihad sebagai bentuk perlawanan kepada penjajahan. Bagi kalangan pesantren, penjajahan bukanlah sekadar musuh kemerdekaan, namun sekaligus musuh nyata yang mengancam martabat agama. Hal ini bisa menjadi bahan refleksi Hari Santri Nasional.
Perjalanan panjang ketika masih menjadi santri merupakan rangkaian petualangan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dari rahim pesantren inilah, berbagai macam manusia unggul itu dilahirkan. Refleksi Hari Santri Nasional bisa kita mulai dari titik ini.
Pesantren = Pendidikan Kuno?
Ketika membicarakan tentang dunia kepesantrenan, mayoritas masyarakat mengasosiasikan dengan sistem pendidikan kuno yang masih mengadopsi cara pembelajaran yang bersifat tradisional. Sejak dulu dunia pesantren sering mengalami pasang surut, hal ini dibuktikan dengan jumlah santri yang memilih belajar dalam pondok pesantren.
Namun, di era modern seperti sekarang ini muncul kabar yang menggembirakan datang dari dunia pesantren, di mana tingkat kepercayaan orang tua untuk menitipkan anaknya ke pondok pesantren mengalami lonjakan cukup signifikan. Hal ini dilatar belakangi oleh pengakuan publik terhadap kualitas jebolan pesantren yang kerap menorehkan prestasi di mata publik. Di lain sisi, kemunculan tokoh-tokoh nasional yang memiliki latar belakang pesantren semakin meningkatkan kepercayaan publik terhadap model pembelajaran pesantren, sehingga naluri masyarakat tergiring untuk kembali melirik model pembelajaran seperti ini.
Tak berlebihan rasanya jika menyebut pondok pesantren sebagai salah satu penopang pilar utama terbentuknya negara Indonesia. Dalam catatan sejarah, kalangan santri menunjukan kesigapan dalam mempertahankan kemerdekaan sambil menguatkan spiritualitas masyarakat untuk mementahkan misi penjajahan yang salah satunya menjauhkan masyarakat dari agama Islam. Lahirnya ribuan pondok pesantren telah menunjukkan fenomena bahwa ribuan atau bahkan jutaan orang Indonesia pernah merasakan pola pembelajaran pesantren.
Lantas, bagaimana peran jebolan pesantren pada saat ini? Dan bagaimana tolak ukur keberhasilannya? Seperti apa refleksi hari santri yang bisa kita dapatkan di tahun ini?
Kiprah Jebolan Pesantren
Selain sebagai media dalam belajar agama, dalam konteks sosial-keagamaan pesantren memiliki fungsi yang signifikan dibandingkan dengan pendidikan non-pesantren. Karena memiliki tugas dalam mengontrol perilaku kebudayaan yang berkembang dimasyarakat, para santri dibekali muatan lokal agar mampu menunjukkan action di lingkungan masyarakat. Pelajaran model demikian kerap kita jumpai di bulan Ramadan, ketika para santri ditugaskan untuk melancong sampai ke pelosok negeri atau bahkan sampai ke luar negeri untuk mengisi kegiatan Ramadan di sana.
Tentu saja ini bukan perkara mudah bagi manusia yang masih berusia remaja, akan tetapi efek yang dihasilkan akan sangat berarti. Ketika di lingkungan sekitarnya terdapat sesuatu yang tidak beres, mereka lebih paham cara untuk meluruskan masalah berdasarkan kultur masyarakat di sana, sehingga suasana tenggang rasa masih terpelihara. Kiprah jebolan pesantren dalam bidang ini telah dikenal di penjuru negeri.
Secara turun-temurun masyarakat menaruh kepercayaan pada kaum santri sebagai objek vital dalam mengawal kemaslahatan umat. Hal ini dibuktikan dengan dukungan masyarakat pada saat itu terhadap Resolusi Jihad yang digaungkan Kiai Hasyim Asy’ari dari golongan santri untuk melawan segala bentuk penjajahan. Ditambah lagi dengan membludaknya para jamaah majelis ilmu yang diisi oleh jebolan pesantren.
Tak bisa dipungkiri, telah banyak kiprah jebolan pesantren yang dirsasakan masyarakat luas. Beberapa bukti tadi sejalan lurus dengan fungsi mereka dalam mengawal masyarakat dalam meraih kemaslahatan.
Peran dalam Perkuliahan
Adaptasi dengan lingkungan kampus setelah sekian lama dibesarkan dalam lingkungan pondok pesantren bukanlah perkara yang mudah. Perbedaan kebudayaan dirasakan sangat nyata dari sebelum-sebelumnya. Sebut saja perilaku penghormatan kepada guru, dalam pesantren sosok kiai diberikan penghormatan yang luar biasa. Berbanding terbalik dengan dunia kampus, dosen dianggap sebagai orang biasa bahkan boleh saja pendapatnya ditolak mentah-mentah, belum lagi tradisi cium tangan yang dianggap sebagai hal yang tabu di dunia akademik non-pesantren.
Tentu saja ini menjadi tantangan berat bagi santri yang masih memegang erat tradisi pesantren. Akan tetapi, lama-kelamaan para jebolan pesantren ini mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar, memilih untuk menikmatinya dan larut dalam kebudayaan baru yang awalnya dianggap asing.
Setelah bergulat dengan pemasalahan adaptasi, lantas mereka mengatur dirinya untuk aktif dalam ranah kampus. Dalam hal ini, pikiran mereka terbesit oleh pertanyaan bagaimana cara mengamalkan pelajaran kepemimpinan yang sudah banyak ia dapatkan ketika di pesantren. Akhirnya, mereka memilih jalan untuk bereksplorasi dalam dunia organisasi karena terjerat oleh perasaan sia-sia apabila bekal ilmunya tak segera diamalkan.
Mungkin bagi mereka, aktif berorganisasi bukanlah perkara yang sulit, karena semenjak di pesantren mereka telah dibekali cara mengelola organisasi. Tempaan disiplin ilmu yang selama ini melekat bertahun-tahun memudahkan mereka dalam mengeluarkan gagasan kreatif yang membawa angin segar bagi organisasi. Akibatnya, banyak di antara mereka yang menempati posisi sentral dalam struktur kepengurusan organisasi di kampus.
Namun, tidak semua alumni pesantren memilih alur untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktivis. Ada yang merasa ilmu agamanya masih kurang, sehingga memilih aktif dalam majelis ilmu diluar kampus atau ada juga yang masih dalam masa pengabdian di pondok sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk mengurus pondok.
Tolak Ukur Keberhasilan Masa Kini
Sebagai basis dalam pendidikan agama dan media dakwah kepada masyarakat, dahulu masyarakat melihat tolak ukur keberhasilan santri dari segi kemampuan menguasai kitab kuning, memimpin tahlil, dan menjadi penceramah di masjid-masjid. Dalam lingkup pesantren, santri memiliki tugas menjembatani apa yang telah disampaikan kiai kepada masyarakat. Pada waktu itu, masyarakat menunggu siraman spiritual dan jawaban atas persoalan agama yang dibawakan oleh santri setelah belajar dari pondok pesantren.
Karena pada saat itu masyarakat belum mengenal teknologi dan informasi, pola pikir masyarakat cenderung homogen dan tidak “aneh-aneh”, sehingga pertanyaan yang dilontarkannya pun juga tidak aneh-aneh. Masyarakat awam pada saat itu hanya membutuhkan keterangan seputar dasar-dasar ibadah, bagaimana cara sholat yang benar, kapan harus membayar zakat, serta bagaimana cara dzikir yang benar dan masih banyak lagi pertanyaan dasar yang dilontarkan masyarakat pada saat itu.
Lambat laun, masayarakat mulai menikmati arus globalisasi yang datangnya semakin deras tak terbendung. Pola pikir masyarakat berubah total, yang awalnya sederhana menjadi lebih luas berkat kehadiran sosial media. Setiap harinya masyarakat tak bisa dilepaskan dari teknologi yang menyajikan berbagai informasi yang selalu berubah-ubah sehingga tak jarang memunculkan kebingungan.
Beberapa kasus kontroversi yang menyangkut Islam dan politik yang seringkali terekspos membuat banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Alhasil, masyarakat datang dengan beragam pertanyaan mengenai cara pandang Islam terhadap politik, demokrasi, dan lain sebagainya. Tentu saja, hal ini tak cukup diselesaikan hanya dengan cara membuka kitab kuning saja. Berdasarkan problematika kontemporer yang dihadapi masyarakat, jebolan pesantren harus mampu menjadi pengawal umat dengan cara memberikan jawaban atas persoalan umat Islam di masa kini. Semoga uraian ini bisa menjadi refleksi di Hari Santri Nasional tahun 2020 ini.
Editor: Nabhan