Wali adalah salah satu dari sekian banyak konsep di dalam Islam. Mereka adalah orang-orang yang dekat kepada Allah dan merupakan orang yang dikasihi oleh Allah. Para wali memiliki keistimewaan yang tidak Allah berikan pada ulama-ulama selainnya. Misalnya adalah melihat kebenaran syariat Muhammad dari tinjauan yang tidak diketahui oleh ulama-ulama zahir. Dalam hal ini, ibn Arabi berkata: “Para Fuqoha’ dan ulama hadits mengambil ilmunya dari satu mayit ke mayit yang lain.”
Keilmuan orang-orang yang hidup pada masa terakhir ini tak lebih dari persangkaan. Hadis yang diriwayatkan secara mutawatir tidak selamanya berupa hadist shahih. Terkadang ada hadis lain yang membatalkan (nasih) keberlakuan hadis mutawatir. Namun, hanya karena tidak sampai kepada mereka hadis tersebut akhirnya tidak dianggap. Ini berbeda dengan para wali yang mengambil hadis secara langsung dari Rasulullah melalui mukasyafah.
Para wali mampu menakluk jiwa dan nafsu mereka semata-mata untuk Allah. Atas keberhasilan itu, Allah menjadi penolong dan penjaga bagi mereka. Itu artinya wali seorang yang sangat dekat dengan Allah.
Kewalian di Masa Kini
Pemaknaan kedekatan diri dengan Allah, kekasih Allah, atau kewalian sebagaimana digambaran oleh para sufi, telah membawa dampak negatif dalam peradaban Islam. Kondisi umat Islam semakin terpuruk lantaran mereka hanya menyandarkan diri pada para wali, menganggap mereka sebagai wakil Tuhan, sehingga tidak lagi memerlukan logika dan usaha. Ilmu pengetahuan tidak dianggap lagi saat karomah para wali dianggap mampu menjawab segala kebutuhan. Ini tentu menjadi masalah.
Misalnya, melalui karomah, seorang mampu merubah perak menjadi emas, satu benda menjadi benda lainnya, menyembuhkan orang sakit, sehigga ilmu kimia, kedokteran, dan keilmuan lainnya dianggap tidak lagi diperlukan.
Dalam hal ini, untuk melegitimasi kebenaran karomah para wali, para sufi lantas melakukan pengingkaran terhadap kausalitas dan penggunaan akal manusia. Hanya dengan menganggap hubungan “sebab-akibat” sebatas kebetulan dan bukan ketentuan (kepastian) alam (hukum alam), merubah perak menjadi emas, kayu menjadi besi, dapat dibenarkan. Secara tidak lagsung teorisasi karomah semacam itu telah mematikan perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.
Di saat kepercayaan terhadap kausalitas sudah terkikis habis, secara otomatis ilmu pengetahuan tidak memiliki legitimasi lagi. Padahal ilmu pengetahuan hanya bisa dibangun atas dasar kepercayaan terhadap kasualitas (hukum alam). Tanpa adanya kepercayaan terhadap kausalitas, penggunaan akal dan uji coba tidak mungkin dilakukan. Inilah yang menyebabkan ilmu pengetahuan yang dulunya berkembang luas dalam peradaban Islam, akhirnya mengalami kemandegan.
Di samping telah mematikan perkembangan ilmu pengetahuan, teori kewalian juga ikut mengakibatkan umat Islam tidak lagi memperdulikan realitas sosial. Di saat kedekatan diri dengan Allah, hanya bisa dicapai melalui maqamat dalam tasawuf, secara otomatis seseorang yang ingin menjadi kekasih Allah (wali Allah) harus melaksanakan segala tuntutan yang ada dalam maqamat. Ketika pemaknaan para sufi terhadap maqamat sangat menjauh dari realitas sosial, maka seorang yang menjalankannya akan terjauh pula dari realitas sosial, tidak lagi memperhatikan persoalan di dalamnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa seseorang dinamakan sebagai wali adalah kesenantiasaannya melakukan ketaatan kepada Allah hingga dirinya dekat dengan-Nya dan menjadi kekasih-Nya. Wali adalah seorang yang beriman kepada Allah dan mencintai-Nya, membenci apa yang dibenci-Nya, rela atas apa yang Dia relakan, mencegah diri dari apa yang Dia cegah.
Reinterpretasi Arti Kewalian
Apabila demikian, wali adalah seorang yang bersedia melaksanakan amal perbuatan yang paling disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan amal perbuatan yang paling disukai oleh Allah dan Rasul-Nya adalah yang paling dibutuhkan dalam konteks tertentu. Di saat pada masa Nabi eksistensi umat Islam sedang terancam oleh kafir Quraisy. Maka, amal perbuatan yang paling bisa disukai oleh Allah dan rasulnya adalah jihad di jalan Allah. Di saat kondisi umat Islam sedang dalam keadaan kelaparan, maka sedekah adalah amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Di saat kondisi umat Islam sedang tenang, tidak ada ancaman dari dalam maupun luar, maka amal perbuatan yang paling disukai oleh Allah dan RasulNya adalah shalat, haji, sejenisnya.
Di saat kondisi umat Islam sekarang dalam keadaan tertindas dan tereksploitasi secara ekonomi maupun politik. Tentunya amal perbuatan yang paling disukai oleh Allah dan Rasul-Nya adalah perlawanan terhadap penindasan dan perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial. Bahwa seorang yang ingin mendapatkan posisi paling dekat dengan Allah, menjadi kekasih Allah atau wali Allah adalah mereka yang bersedia memerangi penindasan, kezaliman, dan menegakkan keadilan.
Wali Allah adalah seseorang yang melaksanakan perintah Allah secara total, mengimani keseluruhan ayat-ayat-Nya. Dengan demikian, orang yang munafik yang menampakkan keislaman, mengucapkan syahadat namun batinnya tidak demikian, tidak bisa dianggap sebagai kekasih Allah. Seseorang yang sudah menyadari adanya penindasan dan ketidakadilan. Namun, ia tidak melakukan perlawanan terhadapnya dan malah membiarkannya terus lestari dalam kehidupan masyarakat, sama halnya dengan seorang munafik.
Seseorang yang hanya rajin melakukan shalat, puasa dan ritual ibadah semisalnya. Namun, tidak melakukan perlawanan terhadap penindasan dan berusaha menegakkan keadilan, bisa dianggap sebagai seorang munafik. Sebab ia tidak bersedia melakukan amal perbuatan paling sulit dalam agama. Hal inilah yang menunjukkan keimanan yang sesungguhnya karena itu merupakan bukti pengorbanan dirinya kepada Allah.
Wallahu a’lam.