Perspektif

Remaja di Barat Alami Krisis Identitas, Apa Penyebabnya?

4 Mins read

Fenomena kenalakan remaja banyak kita dengarkan beritanya di media. Berita pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang remaja yang berumur belasan tahun, pembegalan, pembunuhan, minum-minuman keras, tawuran, bunuh diri, dan sederet tindakan negatif lainnya kerap kita temui dilakukan oleh orang yang dianggap ‘remaja’.

Siapakah Remaja?

Nur Fajri Nadifatil dalam penyampaiannya saat workshop Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor (20/11/2020) tentang Problem Konsep Remaja: Sebuah Tinjauan dari Perspektif Islam, berpandangan bahwa istilah remaja muncul pascarevolusi industri.

Menurut Nadifatil, remaja dikenal dengan istilah Adolescence dan Teenager. Adolescent yang diambil dari bahasa Latin adolescere memiliki makna bertumbuh, menuju kematangan, pubertas, dan transisi. Sedangkan Teenager diambil dari dua suku kata yaitu Teen (belasan) dan Age (tahun). Jadi Teenager adalah orang yang sedang berumur belasan tahun. Umurnya berkisaran 10-19 tahunan.

Di usia remaja ini, ada beberapa perubahan yang terjadi pada tubuh mereka. Badan menjadi lebih tinggi, suara semakin membesar. Tentu karena mereka sedang dalam masa pubertas juga. Selain itu, mereka juga akan lebih suka untuk membuat komunitas kecil (peer group) sebagai saluran untuk menunjukkan eksistensinya kepada realitas di luar dirinya.

Dalam aspek kognitif, mereka sudah bisa melakukan penalaran abstraksi dan logis terhadap suatu fenomena konkret yang terjadi di sekitar dirinya. Hal ini berbanding diametral dengan fase anak-anak yang selalu membutuhkan contoh untuk memahami sesuatu.

Nadifatil menambahkan bahwa konsepsi mengenai remaja ini bukanlah tanpa cacat. Sebagai sebuah istilah yang muncul dari sejarah peradaban Barat, masa remaja diidentikkan dengan kebingungan identitas.

Implikasi dari Krisis Identitas

Erick Homburger Erikson dalam Identity Youth and Crisis menyatakan “thus we have learned to ascribe a normative ‘identity crisis’ to the age of adolescence and young adulthood”. Pengidentikan seorang remaja kepada fase di mana mereka sedang dalam krisis identitas ini akan berimplikasi kepada banyak hal.

Baca Juga  Francis Fukuyama Bicara Masalah Politik Identitas

Salah satunya adalah dalam menilai kebenaran sikap. Ketika seorang remaja melakukan kriminal, mereka tidak akan dihukum, melainkan hanya diberi peringatan. Penafian sanksi ini berangkat dari konsepsi bahwa mereka sedang mencari jati diri, sehingga tidak layak untuk diberikan sanksi hukuman.

Kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, kapan mereka disebut dewasa? Dalam peradaban Barat, seseorang bisa dikatakan dewasa adalah ketika ia telah bisa hidup mandiri dari orang tua mereka. Jadi, remaja adalah fase perkembangan untuk bisa berada pada posisi tersebut, yakni mandiri dari orang tua.

Di Barat sendiri, fase remaja ini kemudian diperpanjang tidak hanya dari umur 12-19 tahunan, melainkan hingga umur 24-25 tahun. Di umur 20-an awal ini disebut dengan fase early adulthood. Selama umur 19 tahun hingga 24 tahun, mereka mengalami fase peralihan dari remaja menuju dewasa.

Perpanjangan fase remaja ini tidak lain dikarenakan sandaran ukuran dewasa adalah budaya, di mana budaya itu selalu berubah. Bisa jadi, di masa yang akan datang, masa remaja semakin panjang jika budaya di lingkungannya meniscayakan hal tersebut.

Krisis Identitas, Ketidaksiapan Menjadi Dewasa

Elizabeth Hurlock dalam Child Development menyatakan bahwa masa remaja yang panjang ini mengakibatkan beberapa problem. Di antaranya adalah identitas yang masih selalu dicari, krisis dan kebingungan, hingga ketidaksiapan untuk menjadi dewasa.

Sebagaimana disebutkan diawal, bahwa istilah remaja baru muncul setelah revolusi industri. Akibat dari industrialisasi, mengakibatkan ikatan keluarga menjadi longgar. Antara ayah, ibu, dan anak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Waktu untuk berkomunikasi antarkeluarga menjadi minim.

Hal ini  berimplikasi terhadap kurangnya sentuhan orang tua kepada para anak. Anak kemudian mencari identitas mereka secara mandiri, yang biasanya pencarian ini disalurkan kepada hal-hal yang sifatnya materialistis.

Baca Juga  Suleymanli & Gulen, Wajah Komunitas Muslim yang Akomodatif dengan Nilai Barat

Apa yang terjadi dengan masyarakat Barat ini digambarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai Gap Generation. Yakni, generasi yang sedang mengalami krisis identitas dalam mencari makna diri dan kehidupannya. Al-Attas menuliskan dalam karyanya Risalah Kaum Muslimin.

“Terdapat pada umumnya dalam bentuk dan sikap masyarakat, Barat yang kini menjelma ini, pembagian kepada tiga golongan tertentu yang telah mewarisi semangat masyarakat yang lampau, yaitu golongan belia, golongan setengah umur, dan golongan tua; dan golongan-golongan ini masing-masing menandakan ruang perpisahan di antara tiap satu keturunan sehingga menimbulkan masalah peristiwa yang digelar Generation Gap”.

Al-Attas memaksudkan bahwa terjadi krisis generasi di Barat. Golongan tua tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi generasi setengah umur (remaja/dewasa). Mereka kemudian mencari makna hidup dan nilai-nilai dari lingkungan pertemanannya sendiri.

Generasi anak-anak yang dalam fase pertumbuhan juga menjadi putus asa ketika melihat generasi  setengah umur tidak jua memberikan contoh yang baik bagi mereka. Sehingga, ada lingkaran setan yang tidak berkesudahan antara tiga generasi ini dalam memaknai hidup, karena kosongnya pewarisan nilai dari yang tua kepada yang muda.

Bagaimana Islam Memaknai Remaja?

Bagaimana dengan Islam? Islam sebagai agama yang paripurna telah membuktikan dalam sejarahnya bahwa pemuda tidak selalu diidentikkan dengan kebingungan identitas. Dari segi bahasa, pemuda dipanggil dengan syabab yang bermakna tumbuh dan berkembang, aktif, giat, dan rajin.

Ada juga kata lain, yakni fata. Kata fata identik dengan tahapan dari perkembangan fisik, puncak dari pemaksimalan potensi manusia, baik berupa fisik dan akal (Lihat Ahmad Amin, Sha’likah wa Fatawah fil Islam, hal. 26). Imam Syafii dalam syi’ir-syi’irnya sering kali mengaitkan karakter pemuda dengan ilmu dan ketaqwaan.

Baca Juga  Masa Renaisans & Masa Pencerahan: Tak Hanya Soal Kebebasan Eropa

Salah satu syi’ir yang terkenal adalah “Demi Allah, kehidupan seorang pemuda hanya dengan ilmu dan ketaqwaan, jika tidak ada keduanya makan tunggulah kehancuran di dalamnya.” Ada juga syi’ir lain yang berbunyi “Barang siapa yang tidak belajar pada masa mudanya, maka takbirkanlah empat kali takbir sebagai tanda kewafatannya.”

Seseorang dianggap telah mendapatkan beban dan tanggung jawab (taklif) ketika ia sudah masuk pada fase balig. Fase ini adalah kelanjutan dari fase as-shoby (anak kecil) dan fase di mana ia mampu membedakan sesuatu (mumayyiz).

Pada fase balig ini, seseorang sudah bisa memaksimalkan potensi akalnya untuk mengetahui suatu hakikat. Jika fase anak kecil masih mengandalkan panca inderanya untuk mengetahui, maka fase balig ini ia sudah bisa mengabstraksi sesuatu. Seseorang yang sudah dianggap baligh sudah wajib menjalankan segala perintah dan larangan dalam Islam.

Editor: Lely N

Muhammad Kholid
2 posts

About author
Guru di Pesantren At-Taqwa Depok
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds