Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar sepanjang sejarah peradaban kehidupan manusia. Al-Qur’an pula merupakan mukjizat ma’nawi dan kekal abadi sepanjang masa hingga akhir zaman. Oleh karenanya, al-Qur’an tidak hanya bisa dilihat/diamati dari satu aspek keunikan saja, akan tetapi ia selalu bersifat multidimensi. Karenanya, salah satu kemukjizatannya yang utama dan pertama di dalam al-Qur’an adalah mukjizat dari segi bahasa, lebih lagi ketika turunnya al-Qur’an di masa itu bangsa Arab lebih di dominasi dengan lingkungan komunitas yang dimana puisi dan sastra merupakan bidang keahliannya.
Maka, untuk menundukan bangsa Arab, Allah menurunkan al-Qur’an yang mempunyai mukjizat dalam bentuk teks bahasa dengan susunan dan ritme yang sangat indah serta menakjubkan. Kemudian salah satu bentuk dari mukjizat bahasa tersebut adalah dengan mengulang-mengulang (repetisi) redaksi ayat-ayat atau kisah tertentu, sehingga banyak di jumpai di dalam al-Qur’an ayat-ayat yang beredaksi mirip bahkan banyak juga pengulangan redaksi yang sama. Fenomena ini merupakan realitas menarik yang tidak dapat dihindari oleh para ulama maupun mufassir. Berikut penjelasannya.
Pengertian al-Tikrar (Repetisi)
Secara bahasa Takrar atau Takrir merupakan masdar dari Fi’il Madli; Karrara bermakna Raddada dan a’ada. Sedang menurut Ibn Manzur Takarar adalah I’adat al-Syai’i miraran (mengulangi sesuatu secara terus menerus). Beda halnya menurut para bulaghah (para ulama Balaghah) menurut mereka Takrar; dalalat al-Lafdzi ‘ala al-Ma’na muraddadan (kata yang menunjukan makna karena adanya repetisi). Sebagaimana contoh dalam sebuah ayat Kalla Sawfata’lamun summa kalla sawfa ta’lamun. Kedua ayat tersebut menunjukan ayat yang kedua berfungsi sebagai penegas (ta’kid) dan untuk menakut-nakuti atau mencegah.
Sedangkan di dalam al-Qur’an fenomena tersebut sudah menjadi lumrah adanya, bahkan merupakan fenomena tersebut sudah banyak di lirik sejal lama dan telah banyak para ulama al-Qur’an membukukan dengan tema khusus dan di masukan di dalam sub tema karyanya. Seperti Al-Karmani dengan Asrar al-Takrar fi al-Qur’an, Al-Iskafi dengan Durrat al-Tanzil wa Gurrat al-Ta’wil; fi Bayan al-Ayat al-Mutasyabihat fi kitabillah al-‘Aziz, maupun al-Zarkasyi di dalam sub tema ‘Ulum al-Qur’an dan Ibnu Qutaibah dalam sub tema kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an dengan judul Bab Takrar wa al-Kalam wa Ziyadah.
Perdebatan Para Ulama
Meskipun demikian, ibarat gading yang tak retak tentulah banyak pro kontra mengenai al-Tikrar (repetisi) ayat ini di kalangan para ulama, dan bahkan menjadi sasaran para orientalis dalam melemahkan Aqidah umat Islam melalui kitab sucinya. Dalam hal ini salah satu kelompok yang menolak al-Tikrar ini menganggap bahwa mereka “karena adanya kekhawatiran munculnya kesan Tautology (majaz berupa pengulangan gagasan, pernyataan, atau kata yang berlebih dan tidak diperlukan dalam penafsiran) dalam al-Qur’an.”
Lebih-lebih dari kalangan orientalis menganggap bahwa “jika redaksi al-Qur’an tidak banyak yang ulang niscaya al-Qur’an hanya tersisa beberapa kertas saja.” Juga John Wansbrough dalam bukunya Qur’anic Studies menebarkan kecurigaan dan mempertanyakan keaslian al-Qur’an berdasarkan analisis sastranya terhadap duplikat atau repetisi di dalam al-Qur’an. Sebagaimana yang ia ungkapkan “banyak terdapat pengulangan yang sebenarnya isinya identik, seperti pengulangan 31 ayat dalam surat al-Rahman, hal tersebut disebabkan susunan al-Qur’an menjadi tidak sistematik dan monoton.”
***
Namun demikian, hal itu justru dibantah oleh ulama tafsir (mufassir) bahwa hal itu perlu untuk dilakukan kajian yang lebih mendalam terhadap ayat – ayat yang diulang redaksinya, karenanya dengan kajian tersebut akan diperoleh satu pemahaman yang utuh atas makna yang terkandung dalam ayat-ayat yang diulang tersebut. Terlebih dari kajian tersebut akan membantu mengungkap rahasia atau hikmah yang ada dibalik pengulangan ayat sehingga kesan negatif seperti di atas tadi akan hilang dengan sendirinya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam al-Ghazali bahwa “meskipun di dalam al-Qur’an terdapat banyak pengulangan kata, namun disana tidak ada pengulangan makna.” Diungkapkan pula oleh al-Zarkasyi memberikan statementnya bahwa “adanya takrar (repetisi/pengulangan) dalam al-Qur’an, justru semakin memperindah susunan kalimat, terutama kata-kata yang memiliki makna yang saling berkaitan satu sama lain.”
Lebih-lebih hal tersebut dikuatkan juga oleh al-Zamakhsyari dalam karya monumentalnya al-Kasysyaf yaitu “Fungsi pengulangan adalah menetapkan makna dalam jiwa dan memantapkannya di dalam hati. Bukankah cara yang tepat untuk menghafalkan pengetahuan dan ilmu itu dengan mengulang-ulang supaya dapat dicerna dan dihafal. Segala sesuatu manakala lebih sering diulang maka akan lebih menetap dalam hati, lebih mantap dalam ingatan dan jauh dari kelalaian.” Demikianlah bahwa repetisi redaksi dalam al-Qur’an bukanlah repetisi yang kering makna melainkan sarat dengan pesan dan hikmah.
Karakteristik Repetisi Redaksi dalam al-Qur’an
Karakteristik repetisi redaksi yang terdapat di dalam al-Qur’an terbagi menjadi 3 bagian:
Pertama, repetisi kisah dalam al-Qur’an. Kedua, repetisi redaksi mengenai penciptaan manusia Ketiga, repetisi redaksi ayat-ayat taqwa.
Adapun yang pertama repetisi kisah dalam al-Qur’an. Salah satu fenomena repetisi yang terdapat dalam al-Qur’an adalah kisah-kisah para Nabi terdahulu, sebagaimana kisah Adam as, Nuh as, dan Nabi-Nabi yang lainnya. Lain daripada itu repetisi kisah ini terbagi menjadi dua bagian pertama dimensi teologis dan kedua dimensi sastra. Dimensi teologis berfungsi untuk menetapkan kandungan makna yang diulang dan menguatkannya serta menampakkan perhatian pada kandungan makna tersebut sehingga memuat etika yang ideal dan keyakinan yang jelas. Sedangkan pengulangan kisah di dalam al-Qur’an yang berkait erat dengan style bahasa (sastra), dalam penggunaanya sama sekali tidak monoton, karena kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan menancapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa mereka.
Kedua, repetisi redaksi mengenai penciptaan manusia. Al-Qur’an dalam menguraikan proses penciptaan manusia tidak dijelaskan secara rinci, meskipun demikian ayat-ayat tersebut telah mendeskripsikan situasi sebenarnya dan sesuai dengan ilmu kedokteran modern. Bahkan Dr. Muhammad Imarah menyatakan “tidak ada kontradiksi antara ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang proses penciptaan manusia. Dalam menciptakan manusia terdapat fase-fase sehingga manusia menjadi bentuk rupanya yang elok.” Adapun prosesnya yaitu: Pertama, bahan awal manusia adalah tanah. Kedua, bahan tersebut disempurnakan. Ketiga, setelah proses penyempurnaan selesai ditiupkan kepadanya ruh Ilahi.
***
Ketiga, repetisi redaksi ayat-ayat taqwa. Selain dari repetisi kisah dan penciptaan manusia tersebut, banyak pula dijumpai repetisi yang berkenaan dengan persoalan taqwa. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang membicarakan tentang taqwa dan berbagai bentuk asal katanya, seperti ciri-ciri orang bertaqwa, cara meraih taqwa, syarat menjadi orang yang bertaqwa juga perintah bertaqwa. Lain daripada itu, Dr. Maman Djauhari menghitung jumlah dan mengelompokan ayat-ayat tentang taqwa yaitu al-Qur’an terdiri dari 6236 ayat, 208 ayat tentang ayat-ayat taqwa, diantara 208 ayat 1 ayat mengandung 3 kata taqwa, kemudian 16 ayat mengandung 2 kata taqwa.
Kemudian dari banyaknya repetisi ayat taqwa tersebut, apa pentingnya taqwa? menurut Dr. Maman, “Ketundukan yang tercerminkan dalam kualitas jiwa seseorang yang menerangi dan memandu hidupnya dalam mewujudkan pengabdiannya kepada kemakmuran dan kesejahteraan hidup seluruh alam. Selain itu, taqwa merupakan kualitas jiwa yang berproses. Taqwa juga merupakan jalan hidupnya sejak di alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzah dan alam akhirat.”
Editor: Soleh