Halaqah Kebangsaan, Reinvensi Islam Berkemajuan: Konsepsi, Interpretasi, dan Aksi, semakin menarik terutama ketika memasuki topik “Islam Berkemajuan di Era Kontemporer”. Kali ini “Islam Berkemajuan” dibicarakan dengan multi-perspektif seperti: ekonomi, politik, dan hukum.
Pada sesi pertama (10.00-12.00) terdiri dari tiga pembicara yaitu Dr. H. Suyoto, M.Si. (Mantan Bupati Bojonegoro), Prof. Dr. Mahfud MD, dan Pramono Ubaid Tanthowi (KPU RI).
Adalah Suyoto (Kang Yoto) menyatakan bahwa dalam perspektif ekonomi, “islam berkemajuan adalah strategi hidup berekonomi maju”. Projek ke depan Islam berkemajuan adalah bagaimana melawan kematian (memperpanjang usia produktif), mewujudkan projek kebahagiaan, makanan sehat, alat komunikasi, lingkungan sehat, bisnis data dan ide.
Maka jika di jaman KHA Dahlan mengembangkan teologi Al-Ma’un, sekarang perlu mengembangkan teologi At-Tin. Hal ini relevan untuk menjelaskan kondisi umat Islam masih berada di bawah (asfala safilin). Supaya tidak menjadi umat yang kalah, dan untuk mendapatkan ajrun ghairu mamnun, harus menjadi orang yang berkarya atau produktif. Jadi Islam berkemajuan adalah Islam yang produktif, bukan konsumtif.
Selanjutnya Mahfud MD berpendapat “Islam berkemajuan” memandang hukum Islam memiliki dasar yang senantiasa bisa menjawab perkembangan zaman melalui maqoshid syari’ah. Sehingga mendorong masyarakat yang terus bergerak maju. Oleh sebab itu, nilai-nilai hukum Islam melalui eklektisasi bisa mendasari berlakunya hukum Islam dalam hukum nasional, tanpa harus secara formal dan kaku menjadi hukum resmi Negara.
Dengan kata lain, hukum nasional diberlakukan melalui proses eklektik dari berbagai ikatan primordial, seperti agama dan adat. Pertama, hukum publik dibuat bersama sebagai produk legislasi dan berlaku secara nasional. Kedua, hukum privat (perdata) berlaku secara sukarela, tidak diberlakukan oleh Negara, tetapi dilindungi oleh negara.
Nilai-nilai hukum Islam memuat nilai-nilai yang mendorong munculnya hukum Islam yang berkemajuan. Indonesia adalah religious nation state yang berdasarkan Pancasila. Negara kebangsaan yang berketuhanan. Agama tidak menjadi hukum agama. Tetapi Negara melindungi agama, untuk menjalankan ajaran agama.
Pertanyaannya: dimana letak hukum Islam? Hukum Islam menjadi substansi hukum-hukum nasional. Misalnya keadilan bagi seluruh manusia, bukan untuk orang Islam saja. Islam itu sumber hukum, tetapi bukan hukum. Hukum Islam bisa diterima, jika sudah menjadi hukum Negara.
Dalam perspektif politik, Pramono Ubaid Tanthowi menjelaskan dilema sikap politik Muhammadiyah. Menurut Tantowi, perdebatan netralitas sikap politik ini sudah sejak Tanwir 2003 tentang perlukah Muhammadiyah memberikan dukungan secara eksplisit pada salah satu calon Pilpres. Orang sering menuduh Muhammadiyah tidak punya pandangan ideologis politik. Padahal sebenarnya kalau kita melacak pikiran-pikiran Muhammadiyah sudah banyak panduan dalam berpolitik.
Misalnya saja dalam Khittah Denpasar menegaskan “politik merupakan urusan dunia” yang harus dimotivasi dan dibingkai moral-moral utama ajaran Islam. Jadi urusan Muhammadiyah adalah masyarakat, bukan Negara. Jika sebelumnya dinamika sikap politik Muhammadiyah cenderung di tingkat elit, berbeda dengan kontestasi 2019 ini terjadi sampai akar rumput.
Tantowi mencermati saat ini Muhammadiyah dijadikan sebagai basis mobilisasi dukungan politik dapat mengganggung gerakan civil Islam. Yang elegan adalah mengundang kedua calon, kemudian mempersilahkan warga persyarikatan Muhammadiyah untuk memilih. Selain itu juga menjadi forum menyampaikan gagasan-gagasan Muhammadiyah jika kelak terpilih. Muhammadiyah secara resmi tidak boleh condong ke salah-satu pihak. Muhammadiyah menjadi poros tengahan.
Reporter: Azaki Khoirudin
Editor: David K Alka