Halaqah Kebangsaan Cendekiawan dan Ulama Muhammadiyah turut serta membahas tentang relasi laki-laki dan perempuan, gender, serta pembinaan keluarga berkemajuan. Forum yang berlangsung pada Kamis pekan pertama Februari 2019 itu menghadirkan narasumber Wawan Gunawan Abdul Wahid Lc MA, dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah serta aktivis Aisyiyah, Dr Siti Syamsiyatun.
Teologi Muhammadiyah tentang perempuan menjadi tema yang diketengahkan Wawan Gunawan Abdul Wahid. Menurutnya, Muhammadiyah memiliki landasan yang kokoh dalam memposisikan laki-laki dan perempuan. Semisal Qur’an Surat An Nahl ayat 97, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Wawan menyebut bahwa ayat ini dibaca oleh Kiai Dahlan dan dijadikan prinsip kesetaraan manusia dalam pandangan Muhammadiyah. Dengan pemahamannya yang berkemajuan, wajar jika kemudian Kiai Dahlan mendorong perempuan zaman itu untuk juga berdaya. Sopo Tresno yang kemudian berubah menjadi Aisyiyah, berdiri pada tahun 1915 ketika gerakan dan organisasi perempuan lainnya belum muncul.
Kiai Dahlan mendorong perempuan tidak hanya terlibat di ruang domestik, namun juga berperan di ruang publik. Keshalehan yang dibangun harus memadukan antara kesalehan di ranah publik dan domestik. Dari kesadaran itu, perempuan didorong untuk mandiri. Hal ini mendorong perempuan bisa mengaktualisasikan diri dalam masyarakatnya.
Aisyiyah sebagai gerakan perempuan yang turut dicetuskan oleh Kiai Dahlan kini sudah melakukan banyak dedikasi yang tidak kalah dengan yang dilakukan oleh kaum pria. “Universitas Aisyiyah Yogyakarta menjadi satu-satunya universitas perempuan di Indonesia (bahkan di dunia),” katanya. Belum lagi institusi pendidikan setingkat Taman Kanak-kanak (TK ABA) yang dimiliki oleh Aisyiyah.
Ada beberapa dokumen yang bisa dijadikan sebagai kerangka dasar untuk memahami posisi perempuan di Muhammadiyah. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-17 di Pekalongan tahun 1972, misalnya, Majelis Tarjih menyusun dan mengesahkan buku Adabul Mar’ah fil Islam. Buku ini sudah memuat tentang peran publik perempuan seperti menduduki jabatan tinggi seperti bupati, direktur, polisi, dan hakim.
Melalui buku Adabul Mar’ah fil Islam ini, ungkap Wawan, Muhammadiyah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Dalam telusuran Muhammadiyah, nash-nash atau ayat dan hadis yang misoginis atau terkesan membatasi gerak perempuan, umumnya adalah hadis yang berstatus dhaif dan tidak bisa dijadikan pijakan.
Pada tahun 1989 Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menerbitkan Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah. Di dalamnya, kata Wawan, sudah dengan berani mengupas tentang masalah imam shalat perempuan. Hal ini menimbulkan silang pendapat di kalangan internal. Perdebatan tersebut berakhir dengan kesepakatan menuliskan frasa, ”Hukum umum imam shalat adalah laki-laki. Dalam keadaan tertentu perempuan boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki dewasa.”
Keluarga Berkemajuan dalam Muhammadiyah
Siti Syamsiatun menyatakan bahwa kehidupan Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah Dahlan bisa dijadikan contoh dalam membina keluarga yang ideal. Pendiri Muhammadiyah Kiai Dahlan tidak banyak menulis, namun meninggalkan praksis tentang relasi setara antara laki-laki dan perempuan.
Menurutnya, relasi laki-laki dan perempuan yang dipahami dan dibangun oleh Kiai Dahlan menjunjukkan alam berpikir yang maju. Sejak awal, kata berkemajuan telah muncul. Namun, dokumen-dokumen Muhammadiyah tersebut jarang dirujuk. “Memajukan itu menginspirasi, menghidupi, memberi kehidupan yang lebih baik,” katanya. Berkemajuan termasuk juga menciptakan nilai-nilai baru, yang mungkin bertentangan dengan tradisi patriarkhi saat itu.
“Masing-masing laki-laki dan perempuan harus punya kapital untuk berbuat shaleh,” ujar Syamsiyatun. Dari prinsip ini, maka laki-laki dan perempuan harus memperoleh akses yang sama untuk berdedikasi pada sesama. Masing-masing punya kesempatan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. “Kiai Dahlan memulai dengan keluarganya sendiri. Perempuan diberi akses untuk belajar, berpartisipasi, dan ikut berorganisasi,” ujarnya.
Menurutnya, dalam kehidupan keluarga Muhammadiyah, terdapat keseimbangan dan fleksibilitas peran gender. Antara laki-laki dan perempuan saling berbagi peran. “Semakin fleksibel keluarga semakin berpotensi untuk bahagia,” katanya. Siti Syamsiatun dalam sebuah penelitian yang dilakukannya bersama Alimatul Qibtiyah, juga menemukan fakta bahwa di banyak kantong Aisyiyah, angka perceraian terbilang rendah, padahal mereka adalah orang-orang yang aktif dan sibuk berorganisasi.
Di antara ciri keluarga berkemajuan, kata Syamsiyatun, adalah keluarga yang taat pada tata aturan dan hukum. Keluarga berkemajuan Muhammadiyah itu taat hukum, tidak mengakui pernikahan yang ilegal. Tidak menikah pada usia di bawah umur, misalnya. Permasalahan pernikahan anak masih terjadi sampai sekarang, seratus tahun setelah Muhammadiyah dan Aisyiyah mempelopori untuk tidak menikah muda.
Usia muda bisa digunakan untuk terus belajar, berorganisasi, dan meningkatkan kualitas diri. Belajar dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki, bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, namun juga oleh perempuan. Segenap anggota keluarga harus terus belajar. “Keluarga Kiai Dahlan itu keluarga pembelajar sepanjang hayat,” tukas penulis buku Pergolakan Putri Islam: Perkembangan Wacana Gender dalam Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005.
Teks : Muhammad Ridha Basri
Bahan : Azaki Khoirudin