Buku Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan dicetak oleh penerbit atas dasar pengumpulan tulisan Cak Nur yang banyak tercecer di media masa seperti majalah Pos Bangsa, Tribun, dan Mimbar rentang tahun 70-80an.
Sodara Agus Edi Santoso setia mencari lalu mengumpulkan tulisan Cak Nur hingga terbitlah buku ini. Barangkali sudah maklum di tengah kita, kalau sekira tahun 70 hingga tahun 80-an terjadi Intelectual Boming. Maka tak aneh di era itu, banyak intelektual-cendekiawan hingga pemikir yang tekun menulis mewarnai media cetak untuk merespon fakta-fakta sosial kala itu. Cak Nur salah satunya.
Keimanan, Persamaan Manusia, dan Pembelaan Kaum Miskin
Di awal, (tulisan yang terpisah dari kumpulan tulisannya) dengan dahsyat Cak Nur membeberkan soal persamaan manusia, keimanan hingga pembelaan kaum miskin. Cak Nur bilang, kedatangan Islam ditunjukkan untuk pertama menyeru keimanan kepada Tuhan yang esa. Kedua, memandang semua manusia sebagai sama, apa pun itu. Ketiga, menyadari pertanggung jawaban kelak di akhirat, yang berikutnya melahirkan sikap keadilan ekonomi dan pembelaan kaum miskin.
Apa yang dituturkan Cak Nur barusan ia sandarkan pada ayat-ayat Tuhan. Bernas betul Cak Nur ini. Selain sisi doktrin ayat Al-Qur’an, Cak Nur juga menyodorkan realitas masyarakat di bawah kepimpinan Nabi Muhammad. Untuk ini, Cak Nur menyebut era kepemimpinan Nabi Muhammad adalah era yang bijaksana, terbuka, egaliter dan partisipatif.
Cak Nur menyebut bahwa ide tentang persamaan manusia melandasi semua ide kemanusiaan yang diajarkan dalam agama Islam. Nabi Muhammad menurut Cak Nur adalah orang yang sangat dekat kepada kaum miskin, juga kepada anak yatim.
Selain itu, kehadiran Nabi Muhammad juga berusaha membebaskan perbudakan yang sudah merebak di kalangan masyakarat pada waktu itu untuk kemudian menghapuskan perbudakan. Adapun terkait sifar partisipatif, Nabi Muhammad dengan seluas-luasnya memberi ruang kepada umatnya untuk menyampaikan suatu pendapat. Hal ini layaknya peperangan Uhud. Nabi meminta sebaiknya umat muslim bertahan dalam kota.
Namun, sebagian sahabat yang memang dari kalangan pemuda dan menjadi suara mayoritas berpendapat baiknya menyerang musuh dari Makkah itu di luar kota. Dalam keputusannya, Nabi mengikuti pendapat yang dimenangi oleh mayoritas. Ada proses musyawarah di situ dan tanpa malu Nabi Muhammad mensetujui apa yang menjadi suara mayoritas.
Rambut Gondrong Sebuah Kemewahan?
Kemudian, dalam kumpulan tulisannya antaranya Cak Nur menyoroti persoalan rambut gondrong yang tengah diributkan oleh Orde Baru. Apik, Cak Nur menulisnya dengan judul “Rambut Gondrong Sebuah Kemewahan?” pembubuhan tanda tanya, seolah-seolah menanyakan Orba mengapa mengurusi rambut gondrong. Apa tidak persoalan yang lebih penting?
Cak Nur berpandangan bahwa polemik soal rambut gondrong adalah gejala sosial di tengah kota metropolitan. Metropolitan adalah tempat hilir mudik budaya dan informasi yang jika dibandingkan dengan desa maka kentara sekali perbedaannya. Adapun soal rambut gondrong yang dilabelkan oleh orba sebagai bentuk kriminil, apatis, meresahkan.
Menurut Cak Nur gondrong bukanlah satu-satunya manifestasi dari sikap yang apatis dan kriminil. Banyak seniman yang menggondrong dan lain sebagainya. Jadi, bagi Cak Nur titik persoalannya bukanlah pada rambut yang gondrong yang harus dirapihkan. Tetapi sikap acuh tak acuh setiap individu. Itulah yang harus diurus dari hulu ke hilir.
Islam Kerakyatan dan KeIndonesiaan
Buku ini merupakan rekaman pikiran-pikiran Cak Nur semasa muda yang memberikan citra atas dirinya. Buku ini menunjukkan komitmen dari seorang Cak Nur sebagai cendekiawan yang membela golongan yang lemah.
Seperti dalam tulisannya, pendapat Cak Nur muda tentang persoalan-persoalan buruh yang muncul berkaitan dengan nasib buruh, kehidupan petani di desa-desa, dan kehidupan masyarakat kelas bawah lainnya.
Terpapar pula pandangannya menyoal gerakan-gerakan mahasiswa, demokrasi, dan corak kepemimpinan bangsa. Di samping itu semua, buku ini juga memberi gambaran pergulatan Cak Nur muda dalam merespon masalah-masalah sosial demokrasi yang tengah mengemuka kala itu.
Selain itu, kumpulan tulisan di buku ini ditulis pada masa-masa negara Indonesia tengah mencari format yang tepat dan mantap untuk pertumbuhan Orba dan kelanjutan Indonesia. Maka menurut Cak Nur, tulisanya ini menjadi urun rembuk dalam mewarnai format pembagunan Indonesia. Betapapun itu kecilnya.
Editor: Yahya FR