Oleh: Siti Robikah
-Moeslim Abdurrahman- Cendekiawan kelahiran Lamongan, 8 Agustus 1947 ini adalah Doktor antropologi dari Universitas of Illinois, Urbana AS. Moeslim terlahir dari keluarga petani Muhammadiyah. Setelah lulus dari sekolah rakyat pada pertengahan tahun 60-an, Ia menjadi santri di Pesantren Raudhatul ‘Ilmiyyah Kertosono, Jawa Timur. Pesantren yang diasuh oleh Kyai Salim Akhyar yang merupakan murid generasi pertama Kyai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama’. Kemudian dia melanjutkan studinya di fakultas tarbiyah Institut Agama Islam Muhammadiyah Surakarta.
Pada tahun 2000 dia meraih gelar Ph.D dalam kajian antropologi Universitas of Illinois, Urbana AS dengan disertasinya yang berjudul On Hajj Tourism: In Search of Pity and Identity in The New Order Indonesia. Gelar doktornya di bidang antropologi mepengaruhi pendekatan-pendekatannya pada studi keagamaan yang lebih antropologis dan menggunakan teori-teori sosial kritis. Hal ini membentuk membentuk watak pemikirannya yang lebih transformatif.
Beberapa buku yang ia tulis sudah dipublikasikan yaitu: Menafsirkan Islam dalam Tradisi dan Persoalan Umat (Surakarta : UMS,1990), Kang Thowil dan Siti Marginal (Jakarta: Pustaka Firdaus,1995), Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus,1996), Semarak Islam Semarak Demokrasi (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997), Islam sebagai Kritik sosial (Jakarta: Erlangga,2003), Islam Yang Memihak (Yogyakarta: LkiS,2005). Tulisan-tulisan Moeslim yang telah dipublikasikan tersebut memberikan sebuah wacana keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin yang diaplikasikan dengan keaktifannya di LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat). Pada tahun 2012 beliau dirawat di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dikarenakan sakit jatung dan menutup usianya di usia 64 tahun. Biografi ini Penulis dapatkan dari beberapa karya beliau.
***
Pemikiran Moeslim Abdurahman ini bukanlah kali pertama yang muncul di dalam dunia Islam. Pada era sebelumnya Islam telah diperkenalkan oleh pemikiran cendikiawan seperti Hassan Hanafi dengan Al Yasar Al Islami, Asghar Ali Engineer dan Farid Esack dengan Teologi pembebasan. Teologi Transformatif pada hakikatnya hampir sama dengan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut, akan tetapi ada beberapa perbedaan dari diskursus mengenai penindasan dan kemiskinan.
Menurut Hassan hanafi, salah satu tugas Al Yasar Al Islami (kiri Islam) adalah membebaskan Palestina dari zionisme. Asghar Ali Engineer memunculkan teologi pembebasan di Amerika Latin. Pada masa itu terjadi penindasan serta gerakan repreisif dari penguasa dan pemerintahan oligarki yang memberikan kehidupan sengsara kepada rakyat dan Teologi pembebasan Farid Esack muncul di Afrika karena perjuangannya dalam membebaskan masyarakat dari sistem apartheid. Di Indonesia, Moeslim memperkenalkan teologi transformatif atas dasar melihat realitas kehidupan yang timpang.
Moeslim Abdurrahman sebagai salah seorang penggagas utamanya menjelaskan bahwa Islam transformatif merupakan Islam praksis sosial, di mana agama diterjemahkan dalam keberpihakan kepada kaum miskin. Dalam refleksi Moeslim, sebagian besar umat Islam seringkali memperlakukan agama sebagai lembaga yang mengatur tata cara pengabdian kepada Tuhan, sehingga nilai ibadah yang tertinggi dalam kacamata umat adalah manakala mereka melakukan ritualitas secara komprehensif dengan aturan-aturan baku yang telah ditetapkan. Di sini, menurut Moeslim, agama tidak dijadikan sebagai kekuatan pendorong untuk melakukan kebajikan sosial, justru terkesan dijauhkan dari problem sosial.
***
Moeslim menyatakan bahwa doktrin Islam harus diterjemahkan ke dalam ide-ide yang tidak sekedar bercorak intelektualistik yang mungkin tidak mampu menumbuhkan atau menggugah kesadaran kolektif masyarakat dalam melakukan perubahan sosial. Hal itu dapat disebabkan ketidak pekaan gagasan-gagasan intelektual terhadap realitas hegemonik, yang berakibat bahwa akan berlawanan dengan utopian emansipasi pada tingkat pentingnya transformasi sosial. Sebab, gagasan Islam yang mencerahkan tidak selamanya memberi pengaruh proses pemerdekaan dan pembebasan, kalau hal itu tidak lahir dari proses kritik ideologis-transformatif.
Menurut Moeslim, suatu bahaya jika “reintelektualisasi” Islam yang mencerahkan, yang memberi keluasan berfikir namun tanpa kepedulian untuk berpihak secara autentik memperjuangkan pendagogis kemanusiaan. Isu tersebut disinggung oleh Moeslim dikarenakan adanya soal pluralisme, multikulturalisme, kebebasan berfikir dan perlindungan terhadap hak-hak perbedaan terhadap identitas hanya menjadi perdebatan. Jika isu tersebut tidak diberi referensi dari konstruk sosialnya, maka wacana Islam yang spekulatif tekstual cenderung tidak mempunyai dialektika kepekaan terhadap masalah opresi atau eksploitasi. Maka hubungannya dengan tujuan perubahan sosial yang lebih adil akan terlupakan.
Transformasi memang jalan yang paling manusiawi untuk merubah mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan bukan pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi pada dasarnya adalah gerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang bersifat profetik yakni pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansiparotis.
***
Suatu cita-cita yang melambangkan perjunjungan tinggi harkat dan harga kemanusiaan, keyakinan orang dihargai dan perbedaan pendapat menjadi tradisi. Untuk mencapai situasi semacam itu harus disadari memang tidak mudah. Namun harus ada yang memulai. Yaitu siapa saja yang dalam pandangan hidupnya merasa peduli terhadap ketimpangan sosial sebagai tantangan iman bersama.
Demikian kuatnya orientasi emansipasi sosial dari teologi transformatif, menurut Moeslim gagasan ini hendak menemukan ide Tuhan kembali secara partisipatoris dalam pergumulan umat manusia yang sekarang ini mengalami proses dehumanisasi melalui refleksi teologis yang bersumber dari sejarah perjuangan kehidupan sehari-hari. Pandangan teologis Islam mesti diarahkan kepada penumbuhan kesadaran kolektif melalui apa yang disebut counter hegemony (hegemoni tandingan) melawan penindasan dalam relasi struktur kekuasaan. Karena itu, reintelektualisasi tidak dapat dipisahkan dari kerja praksis sosial, sehingga hubungan antara berpikir dan ortopraksis menjadi satu kesatuan, sama halnya dengan teks dan sejarah yang mengintarinya. Dari hal tersebut maka transformatif dimaksutkan untuk mengetahui bagaimana umat memahami proses sosial yang terjadi dikalangan masyarakat melalui penemuan ide Tuhan yang masih tersimpan dalam kalam- Nya. Melalui pemahaman akan firman Allah maka akan ditemukan sebuah terobosan untuk mengeluarkan Umat dari belenggu ketertindasan dalam kemiskinan dan kebodohan.
Maka dari itu, cita-cita Islam transformatif Moerslim Abdurrahman haruslah diwujudkan dengan terobosan-terobosan terkini baik dalam hal kemiskinan maupun kebodohan. Pada akhirnya, Islam transformatif Moeslim Abdurrahman sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia dalam sila kelima pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.