FeaturePerspektif

Revolusi Pendidikan Ekologi Pelajar

5 Mins read

Oleh: Hanapi*

 

15 tahun yang lalu mungkin kita yang dulu sekolah di SMP, SMA dan lainnya masih diminta orang tua kita untuk membawa bekal dari rumah. Hal yang sangat sederhana namun memiliki autonomi politik yang sangat vital dalam membentuk relasi keseharian kita dengan alam. Membawa bekal dari rumah ini bagian dari orang tua kita melakukan perlawanan terhadap produk jajan kemasan yang dibungkus dengan plastik yang proses pembuatannya kita benar-benar tidak tahu.

Gerakan yang kita definisikan bisa dimulai dari hal hal sederhana yang melibatkan proses yang kompleks, membawa bekal ini sebagai gerakan ekologi pernah didengungkan dalam tubuh Ikatan Pelajar Muhammadiyah di beberapa daerah. Namun gerakan ekologi pelajar dilakukan semakin beragam yang bisa dimulai dari hulu dan hilirnya. Gerakan ekologi dari hulunya dengan menaman, belajar membuat kompos, pelatihan lingkungan, mengelola daerah yang tertumpuk sampah dengan edukasi seperti yang dilakukan oleh IPM di Surabaya.

Gerakan ekologi ini hendaklah terintegrasi dari hulu dan hilirnya yang membuat pelajar semakin memahami secara praktis implikasi tindakan kita sehari-hari dalam membeli produk. Tanpa kecerdasan ekologis, kita tidak hanya menjadi bagian dari perusak lingkungan secara individu, namun juga berjamaah.

Kalau di sektor hulu bisa menanam jenis beragam tanaman untuk kebutuhan dasar seperti sayur-sayuran, cabai, kangkung dan lainnya yang membuat rumah tangga kita tidak mudah diintervensi pasar ketika harga kebutuhan pokok melonjak.

Ini kedengaran sedikit rumit bagi pelajar yang hidup di perkotaan, di mana lahan itu sangat terbatas. Menanam bisa dilakukan sekreatif mungkin dengan cara yang kita sukai, menanam dalam polibag, menggunakan bahan bekas seperti cat kaleng, botol bekas dan lainnya. Tanaman itu bisa beragam sekali, jadi sesuka kita.

Contoh sederhana dari gerakan hulu ini dilakukan oleh beberapa pegiat literasi di RBK yang menanam di kos mereka masing-masing seperti seledri, daun mint, cabai dan lainnya. Di kebun Rumah Baca Komunitas terdapat beragam jenis tanaman yang bisa dipanen maupun untuk keindahan lingkungan sekitar.

Gerakan pelajar bisa dimulai dari sektor hulu. Sedangkan pada level proses, bisa dengan mengajarkan pelajar cara mengelola produk menjadi makanan atau minuman yang enak hingga menjadi produk yang berada disektor hilir. Ini proses pembentukan agen lingkungan pelajar yang strategis.

Baca Juga  Ijtima Ulama IV: Menyatukan atau Justru Memecah Belah Umat?

Proses pembentukan ini akan menentukan di level mana tingkat gerakan yang akan dihasilkan gerakan pelajar ke depan. Di bagian akhir hilir, selemahnya iman ekologi pelajar bisa berjuang dengan memilih produk secara cerdas agar tidak terlena oleh iklan produk yang membuat hegemoni menghantui kehidupan pelajar sehari hari.

Kecerdasan Ekologis

Sekolah umum selama ini banyak berfokus untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa/pelajar yang membuat mereka cerdas secara akademik namun minim dalam keberpihakan lingkungan. Padahal, sekolah menjadi tempat utama dalam melahirkan generasi ekologis yang aktif dalam menyelamatkan planet bumi dalam elemen praktis. Lembaga pendidikan formal memang berhasil dalam melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu memenuhi kebutuhan pasar kerja tetapi barangkali membuat kesalahan fatal karena tidak ada pengembangan kecerdasakan ekologis.

Meskipun, pemerintah telah melahirkan kebijakan progressif untuk membentuk generasi yang cinta lingkungan hidup melalui pendidikan adiwiyata di sekolah-sekolah. Program ini bagian upaya pemerintah untuk mengisi kekosongan politik pengetahuan ekologi yang beroperasi dalam kurikulum pendidikan kita.

Pendidikan ekologis yang diinisiasi oleh negara ini telah membuat sekolah kita menjadi lebih hijau walaupun pada tataran tertentu. Program adiwiyata belum mampu melahirkan generasi yang kritis terhadap kerusakan lingkungan disebabkan oleh elit negara sendiri. Ini upaya negara dalam mencerahkan generasi muda yang perlu diradikalisasi melalui kolaborasi komunitas lingkungan dengan sekolah-sekolah.

Pendidikan adiwiyata ini telah tersebar di banyak sekolah di Indonesia yang secara statistik sekolah yang telah melaksanakan program adiwiyata sejak 2006 sampai 2011 berjumlah 1.351 sekolah. Sedangkan penghargaan kepada sekolah yang melaksanakan pendidikan ramah lingkungan di 2018 meningkat jauh dari data sebelumnya yang sebanyak 3.871 sekolah yang terbagi ke dalam dua kategori, 727 sekolah adiwiyata mandiri dan 3.144 sekolah adiwiyata nasional (http://www.menlh.go.id, dan https://indopos.co.id.)

Peningkatan jumlah yang signifikan ini menandakan adanya upaya serius dari negara untuk memperkuat dimensi kecerdasan kepada generasi muda Indonesia yang menekankan pada elemen lingkungan.

Kecerdasan ini sangat penting bagi masa depan Indonesia yang banyak mengalami konflik lingkungan. Pendidikan adiwiyata bisa membangun dan meningkatkan ‘kecerdasan ekologis’ anak muda meminjam istilah Daniel Goleman (2009) yang mana kecerdasan ekologis itu bagi Goleman adalah hal yang paling dibutuhkan untuk mengetahui dampak dari prilaku kita sehari-hari terhadap bumi.

Baca Juga  Kurikulum Madrasah di Masa Pandemi COVID-19

Kecerdasan ekologis menyangkut kemampuan kita untuk mengerti bagaimana makhluk organik dan ekosistem bekerja. Kecerdasan ini sangat penting untuk ditanamkan sejak masa anak anak hingga dewasa agar proses politik pengetahuan ekologi itu sampai pada level aksiologis, di mana generasi muda mencintai praktek hidup ramah lingkungan dan berkebun.

Proses pendidikan ekologi yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia dengan beragam modelnya bagian untuk memperkuat dimensi kecerdasan lingkungan kepada generasi millenial agar mereka menjadi aktor pro-lingkungan yang menjalani kehidupan praktis dan menginisiasi banyak gerakan untuk menjawab masalah ekologi di lingkungan mereka.

Salah satu gerakan ekologi kaum muda yang menginternalisasi nilai ekologis secara praksis di berbagai tempat di Indonesia yakni, IPM yang meradikalisasi pendidikan lingkungan di mana anak-anak yang tidak mendapatkan akses pendidikan adiwiyata di pesisir Surabaya bisa merasakan pendidikan ekoliterasi.

Para kaum muda ini mengajak anak-anak untuk belajar bersama tentang pentingnya menjaga lingkungan dari bahaya sampah, apalagi membuang sampah ke pantai.

Anak-anak diajarkan praktek lingkungan secara langsung terus-menerus untuk memperkuat kecerdasan ekologis dan membangun praktek ramah lingkungan sejak dini. Gerakan IPM secara tak langsung telah mengisi kosongnya peran negara di desa terpencil. Peningkatan kecerdasan ekologis yang matang melalui pendidikan ekologi akan membuat pelajar semakin sensitif terhadap produk yang tidak ramah lingkungan sehingga melahirkan kepribadian hijau utuh yang memberikan pengaruh dan inspirasi.

Model kecerdasan ekologis yang harus dimiliki pelajar ini bukanlah bersifat pengetahuan teoritis melainkan kecerdasan praktis untuk hidup ramah lingkungan dalam menimalisir kontribusi individu dalam kerusakan. Dengan pengetahuan ekoliterasi yang dimiliki, maka ada tingkat kesadaran yang membuat orang semakin gelisah jika berkontribusi pada kerusakan.

Kecerdasan ekologis ini pada titik ekstremnya berupa boikot bagi produk yang tidak ramah lingkungan secara keseluruhan. Ini bentuk hukuman bagi industri yang memiliki daya ledak yang dahsyat, kekuatan anak muda inilah kunci perubahan.

Meradikalisasi Generasi

Gerakan membawa bekal makanan adalah salah satu ekspresi kecerdasan ekologis yang dilakukan oleh pelajar. Walaupun gerakan ini semakin minim ditengah serbuan iklan produk yang cepat saji. Padahal makanan terlahir dari proses yang kompleks sekaligus panjang. Kecerdasan ekologis ini perlu ditingkatkan bagi generasi pelajar melalui pendidikan ekologi yang membuat kecerdasan ini hadir dalam bentuk yang semakin operasional.

Baca Juga  Kitschfikasi Akademik: Kualitas Rendah, Tanpa Kebaruan

Para pelajar yang memiliki kecerdasan ekologis-revolutif ini juga hendaklah menginisiasi gerakan ekologi yang bisa direplikasi oleh banyak orang. Gerakan diciptakan untuk mengutuhkan kepribadian hijau yang terbentuk tidak untuk diri sendiri melainkan perlawanan sosial yang lebih besar. Pendidikan lingkungan memiliki peran besar dalam mewujudkan ini. Semakin banyak aktor, maka semakin kuat energi perubahan.

Lyn Parker, dkk (2018) mengatakan program eco school, adiwiyata dan pendidikan lingkungan telah membentuk kesadaran para pelajar dan identitas mereka yang membuat diri mereka mengindentifikasikan diri sebagai aktor pro lingkungan atau environmentalist sebanyak 90 %. Survei ini dilakukan di dua lokasi, yakni Surabaya dan Yogyakarta dengan 1.000 responden. Para pelajar ini mengangap masalah utama yang dihadapi secara lokal adalah sampah sedangkan pada level nasional dan internasional adalah polusi.

Studi ini lebih jauh menunjukkan bahwa bagi para pelajar yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan krisis ini di tingkat lokal hingga global, adalah masyarakat bukan pemerintah. Pelajar mengangap bahwa masyarakat memiliki kesadaran yang lemah akan persoalan ekologi yang mendorong mereka untuk terlibat dalam meningkatkan kesadaran masyarakat (Lyn Parker dkk, 2018).

Gerakan pelajar/pemuda memiliki tugas utama untuk meradikalisasi generasi agar aktor lingkungan yang lahir memiliki lensa yang beragam dan metode yang kreatif dalam menghadapi persoalan krisis ekologi yang dihadapi Indonesia. Setidaknya, sejauh ini kita masih optimis berkat kiprah organisasi kepemudaan yang saling mengisi dengan gerakan mereka yang beragam. Misalnya, pelajar NU dan FNKSDA dengan advokasi agraria dan pelajar Muhamamdiyah dengan gerakan ekoliterasi.

Kiprah organisasi ini semakin dibutuhkan di tengah kerusakan lingkungan tiada terbendung. Radikalisasi generasi dan mengoperasionalkan kecerdasan ekologi secara luas akan mendorong perubahan bagi republik ini. Sekecil apapun daya perubahan lingkungan yang bisa dilakukan, akan melahirkan gerakan yang lebih besar. Karena gerakan besar selalu berangkat dari gerakan mikro yang radikal. Para kaum muda, bersatulah.

 

*Diretur research IPM dan pegiat literasi RBK

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds