IBTimes.ID – Oligarki kekuasaan dan politik dinasti adalah dua fenomena pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif secara langsung yang terjadi pasca reformasi. Keduanya menjadi strategi untuk melanggengkan kekuasaan, namun sekaligus melemahkan bahkan meruntuhkan demokrasi di Indonesia.
Sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah langsung dan pemilihan anggota legislatif serentak, para elit pesantren yang menjadi penguasa di tingkat lokal semakin banyak dan meluas.
Artinya, oligarki kekuasaan dan politik dinasti pondok pesantren mengukuhkan kekuatan dominasi kiai/ulama di ranah politik lokal, khususnya di tanah Jawa.
Nurul Azizah dalam penelitian ilmiahnya di TJISS Vol. 2. No 1, 2021 yang berjudul “ Tribalisme, Oligarki Kekuasaan dan Dinamika Politik Kekerabatan Dalam Jaringan Pondok Pesantren” dalam bentuk skripsi di Universitas Ibrahimy Situbondo (2021) merumuskan tiga pertanyaan penting, yaitu: a) bagaimana oligarki kekuasaan berlaku di pulau Jawa?, b) apa faktor penyebab terjadinya oligarki kekuasaan dan politik dinasti di lingkungan pondok pesantren yang ada Jawa?, c) bagaimana pengaruh oligarki kekuasaan dan politik dinasti dalam gerakan sosial dan demokratisasi di ranah lokal?.
Fenomena Oligarki Kekuasaan Elit Pesantren
Salah satu bentuk eksistensi elit pesantren dalam konteks dinamika politik lokal adalah menjadi pemimpin daerah. Sehingga dari sinilah mulai muncul fenomena oligarki kekuasaan dan dinasti politik di beberapa pondok pesantren di Jawa.
Di Jawa Timur, jelas Nurul, tepatnya di Ponpes Syaikhona Mohammad Kholil Bangkalan, gurita oligarki kekuasaan RKH. Fuad Amin Imron tergolong cukup unik. Seorang cucu dari Syaikhonah Kholil Bangkalan, sosok Kiai Kharismatik yang menjadi panutan warga NU di Indonesia, berhasil membangun raja-raja kecil.
Dinasti politik yang dibangun oleh Fuad Amin menjadi salah satu contoh, sebab setelah beliau menjabat sebagai ketua DPRD – menjadi Bupati Bangkalan selama dua periode, dirinya mengorbitkan anak kandungnya Makmun Ibnu Fuad menjadi bupati satu tahun pada periode 2013-2018.
Jabatan itu terus berlanjut, sekarang dipegang oleh adik kandungnya bernama Abdul Latif Imron. Walaupun RKH. Fuad Amin sendiri ditanggap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat kasus korupsi dan pencucian uang. Beliau meninggal pada tanggal 16 Agustus 2019 saat menjalani proses hukum.
***
Selain di Bangkalan, politik dinasti juga terlihat jelas di kabupaten Jombang. Sebuah jaringan oligarki kekuasaan dari seorang ibu kepada putra dan putrinya.
Ia adalah Munjidah Wahab Bupati Jombang periode 2018-2023, seorang putri kandung Kiai Kharismatik, salah satu pendiri NU, dan Pahlawan Nasional, yaitu KH. Wahab Hasbullah.
Menurut Nurul, nama besar Nyai Hj. Munjidah Wahab menjadi satu bukti bahwa beliau memiliki pengaruh sangat kuat terhadap keterpilihan anak-anak kandung dan menantunya menjadi anggota legislatif, dari DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi Jawa Timur, hingga Anggota DPR/MPR RI.
Di samping itu, pengaruh besar kepemimpinan Munjidah Wahab sebagai ketua Muslimat NU Cabang, Organisasi Besar Nahdlatul Ulama, Muslimat NU, Fatayat NU, IPPNU, IPNU, dan Banser Jombang mampu memberikan kontribusi suara pada pemilu legislatif kepada putra dan putrinya.
Kemudian nama besar KH. Wahab Hasbullah juga menjadi faktor pendukung dalam meraup suara pemilih warga Nahdhiyin di wilayah Jombang dan Kabupaten/Kota Mojokerto. Tentu tak lepas juga dari jaringan para kiyai, bu nyai alumni dan simpatisan pesantren yang juga menjadi penentu keberhasilan dan kemenangan.
Bagi Nurul, adanya nama besar keluarga pondok pesantren berpengaruh sangat kuat dan menjadi penentu kemenangan kandidat pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif.
Begitu juga di Kabupaten Bondowoso, kata Nurul, juga terbangun jaringan politik dinasti. KH Salwa Arifin Bupati periode 2019-2024 sekaligus ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama dan pengasuh pesantren Mambaul Ulum Bondowoso ini sangat mudah mengarahkan masyarakat untuk patuh dan memilihnya saat pilkada.
Tak hanya itu, dalam pemilu legislatif, KH Salwa mampu mengantarkan putri pertamanya Masyarafatul Manna menjadi anggota DPRD Bondowoso periode 2019-2024.
Hal yang sama juga terjadi pada dua kiai besar, yaitu KH Maimun Zubair dan KH Ahmad Thoyfoer. Keduanya mampu menghantarkan putra-putranya ke kancah politik, baik di jajaran daerah maupun legislatif. Ikatan keluarga besar pondok pesantren memang mampu memberikan pengaruh terhadap kontestasi politik lokal dalam bentuk dinasti politik.
Politik Dinasti Pesantren dan Oligarki Kekuasaan
Keikutsertaan keluarga pesantren dalam kancah politik lokal saat pemilihan kepala daerah atau pemilihan legislatif langsung adalah usaha membangun jaringan kekuasaan dan dinasti politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Seperti yang pernah dijelaskan oleh Mendoza dan Venida, sebagaimana dikutip Nurul, bahwa politik dinasti sebagai bagian dari jaringan yang lebih besar, dan jaringan tersebut mampu menyatukan jaringan yang ada sebelumnya, sehingga terbentuk menjadi mekanisme kekuasaan baru dan mempertahankan kekuasaan itu.
“Meningkatnya relasi patron-klien dan eksistensi elit pondok pesantren dalam membangun jaringan kekuasan oligarki pada dinasti politik, juga ada upaya memanfaatkan cultural capital untuk meraih kemenangan. Sebut saja nama besar keluarga, KH Maimun Zubair di Rembang, KH Wahab Hasbullah di Jombang, KH Syaikhona Kholil di Bangkalan, dan KH Salwa Arifin di Bondowoso,” tulis Nurul.
Di lain sisi, hasil penelitian Nurul, juga menemukan implikasi dari dinasti politik adalah menjamurnya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Seperti yang terjadi di Jombang, Nyai Munjidah juga terendus melakukan hal yang sama dalam menyalahgunakan kekuasan dan kewenangannya – memanfaatkan fasilitas pemerintah untuk kepentingan kampanye putra-putrinya.
“Bu Bupati itu memangil semua kepala dinas di lingkungan pemkab Jombang, mereka itu diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan suara untuk anak-anaknya yang nyalon anggota legislatif pusat, provinsi, dan daerah. Sampai ada lho kepala dinas itu ngomong kalau sudah habis berpuluh-puluh juta untuk dibagi-bagi ke masyarakat baik berupa beras, gula, minyak dll,” ungkap Fatimatus Zahra saat diwawancari Nurul.
Nurul menyebutkan, ada power elit dalam konteks dinamika kekuasaan lokal untuk membangun jaringan politik dinasti, untuk melanggengkan kekuasaan, dan kepentingan politik ekonomi komersil individual.
Relasi Elit Pesantren dalam Jaringan Kuasa
Kekuatan elit dalam jaringan merupakan relasi elit pesantren dalam jaringan kuasa merupakan hubungan antara tiga golongan: politik, militer, dan dan ekonomi. Ketiganya merupakan penentu terhadap kebijakan-kebijakan penting.
“Dalam teori patron-klien scott memberikan pemaparan bahwa relasi keterikatan dan ketidakberdayaan klien terhadap kuasa patronase sehingga hubungan tersebut menjadi abadi karena ketidakmampuan klien melepaskan diri dari kondisi yang ada. Begitupun terkait dengan pilkada atau pemilihan legislatif, ada transaksi politik oleh elit agama yang dianggap sebagai hal yang lumrah dan netral meskipun kiai menggunakan nilai-nilai agama untuk menghegemoni masyarakat secara masif,” tulis Nurul.
Namun apa yang dilakukan oleh elit pesantren, kata Nurul, itu didasari oleh materalistik dalam relasi kuasa. Tradisi habitus masyarakat di daerah religius, kepatuhan, memberikan penghormatan secara khidmat kepada kiai dan anak keturunannya menjadi sebuah keharusan, terutama bagi santri pondok pesantren. Ditambah lagi bahwa agama menjadi faktor pemersatu masyarakat Madura di daerah yang memiliki banyak pondok pesantren besar.
“Di samping itu, dominasi elit agama atau kiai juga sangat kuat untuk membangun oligarki kekuasaan dan politik dinasti. Elit pesantren mampu mempengaruhi dan memobilisasi massa, kharisma yang dimilikinya sangat tinggi sehingga menjadi tempat konsultasi, pengambilan keputusan-keputusan penting, mampu menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan,” tulis Nurul.
***
Dari hasil penelitian Nurul, dapat disimpulkan beberapa poin temuan penting terkait oligarki kekuasaan dan jaringan pondok pesantren dalam dinasti politik lokal, di antaranya; Pertama, oligarki kekuasaan dan politik dinasti adalah upaya melanggengkan kekuasaan yang berorientasi materialistis, bahkan cenderung mengkesampingkan nilai-nilai spiritual.
Kedua, oligarki kekuasan dan dinasti politik memanfaatkan jaringan patron-klien dan cultural capital untuk meraih kemenangan, baik pada pemilu kepala daerah atau pemilu legislatif. Ketiga, praktek politik dinasti menjadikan hegemoni dan patron klien menjadi alat untuk meraih kekuasaan. Keempat, menggunakan nilai-nilai religi untuk menggalang kekuatan politik berspektif materialistik ekonomis secara laten.
“Seyogyanya bagi para elit agama yang berada dalam lingkaran dinasti politik, diharapkan bisa membuktikan hasil kerja profesional bukan hanya bisa memanfaatkan nama besar keluarga maupun pondok pesantren. Tunjukkan hasil jerih payah sendiri untuk menjadi kontestan politik lokal, bukan cuman mengandalkan orang tua dan kerabat keluagarnya,” pungkas Nurul.
Reporter: Soleh