Oleh: Ki H Ashad Kusuma Djaya
Suatu hari sekitar bulan September 2002 banyak masyarakat berbondong-bondong datang ke sebuah rumah di kawasan elite Pondok Indah Jakarta Selatan. Penyebabnya adalah karena adanya penayangan cerita misteri oleh sebuah stasiun televisi swasta tentang hilangnya seorang penjual nasi goreng di rumah tersebut yang disebut “rumah hantu.” Konon, penjual itu lenyap setelah mengantar pesanan di rumah yang kosong tersebut. Inilah gejala ilusi pemirsa acara televisi yang dalam konteks literasi media massa disebut ilusi pembaca.
“Rumah Hantu”
Namun, warga setempat menolak kebenaran cerita misteri itu. Mereka memasang spanduk “Di Sini Tidak Ada Rumah Hantu,” agar masyarakat tidak termakan cerita yang ditayangkan televisi swasta itu. Tampaknya, warga merasa terganggu dengan berbondong-bondongnya orang yang datang ke perumahan mereka.
Lalu, kalau cerita misteri tersebut tidak benar, apa dasar stasiun televisi swasta itu menayangkannya? Ternyata, fakta yang ada hanyalah sebuah piring yang tertinggal di rumah itu. Lalu, muncul cerita adanya gerobak penjual nasi goreng di depan rumah hantu itu yang diamankan oleh aparat kepolisian. Ketika ditanya tentang gerobak itu, polisi mengaku tidak tahu adanya gerobak itu dan membantah kalau membawanya.
Kisah sebuah piring tertinggal dan kemudian menjadi kisah rumah hantu adalah semacam ilusi dalam membaca sebuah fakta. Ilusi pembaca seperti itu bisa muncul pada pemirsa atau pembaca berita yang tidak kritis dan bisa juga karena memang kuatnya media menciptakan ilusi. Tapi inti dalam masalah ini sesungguhnya sangat simpel, yaitu masalah ilusi pembaca.
Ilusi Pembaca
Fenomena ilusi pembaca seperti di atas sesungguhnya bukan hanya terkait media. Jika kita mau sedikit kritis terhadap konstruksi ilmu pengetahuan maka kita bisa menemukan ilusi pembaca itu terjadi juga di bangku-bangku kuliah. Salah satunya adalah ilusi dalam membaca sejarah dan jalan transformasi sosial kita.
Saya teringat apa yang dikatakan Mansour Fakih tentang “Pengetahuan yang Memberdayakan dan Membebaskan.” Dalam bukunya, Jalan Lain, ia mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh negara-negara Barat yang dominan dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga pada dasarnya bukanlah pengetahuan yang netral dan bebas nilai. Pengetahuan itu kenyataannya tidak hanya didasarkan pada ideologi Barat yang positivistik, tetapi juga didasarkan pada hasrat untuk mengendalikan dan menguasai.
Pelajaran berharga dari fenomena Ilusi Pembaca ini adalah kita seharusnya tidak menelan mentah-mentah berita, konsep, dan teori yang dijejalkan kepada kita. Kita patut mencerna kesinambungan logika dengan fakta-fakta yang disajikan, hingga pada tahap lanjut bisa mengungkap ada tidaknya kepentingan jahat di balik berita, konsep, dan teori itu.
Lalu, dalam sikap keilmuan kita pun patut mempertanyakan relevansi seluruh konsep dan teori yang kita terima dengan realitas kehidupan sosial kita serta kesesuaiannya dengan segenap kekayaan budaya yang kita miliki. Jika tidak relevan dan tidak sesuai tetapi tetap kita paksakan penggunaannya. Itu artinya kita terjebak pada ilusi.
*Gerilyawan Literasi
Editor: Arif