Lelaki muda itu resah. Ia melihat lingkungan di sekitarnya menjalankan ajaran agama Islam yang tidak sesuai sebagaimana agama itu diturunkan. Banyak masyarakat kala itu juga tidak menjalankan syariat agama Islam.
Usianya baru 19 tahun dan masih tercatat sebagai pelajar kelas 2 Apleinding School Voor Inlandsche Ambtenaren (Osvia) (Sekolah Pendidikan Pribumi untuk Pegawai Negeri Sipil). Hingga akhirnya, pada tahun 1918, semangat mudanya membuncah, ia pun melaksanakan cita-citanya: meningkatkan pengetahuan agama Islam yang benar untuk masyarakat.
Bersama dua orang aktivis muslimah, ia ingin mengadakan Tabligh Akbar. Sebelum mengadakan, lelaki yang bernama Moh. Thoyyib itu berdiskusi dengan tokoh-tokoh Central Serikat Islam (CSI), seperti Raen Tjokro Adi Suryo, R. T. Tjokroadisoerjo sebagai Patih Madiun (Kemudian hari menjadi Bupati Madiun).
Tokoh-tokoh tersebut merestui Moh. Thoyyib untuk mengadakan Tabligh Akbar, dengan usulan mengundang tokoh besar: Kiai Dahlan dari Jogyakarta. Saat itu, kapasitas Kiai Dahlan diundang selaku penasehat CSI sekaligus ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Kiai Dahlan Datang ke Madiun
Undangan itu diterima Kiai Dahlan, dan pada 1922, Kiai Dahlan pun mengisi Tabligh Akbar di Madiun. Tabligh Akbar sendiri dilaksanakan di Pendopo Kabupaten dengan format forum terbuka yang bisa diikuti siapapun. Dan acara ini dalam catatannya, pertama kali terjadi di Madiun.
Masyarakat yang mendengar ceramah Kiai Dahlan banyak yang terkesima, terlebih saat membawakan tema pembaharuan yang sebelumnya masyarakat belum pernah menerima ceramah seperti demikian.
Setelah selesai ceramah, masih banyak masyarakat yang penasaran dan ingin banyak pertanyaan yang disampaikan. Namun karena waktu yang tidak memungkinkan akhirnya pertanyaan itu belum diajukan.
Malam harinya, beberapa masyarakat itu mengajak Kiai Dahlan untuk melanjutkan pembahasan mengenai ide pembaharuan yang disampaikan saat ceramah tadi, mereka pun bertemu di rumah Penghulu Badjoeri. Setelah diskusi, hasil pertemuan lanjutan itu masyarakat tersebut ingin mendirikan Muhammadiyah di Madiun.
Namun, atas saran Kiai Dahlan, masyarakat itu baiknya mendirikan sekolah terlebih dahulu sebelum mendirikan Muhammadiyah di Madiun.
Berdirinya Sekolah Islamija
Dalam data yang ditulis Fauzan Anwar Sandiah, mahasiswa Program oktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dua bulan kemudian, voorlopig bestuur atau sekretaris sementara mengadakan pertemuan berikutnya. Kiai Dahlan hadir pada pertemuan tersebut yang memutuskan untuk mendirikan sekolah Islamijah di tempat Hadji Dimjati.
Pendirian sekolah itu didukung penuh oleh Bupati Madiun, R. T. Tjokroadisoerjo, sekolah Islamjiah yang berdiri pun mendapat dukungan untuk penggalangan dana. Panitia pendirian sekolah pun mengadakan pertunjukan wayang dan gamelan sebagai langkah menggalang dana.
Selama dua malam, pertunjukan wayang itu dihadiri oleh pembesar di Madiun, mulai dari regent, assistant-resident, controleur, dan wedono serta para priyayi. Kebanyakan, di antara mereka dengan sengaja membeli karcis kelas I supaya dapat menyumbang untuk pembangunan sekolah.
Setelah hasil penggalangan dana dihitung, hasil dari pertunjukan itu sangat cukup untuk membiayai pembangunan sekolah.
Berdirinya Muhammadiyah di Madiun
Buku Menembus Benteng Tradisi yang ditulis Tim Muhammadiyah Jawa Timur mengungkapkan pendirian Muhammadiyah di Madiun diprakarsarai oleh orang Sumatra yang bernama Abdul Rozak Chaghir Salim (A. R. C. Salim), pejabat Depotbouder O/R Madiun.
Sebelum mendirikan, ia mengundang sebelas orang yang dianggap berpengaruh di Madiun. Pertemuan dilakukan di rumah Salim yang dihadiri oleh R. Soemodiredjo, R. Sosromanggolo, R. Joedodikoesoemo, Partodisoemo, P. Prawirosoemo, M. Soehardi, T. S. Adiredjo, M. Salikin, R. Prawirodimoeljo, R. M. Prawirosoedirdjo, dan R. Koesoemonoto. Sebelas orang itu kemudian bermufakat mengajak lainnya terlebih dahulu sebelum mendirikan Cabang Muhammadiyah.
Muhammadiyah berkembang pesat, pada 28-29 Agustus 2924, diadakan rapat anggota yang jumlahnya sudah 40 orang. Pertemuan di rumah Salim itu juga turut dihadiri Grombolan Muhammadiyah Djatisari, R. M. Hadikoesoema dari Bandjarsari, dan Soeleman wakil Kyai Komar.
Para pengurus awal Muhammadiyah Madiun sebetulnya mengirim permintaan supaya Hadji Fachrodin bisa datang ke Madiun. Tapi karena Hadji Fachrodin sedang sakit, ia berhalangan hadir. Pengurus Muhammadiyah Madiun saat itu akhirnya terbentuk.
Susunan pengurus yang terhimpun dalam buku yang berjudul Verslag Moehammadijah Madioen Sedjak Berdirinya adalah: A. R. C. Salim selaku Voorzitter (ketua), R. Joedodikoesoemo sebagai Vice Voorzitter (wakil ketua), Abdu’llah Fakih sebagai Secretaris, R.M. Prawirosoedirdjo sebagai 2e. Secretaris, R. Prawirodimoeljo sebagai Penningmeester (bendahara), dan empat orang selaku Commissarissen yakni M. Soehardi, M. Sastrosoetomo, M. Notoprajitno, dan M. Hardjowirjono.
60 Anggota Komunis Gabung Muhammadiyah
Tanggal 21 September tahun 1924, pengurus Muhammadiyah Madiun mengadakan pertemuan umum, mirip dengan pengajian atau tabligh terbuka. Mereka berhasil mendatangkan perwakilan Hoofdbestuur, yakni M. Ng. Djojosoegito, Hadji Soedja’, dan Joenoes Anis.
Pengajian umum ini juga dihadiri oleh pengurus Partai Komunis Madiun. Mereka turut serta dalam pengajian dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis soal agama yang memicu diskusi menarik.
Setelah dijawab dan menemukan kemantapan hati, sebanyak 60 orang berhasil direkrut bergabung dengan Muhammadiyah Cabang Madiun. Hal lain juga dikarenakan figur Sang Ketua: A.R.C. Salim, ia merupakan pemimpin dan figur seorang pengurus Muhammadiyah yang loyal terhadap perkembangan organisasi dan misi keagamaan.
Dalam hidupnya, dia menyerahkan 50% hasil lelang barang-barangnya agar pengurus Muhammadiyah Madiun segera melakukan pembentukan Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Kegiatan-kegiatan awal organisasi bertumpu di rumah Salim.
Bukan hanya sebagai kantor sementara Muhammadiyah, rumah Salim juga menjadi pusat kegiatan pengajian keagamaan (sesorah igama) yang diadakan setidaknya dua minggu sekali. Seiring dengan bertambahnya anggota dan jamaah pengajian, kegiatan mulai dipindahkan ke masjid. Organisasi ‘Aisyiyah juga mulai terbentuk pada pertengahan bulan November.
Editor: Yahya FR