IBTimes.ID – Umrah, seperti halnya haji sendiri dan juga salat, adalah ibadah khusus yang pelaksanaannya harus sesuai dengan sunnah Nabi Saw. Dalam praktik, sering dijumpai jemaah haji Indonesia memanfaatkan waktu antara kedatangan di Mekah dan menjelang hari Tarwiyah untuk melakukan umrah berkali-kali dengan alasan mumpung ada kesempatan berada di Mekah, sehingga kesempatan itu digunakan untuk umrah berkali-kali.
Praktik ini tidak jarang menambah keletihan fisik sehingga persiapan untuk melaksanakan ibadah hajinya sendiri sejak hari Tarwiyah hingga hari Tasyriq menjadi tidak maksimal. Sebenarnya, Nabi Saw dan para Sahabatnya, kecuali ‘Aisyah karena alasan tertentu, tidak diriwayatkan melakukan seperti ini.
Yang disunatkan untuk dilakukan setelah tiba di Mekah menjelang tanggal 8 Zulhijjah (Hari Tarwiyah) adalah memperbanyak ibadah seperti tawaf sunat, salat berjamaah di Masjidil-Haram, membaca al-Quran, zikir dan lain-lain. Apabila kesehatan memungkinkan dapat juga berziarah ke tempat-tempat bersejarah.
Nabi Saw memang melakukan umrah berulang, akan tetapi pengulangan umrah-umrah yang dilakukan Nabi Saw itu bukan dalam masa pelaksanaan haji dan tidak pula merupakan umrah keluar melainkan umrah masuk.
Empat kali umrah yang dilakukan Nabi Saw itu adalah (1) umrah Hudaibiah pada tahun 6 H, yang tidak sempurna dilakukan karena dihadang oleh orang Quraisy Mekah, (2) umrah qada, yakni pada tahun berikutnya yakni tahun 7 H, (3) umrah dari Ji‘ranah, yakni umrah seusai Perang Hunain pada tahun 8 H, dan (4) umrah yang dilakukan bersama haji wadak pada tahun 10 H.
Dari Ibn Abbas diriwayatkan bahwa ia berkata: Nabi saw melaksanakan umrah empat kali, umrah dari Hudaibiyah, umrah qada pada bulan Zulkaidah tahun berikutnya, umrah ketiga dari Ji’ranah dan keempat umrah yang diilaksanakan bersama hajinya (HR. Ahmad).
Semua umrah ini adalah umrah masuk, yakni dilakukan oleh orang yang datang dan masuk ke Mekah, bukan umrah oleh orang yang sudah masuk ke Mekah lalu keluar untuk melakukan umrah lagi.
Mengenai Aisyah yang melakukan umrah dua kali pada musim haji, yaitu umrah tamatuk dan umrah Tan’im diterangkan dalam hadis, dari Aisyah diriwayatkan bahwa ia berkata: Kami keluar bertepatan saat nampak hilal bulan Zulhijah. Lalu Rasulullah Saw bersabda: Siapa yang ingin memulai haji dengan umrah hendaklah ia lakukan. Sekiranya aku tidak membawa hewan sembelihan, aku lebih suka melakukan umrah lebih dahulu. Maka sebagian Sahabat ada yang memulai dengan umrah dan ada yang memulai dengan haji. Sedang aku termasuk di antara yang mulai dengan umrah. Maka ketika hari Arafah aku mengalami haid, aku lalu mengadukan hal itu kepada Nabi Saw, lalu beliau bersabda: Tinggalkanlah umrahmu, dan uraikan rambut kepalamu lalu sisirlah, kemudian mulailah talbiah untuk haji. Maka aku pun laksanakan perintah beliau, hingga ketika tiba malam Hasbah (malam setelah hari Tasyriq / malam ke-14 Zulhijah), beliau memerintahkan ‘Abd ar-Rahman Ibn Abu Bakr untuk menemaniku. Maka aku keluar menuju Tan‘im, lalu aku bertalbiah untuk umrah sebagai ganti umrahku sebelumnya. Hisyam berkata: Untuk hal tersebut tidak ada denda baik berupa hadyu (menyembelih), puasa atau pun sedekah (HR. al- Bukhari).
Dalam hadis Aisyah ini terkandung pengertian bahwa Aisyah semula melakukan haji tamatuk (melakukan umrah terlebih dahulu kemudian tahalul, lalu melakukan haji). Namun ketika sampai di Sarif menjelang masuk Mekah, ia mengalami haid dan haidnya berlangsung terus hingga hari Arafah, sehingga ketika sampai di Mekah sebelum hari Tarwiyah ia, karena haid, tidak dapat melakukan tawaf guna bertahalul dalam rangka mengakhiri ihram haji tamatuk. Lalu ia mengadukan hal ini kepada Nabi Saw, dan Nabi Saw menyuruhnya ‘meninggalkan’ umrah tamatuknya dan berihram untuk haji.
Ada dua pendapat ulama dalam menafsirkan perintah Nabi Saw untuk ‘meninggalkan’ umrahnya ini. Pendapat pertama bahwa dengan perintah itu Aisyah mengubah haji tamatuknya menjadi haji ifrad dan membatalkan umrah tamatuknya, sehingga umrah yang kemudian dilakukannya dari Tan’im setelah selesai haji adalah umrah dalam konteks haji ifrad, di mana dilakukan haji terlebih dahulu, kemudian setelah selesai haji baru dilakukan umrah. Ini adalah pendapat Abū Hanifah. Jadi dengan interpretasi ini tidak ada pengulangan umrah dalam satu musim haji.
Pendapat kedua menyatakan bahwa Aisyah tidak mengubah haji tamatuknya menjadi haji ifrad seperti pendapat pertama, melainkan mengubahnya menjadi haji qiran, yakni melakukan haji dan umrah sekaligus dan secara bersamaan. Perintah Nabi Saw kepadanya supaya ‘meninggalkan’ umrahnya berarti ‘membiarkan’ saja tidak diteruskan amalannya, tetapi juga tidak dibatalkan umrahnya, hanya dikensel saja sementara dan tetap dalam status ihram, sehingga hajinya menjadi haji qiran. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi‘i dan Ahmad.
Berdasarkan interpretasi kedua ini, sebagian ulama memahami bahwa Aisyah melakukan lebih dari satu umrah dalam satu musim haji dan sekaligus ini adalah dasar kebolehannya. Akan tetapi, menurut Ibn al- Qayyim, hadis ini dengan interpretasi kedua di atas tidak serta merta mengandung pengertian adanya umrah lebih dari satu kali dalam satu musim haji, melainkan hanya sekedar tambahan saja untuk melegakan hati Aisyah.
Bahwa umrah dari Tan’im yang dilakukan Aisyah bukan umrah kedua dalam musim haji yang sama didukung oleh pernyataan Aisyah sendiri pada bagian akhir hadis di atas, “… lalu aku bertalbiah untuk umrah sebagai ganti umrahku sebelumnya.” Di sini Aisyah menyatakan bahwa umrah Tan’imnya ini bukan umrah kedua berdiri sendiri, melainkan adalah ganti umrah tamatuknya yang belum ditahalul.
Dalam riwayat lain, hadis ini yang dibawakan oleh Muslim ditegaskan bahwa ketika Nabi Saw menyuruhnya berihram untuk haji dan ‘meninggalkan’ umrah tamatuknya, dan bahwa tawaf dan sa’i haji sudah mencukupi untuk tawaf umrahnya yang terkensel itu, Aisyah merasa tidak lega hatinya karena ia sendiri merasa umrahnya itu belum memadai dan ia tidak ingin pulang ke Madinah hanya dengan haji saja tanpa umrah, sementara semua jamaah lain pulang dengan haji dan sekaligus umrah.
Artinya, Aisyah merasa umrahnya belum terlaksana. Untuk melegakan hatinya, Rasulullah Saw menyuruhnya melakukan umrah dari Tan’im ditemani oleh Saudaranya ‘Abd ar-Rahman. Jadi umrah ini bukan umrah tersendiri, melainkan hanya ganti umrah pertama yang dirasa oleh Aisyah belum memadai. Hal ini dapat dilihat dalam riwayat versi Muslim berikut,
Dari Jabir r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata: … … … Kemudian Rasulullah Saw menemui Aisyah dan mendapatinya sedang menangis, lalu beliau bertanya: Apa masalahmu? ‘Aisyah menjawab: Masalah saya adalah saya haid dan orang-orang (jamaah) telah bertahalul sementara saya belum bertahalul dan belum melakukan Tawaf di Baitullah, dan semua jamaah sekarang akan berangkat melaksanakan haji (di Arafah). Lalu Rasulullah bersabda: Haid itu adalah hal yang sudah ditetapkan Allah atas semua anak cucu perempuan Adam. Jadi mandilah dan berihramlah untuk haji. Lalu Aisyah melakukannya dan melaksanakan semua manasik sehingga ketika ia telah suci (selesai haid), ia melakukan tawaf di Ka’bah dan Sa’i di Shafa dan Marwah. Kemudian Nabi Saw bersabda: Engkau telah bertahalul dari haji dan umrahmu semuanya. Lalu Aisyah berkata: Aku merasa dalam hatiku bahwa aku belum sempat melakukan Tawaf di Baitullah sebelum melaksanakan haji. Lalu Rasulullah Saw berkata: Wahai ‘Abd ar-Rahman, pergi temani dia umrah dari Tan’im! Itu terjadi pada malam Hasbah [tanggal 14 Zulkaidah] (HR. Muslim).
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat diambil pedoman bahwa: Pertama, kasus Aisyah dalam hadis di atas tidak menjadi dasar bagi disyariatkannya melakukan umrah berkali-kali selama satu musim haji dengan keluar dari Mekah kemudian masuk lagi dengan ihram untuk umrah.
Aisyah melakukan itu karena ia merasa umrahnya belum terlaksana sehingga untuk memantapkan hatinya Rasulullah Saw menyuruhnya umrah dari Tan‘im sebagai ganti umrah yang dirasanya belum terlaksana itu. Tetapi sesungguhnya umrah itu sudah memadai sehingga tidak perlu lagi diulangi dari Tan’im, hanya Aisyah saja yang belum mantap hatinya sehingga diganti dengan umrah Tan‘im.
Kedua, kasus ini juga menjadi pedoman bagi kaum wanita yang melakukan haji tamatuk lalu haid sebelum sempat bertahalul hingga memasuki pelaksanaan ibadah haji, maka ia tetap terus dalam ihramnya dan mandi (bukan mandi selesai haid) untuk bertalbiyah guna melakukan haji sehingga hajinya adalah qiran dan tidak perlu lagi umrah dari Tan’im apabila ia sempat tawaf dan bertahalul dari hajinya karena tawaf dan tahalul haji itu sudah sekaligus tawaf dan tahalul dari umrah dalam haji qiran.
Bahwa Tawaf dan Sa’i yang dikerjakan guna bertahalul dari haji telah memadai untuk umrahnya sehingga tidak perlu lagi mengulangi dengan umrah dari Tan’im atau tempat lain dapat disimpulkan dari sabda Rasulullah kepada Aisyah dalam hadis Muslim di atas, “Engkau telah bertahalul dari haji dan umrahmu semuanya.” Hal itu juga diterangkan oleh sabda Nabi Saw kepada Aisyah dalam riwayat lain dari Muslim, “Tawafmu telah mencukupi untuk haji dan umrahmu.” Namun Aisyah bersikeras (merasa belum cukup), lalu Rasulullah menyuruhnya ke Tan’im ditemani ‘Abd ar-Rahman (HR. Muslim).
Ketiga, mengenai umrah berkali-kali di luar musim haji, para fukaha berbeda pendapat. Malik memakruhkan melakukan umrah lebih satu kali dalam satu tahun, karena mengikuti sunnah Nabi Saw, di mana beliau tidak melakukannya lebih dari satu kali dalam satu tahun pada hal beliau sesungguhnya bisa melakukannya. Pendapat ini juga dianut oleh Ibn Sirin al-Hasan al-Basri.
Namun beberapa pengikut Malik, seperti Mutarrif, Ibn al-Majisyun dan Ibn al-Mawwaz, membolehkan melakukan umrah lebih dari satu kali dalam satu tahun. Ini juga adalah pendapat jumhur fukaha termasuk Abū Hanifah, asy- Syafi‘i dan Ahmad. Alasannya adalah hadis berikut;
Dari Abu Hurairah r.a. diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: Umrah demi umrah berikutnya menjadi penghapus dosa antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga (HR. al-Bukhari dan at-Tirmidzi).
Sumber: Tuntunan Manasik Haji (PP Muhammadiyah, 2015)